Skip to main content

Rekayasa Kebenaran

Nah, kalau sedang mengerjakan hal penting kenapa saya jadi kepikiran banyak hal ya? 

Sekarang ini berita memang sudah tidak satu arah lagi, tapi segala arah. Semuanya menganggap dirinya paling benar, hm ya tidak salah sih bagi saya. Selama orang itu melakukan hal yang menurut nilai-nilai hidupnya benar, silahkan saja. Kebenaran bisa dibilang relatif bagi tiap pribadi, pilihan yang membuat hati tenang. Tapi kebenaran bagi seseorang bisa bergeser, sesuai dengan perubahan nilai-nilai hidupnya. Manusia punya nilai hidup dan definisi kebenarannya masing-masing. Misalnya : ada orang yang bilang telanjang di muka umum itu hak asasi manusia, tapi ada yang merasa telanjang di muka umum itu dosa, bagi saya sendiri telanjang di muka umum ituu polusi pemandangan dan pikiran. Hahaha.

Dunia ini digerakkan oleh milyaran kebenaran pribadi. Tapi kalau tingkat kebenaran itu bisa dikuantifikasi dan di plot ke dalam diagram mungkin akan terjadi diagram acak. Lalu jika ditambahkan garis trend berdasarkan data tersebut : ‘Kebenaran-kebenaran’ pribadi ini sebenarnya bergerak pada suatu garis fungsi yang sama seperti fungsi linear, lompatan eksponensial, polynomial, dsb. Memang ada kebenaran yang jauh menyimpang dari garis, tapi ada kebenaran yang mendekati fungsi utama. Jika variable x adalah waktu, dari fungsi utama inilah kita bisa memprediksikan hidup kolektif kita mau dibawa kemana.


Fungsi kolektif ini yang perlu didefinisikan. Mau pakai definisi manusia yang mana? Atau kita mau bergerak vertical memakai definisi kebenaran Sang Pencipta?
Kebenaran (bukan pembenaran ya) dari tiap-tiap manusia ini tidak akan terlalu bergerak jauh dari fungsi utama. Fitrah manusia tetap sama, akumulasi pilihan yang membedakan seorang manusia dari manusia lainnya.
Mau ngomong apa sih sebenarnya?

Konflik kebenaran yang sering terjadi sekarang ini bisa diliat sebagai pembelajaran bagi semua pihak. Belajar untuk menyelaraskan kebenaran-kebenaran pribadi dalam data acak ke dalam fungsi utama hidup kolektif. Jika cukup arif untuk memetakan kebenaran pribadi masing-masing, mempelajari data historis, saya percaya semua bergerak ke arah kebenaran hakiki. Hanya cara dan pemahaman yang berbeda. Milyaran kebenaran pribadi yang dibiarkan terus menerus acak tidak akan dapat diprediksikan masa depannya, sulit sekali digunakan untuk merumuskan banyak hal-hal baik di masa depan. Kalaupun dipaksakan akan terjadi banyak bias dan gagal. Seperti bola salju, bergerak acak, semakin besar namun menghancurkan.

Jika sepakat definisi fungsi kebenaran manusia yang akan digunakan, maka tiap-tiap pribadi perlu arif mulai merapatkan kebenaran pribadinya ke fungsi utama yang telah disepakati menjadi fungsi masa depan.

Jika sepakat mendefinisikan fungsi utama kebenaran dari definisi Sang Pencipta, maka semua pihak baiknya kembali menyelaraskan kebenaran pribadinya ke fungsi utama ini untuk menjalankan masa depan.
Pemaksaan hanya berakhir pada kepatuhan temporer, teladan akan menuai pemahaman dan kesadaran.  
Pertanyaannya bagaimana fungsi hidup kolektif kita ini sekarang?

Hanya butuh sedikit waktu saja diam dan berpikir netral. Saya sendiri mikirin ini di toilet kok. Ahahaha. Semoga manfaat. :)
*Komentar perbaikan sangat ditunggu. Susah ya modelin ilmu sosial, untung belajarnya jadi insinyur. :p

Comments

kok gue melihat ada grafik-grafik? *langsung puyeng*
atiek said…
iya. freak nih otak gw, lagi mikirin grafik bukan kepikiran tesis malah beginiaan batarii.. :))
kapan selesainya kalo begini.. zzz
kakilopengkor said…
"Kebenaran-kebenaran’ pribadi ini sebenarnya bergerak pada suatu garis fungsi yang sama seperti fungsi linear, lompatan eksponensial, polynomial, dsb. Memang ada kebenaran yang jauh menyimpang dari garis, tapi ada kebenaran yang mendekati fungsi utama."

-asal jangan kebenaran pribadi berdasarkan kelicikan kelompok saja sih, karena kalo itu ujung2nya pasti nyimpang tanpa pola- hehe
atiek said…
itu mah pembenaran-pembenaran pribadi/kelompok, bie. definisi kebenarannya harus sama nih. :D

mungkin perlu lebih sering dicoba berpikir di toilet. berpikir dalam kondisi tidak nyaman. #jempol
eve said…
Like this..
Pemikiran berat buat toilet time tik hahaha..
atiek said…
ahahah.. iya ya. hm bawa komik aja apa ya biar gak kepikiran yang berat2.. :D

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

untuk mahasiswa ITB dari Rendra

saya rasa kita semua yang mengaku orang muda, berpendidikan, punya berjuta teori yang mau dibenturkan dengan dunia nyata, punya berbagai idealisme yang belum diwujudkan, yang masih diam sampai sekarang (seperti saya), yang mau berubah, yang mau bergerak untuk siapapun, bangsa, umat, atau diri sendiri.. harus baca puisi dari sastrawan Rendra ini, tanda bahwa 30 tahun mahasiswa masih menghadapi masalah dan dilema yang sama. . sampai kapan mau diam dibalik menara gading ini?? menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak - kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada baya