Skip to main content

Gaya hidup

Menyambung tulisan sebelumnya, ada satu  pesan Bapak yang harus saya ingat. Pesan lainnya sih banyak, hanya ini yang paling sering khilaf.

"bapak selama ini, mau pendapatan berapa pun, gaya hidup ya gak berubah sederhana saja"

Bapak memang bukan keluarga Bakrie, Chairul Tanjung, atau orang-orang dengan rekening gendut lainnya tapi Alhamdulillah bisa cukup menyekolahkan 3 anak yang lucu-lucu gemesin, haji sekali, dan punya sedikit karyawan sewaktu pensiun.
Memang dari dulu Bapak begitu-begitu saja, masih suka berburu barang bekas yang disulap menjadi sedikit baru. Dari pasar uler, emperan jatinegara, Poncol, KBT, Taman Puring, lorong 5 Tanjung Priok, dll.
Sendal 200ribuan dari anaknya cuma dipakai kalau ke tempat yang lumayan bagus a.k.a kondangan atau kalau pergi sama anaknya ke tempat bagus, takut rusak katanya kalau dipakai sering-sering. Kalau belum dalam kondisi tidak bisa dipakai sama sekali alias hilang, ya betulin sendiri. (T.T)
Semakin murah harga baju dan ternyata nyaman, semakin berbinar-binar matanya sewaktu membuat kuis "berapa harga barang yang baru dibeli Bapak?" dan ya lebih sering saya over-estimate.
Makan di restoran yang sedikit nyaman selalu tampak canggung apalagi pergi ke pusat perbelanjaan bagus.
Ditanya titip makanan apa selalu minta yang murah (T.T)
Dan selalu khawatir kalau anaknya pulang bawa kantong dari toko atau pusat perbelanjaan. 
Saya rasa benar adanya generasi kita ini terlalu dekat dengan konsumerisme dan kenyamanan, salah satu contohnya ya saya sendiri. Jadi ingat film Wall-E......

Kalau kata seorang kiai betawi:
"kalo mau kaya gampang aje caranye, kumpul aje sama orang yang lebih miskin. Paling kaya deh"
Tentu logika ini tidak bisa diterapkan dalam hal mengejar ilmu dan ibadah ya.. :p

Kalau orang bule bilang:
"The more value you place on superficial things, the more easily you can become discouraged"

Well said mister.
Being rich and wealthy is a state of mind.
Work! Be grateful and keep your feet on the ground.

Comments

eve said…
Aaahhh like this so much lah Tik,,,
atiek said…
toss dulu lah kita. susah sih tapi ya mudah2an bisa lah ya :D

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be