Menyambung tulisan sebelumnya, ada satu pesan Bapak yang harus saya ingat. Pesan lainnya sih banyak, hanya ini yang paling sering khilaf.
"bapak selama ini, mau pendapatan berapa pun, gaya hidup ya gak berubah sederhana saja"
Bapak memang bukan keluarga Bakrie, Chairul Tanjung, atau orang-orang dengan rekening gendut lainnya tapi Alhamdulillah bisa cukup menyekolahkan 3 anak yang lucu-lucu gemesin, haji sekali, dan punya sedikit karyawan sewaktu pensiun.
Memang dari dulu Bapak begitu-begitu saja, masih suka berburu barang bekas yang disulap menjadi sedikit baru. Dari pasar uler, emperan jatinegara, Poncol, KBT, Taman Puring, lorong 5 Tanjung Priok, dll.
Sendal 200ribuan dari anaknya cuma dipakai kalau ke tempat yang lumayan bagus a.k.a kondangan atau kalau pergi sama anaknya ke tempat bagus, takut rusak katanya kalau dipakai sering-sering. Kalau belum dalam kondisi tidak bisa dipakai sama sekali alias hilang, ya betulin sendiri. (T.T)
Semakin murah harga baju dan ternyata nyaman, semakin berbinar-binar matanya sewaktu membuat kuis "berapa harga barang yang baru dibeli Bapak?" dan ya lebih sering saya over-estimate.
Makan di restoran yang sedikit nyaman selalu tampak canggung apalagi pergi ke pusat perbelanjaan bagus.
Ditanya titip makanan apa selalu minta yang murah (T.T)
Dan selalu khawatir kalau anaknya pulang bawa kantong dari toko atau pusat perbelanjaan.
Saya rasa benar adanya generasi kita ini terlalu dekat dengan konsumerisme dan kenyamanan, salah satu contohnya ya saya sendiri. Jadi ingat film Wall-E......
Kalau kata seorang kiai betawi:
"kalo mau kaya gampang aje caranye, kumpul aje sama orang yang lebih miskin. Paling kaya deh"
Tentu logika ini tidak bisa diterapkan dalam hal mengejar ilmu dan ibadah ya.. :p
Kalau orang bule bilang:
"The more value you place on superficial things, the more easily you can become discouraged"
Well said mister.
Being rich and wealthy is a state of mind.
Work! Be grateful and keep your feet on the ground.
"bapak selama ini, mau pendapatan berapa pun, gaya hidup ya gak berubah sederhana saja"
Bapak memang bukan keluarga Bakrie, Chairul Tanjung, atau orang-orang dengan rekening gendut lainnya tapi Alhamdulillah bisa cukup menyekolahkan 3 anak yang lucu-lucu gemesin, haji sekali, dan punya sedikit karyawan sewaktu pensiun.
Memang dari dulu Bapak begitu-begitu saja, masih suka berburu barang bekas yang disulap menjadi sedikit baru. Dari pasar uler, emperan jatinegara, Poncol, KBT, Taman Puring, lorong 5 Tanjung Priok, dll.
Sendal 200ribuan dari anaknya cuma dipakai kalau ke tempat yang lumayan bagus a.k.a kondangan atau kalau pergi sama anaknya ke tempat bagus, takut rusak katanya kalau dipakai sering-sering. Kalau belum dalam kondisi tidak bisa dipakai sama sekali alias hilang, ya betulin sendiri. (T.T)
Semakin murah harga baju dan ternyata nyaman, semakin berbinar-binar matanya sewaktu membuat kuis "berapa harga barang yang baru dibeli Bapak?" dan ya lebih sering saya over-estimate.
Makan di restoran yang sedikit nyaman selalu tampak canggung apalagi pergi ke pusat perbelanjaan bagus.
Ditanya titip makanan apa selalu minta yang murah (T.T)
Dan selalu khawatir kalau anaknya pulang bawa kantong dari toko atau pusat perbelanjaan.
Saya rasa benar adanya generasi kita ini terlalu dekat dengan konsumerisme dan kenyamanan, salah satu contohnya ya saya sendiri. Jadi ingat film Wall-E......
Kalau kata seorang kiai betawi:
"kalo mau kaya gampang aje caranye, kumpul aje sama orang yang lebih miskin. Paling kaya deh"
Tentu logika ini tidak bisa diterapkan dalam hal mengejar ilmu dan ibadah ya.. :p
Kalau orang bule bilang:
"The more value you place on superficial things, the more easily you can become discouraged"
Well said mister.
Being rich and wealthy is a state of mind.
Work! Be grateful and keep your feet on the ground.
Comments