Skip to main content

Bicara moral

Bicara moral saat ini itu seperti apa ya.. hmmm bias.
Sebuah kolom di koran Jakarta Globe bercerita soal kecenderungan remaja di Amerika untuk mendasarkan pembedaan soal baik-tidak baik dari perasaannya disaat itu "does it feel right? or wrong?"
Penulis kolom tersebut bilang, dulu moral adalah sesuatu yang dibagi, sebuah kesepakatan bersama dalam suatu sistem masyarakat, tapi sekarang moral dikategorikan bersifat pribadi, tergantung dari masing-masing orang. Hmm mungkin lebih dibilang relatif. Suatu kali pak Anis Baswedan dalam tweetnya menulis bahwa kebenaran hanya disandarkan pada pasal-pasal KUHP, nilai-nilai kepantasan tidak dianggap lagi (mungkin beliau sedang mengomentari fenomena yang terjadi saat ini). 

Menurut saya nilai-nilai kepantasan itu adalah moral yang dibagi dalam suatu masyarakat. Kedua tulisan dari Jakarta Globe maupun pak @anisbaswedan sepertinya membicarakan hal yang serupa: nilai moral yang dibagi/share dalam masyarakat menjadi koridor sikap tiap individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut. 

Kemudian saya mulai menelisik dan menyusur beberapa pendapat atau sikap saya atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan diri saya sendiri. Rasanya saya mengalami kecenderungan yang sama yang dialami para remaja Amerika (meski tidak terlalu ekstrim). Bahwa nilai-nilai moral mulai saya anggap sebagai sesuatu yang relatif, kembali pada diri masing-masing, dan pada akhirnya salah-benar adalah untuk konsumsi sendiri. Kenapa begitu?

Well, nilai moral yang dibagi tidak akan membawa keharmonisan dalam hubungan antar manusia jika arogansi masih jadi duri di dalamnya. Akhir-akhir ini, pengusungan nilai moral dibawakan dengan arogansi, saya tidak menyasar pada orang/komunitas tertentu, karena nyatanya disadari atau tidak terlalu banyak yang melakukan hal tersebut. Menurut saya inilah yang membuat banyak orang skeptis soal moral, toh bicara moral tidak membuat keadaan semakin damai. Moral seperti senjata agar sebagian orang merasa dirinya lebih suci/bersih dari orang lain (sinis). Damai hm atau tenang tercapai jika masing-masing orang peduli dengan nilai moral masing-masing saja, koridor sikap serahkan pada hukum tertulis (atau apapun istilahnya). Individualis? Ya. 

Tapi kacau juga jika seperti ini, bebas saja setiap orang melakukan hal-hal yang menurutnya benar. Korupsi? UU apa yang atur soal ambil hak orang lain, poin hukum mana yang bisa ditembus? Kebenaran pun bisa diakali lewat definisi, pasal, dan ayat-ayat. 

Bicara moral, tak lepas dari iman. Adakah alternatif lain soal moral yang dibagi ini? Koridor agama mungkin? Kalau teman-teman follow orang-orang tertentu di twitter, yang sangat bebas, kadang saya jengah dengan mudahnya mereka mencibir berbagai fatwa yang dikeluarkan lembaga agama dengan dasar headline berita (ya, headline berita tanpa baca seluruh artikelnya), lalu menyebarkan dengan suka cita. Lho lho? saya bukan fundamentalis atau cap apapun yang dibuat orang-orang. Tapi tak ada salahnya mencoba memperlakukan dengan hormat setiap orang yang berilmu, para professor, doktor, guru, termasuk ulama, pendeta, rabbi, biksu. Ah, 'kebebasan' mungkin bukan kawan untuk moral yang dibagi ini. Atau belum ada orang/kelompok yang tepat dan mampu untuk merepresentasikan kebenaran dari sisi ini, tanpa arogansi. 

Apa inti dari tulisan ini?
Gelisah. Gelisah karena sedikit banyak saya menjadi anggota kebenaran relatif ini (mudah-mudahan masih sedikit). Apa masalahnya? Tentu ada. Ibarat ingin mengukur suatu benda, perlu ada datum/patokan. Untuk membuat lingkaran perlu ada titik pusat, untuk mengukur waktu perlu ada sumbu jarum jam. Apa yang terjadi jika sumbu/datum/patokan begitu mudah berpindah sesuai perasaan saya? Akan terbentuk kah lingkaran? Mampukah saya mengukur suatu benda dan menuai ilmu? Rasanya sulit jika tidak boleh saya katakan tidak mungkin. 
Sepertinya ini menjadi edisi kedua tulisan "Rekayasa Kebenaran" saya sebelumnya.

Kalau kebenaran menjadi relatif bagi tiap manusia, kita harus pastikan bahwa setiap orang ada dalam lingkungan yang baik, tentu agar relativitas ini tidak jadi sampah. Bisa?

Ah, tulisan orang muda yang gelisah, bersyukur juga gelisah saat muda masih banyak energi untuk ingin tahu dan mencari. Mencari dan yakin pada datum yang tepat rasanya lebih penting dari semua obral-obrol ini. :)

Comments

Beni Suryadi said…
ga tahan buat ga komen, tulisannya bagus sekali Atiek.
atiek said…
waaa.. terimakasiiih beni :D

tapi saya belum bisa nulis soal energi sampe dimuat di majalah dan publikasi lain hahaha suwiwiit

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

untuk mahasiswa ITB dari Rendra

saya rasa kita semua yang mengaku orang muda, berpendidikan, punya berjuta teori yang mau dibenturkan dengan dunia nyata, punya berbagai idealisme yang belum diwujudkan, yang masih diam sampai sekarang (seperti saya), yang mau berubah, yang mau bergerak untuk siapapun, bangsa, umat, atau diri sendiri.. harus baca puisi dari sastrawan Rendra ini, tanda bahwa 30 tahun mahasiswa masih menghadapi masalah dan dilema yang sama. . sampai kapan mau diam dibalik menara gading ini?? menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak - kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada baya