Skip to main content

Menoleh dan menunggu

Suatu kali di persimpangan jalan, seorang teman meraih tangan dan mencoba menggenggam tangan saya. "kak tunggu..". Saya menoleh ke belakang, tidak sadar bahwa saya berjalan bersama teman lain. Lain waktu di sela perpindahan jam kuliah, seorang teman pria berkata "jalan lo cepet juga ya untuk ukuran cewek..". Saya cuma menanggapi datar, bukan pujian dan bukan hinaan, yang saya tahu saya sudah tiba di kelas.

Tidak jarang saya harus menoleh ke belakang dan menunggu ketika berjalan dengan orang lain. Sekedar merapat ke tembok atau memperlambat langkah. Tidak sadar. Ibu bilang "kamu kalau jalan seperti pakai kacamata kuda", kemudian menyarankan saya untuk pergi ke toko buku sementara beliau berputar-putar sambil belanja. Tidak tahu sejak kapan, tapi saya tidak ingat kapan pernah jalan di belakang. Sesekali pernah, tapi tiba-tiba saya sudah harus menoleh dan menunggu rombongan lainnya lagi. Tidak sadar.

Suatu kali teman kos saya pernah berusaha memperlambat jalan saya dengan memegangi tangan saya sepanjang jalan, tidak sadar, kemudian pegangan itu sudah terlepas. Saya tersadar ketika sudah di seberang jalan.

Dulu, suatu kali saya pernah bertanya pada teman yang sering saya tinggal tanpa sengaja, "gw ini orangnya terburu-buru banget ya?", waktu itu ia bilang "hmm.. gak ah. itu semangat". Ada kerumunan, saya terabas, meliuk zig zag, tidak sadar bahwa sedang berjalan bersama orang lain, kemudian saya menoleh dan menunggu kembali.

"Atiek.. tungguu cepat banget sih", teriak teman-teman sewaktu menuruni tebing dekat air terjun. Tapi dalam hati saya puas, karena disini, di depan, semua sudah aman ketika teman-teman tiba.

Entah sejak kapan seperti ini.

Berjalan cepat dan tidak sadar bahwa sedang cepat
Begitu penasaran apa yang akan terjadi di depan, apakah aman? berbahaya? menyenangkan? apa yang perlu saya beri tahu ke teman saya di belakang?
Terlalu ingin memastikan bahwa semua aman
Lalu tersadar dan memperlambat langkah, menoleh dan menunggu.

Terbiasa sendiri? Mungkin.

Secepat apapun melangkah, tidak peduli seperti apa di depan
Saya akan tetap menoleh dan menunggu teman perjalanan
Kita akan mengalami perjalanan ini bersama.

Comments

eve said…
Sampai akhirnya di suatu titik menemukan seseorang yang berjalan sama cepatnya. Atau yang tak sama cepatnya, tapi entah bagaimana ingin berjalan bersamanya.

*apasih
eve said…
This comment has been removed by a blog administrator.
atiek said…
Heyy ibu guru di Banggai!!
sedang di kota kah?

Iya titik itu yaaa..

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be