Termenung membaca sebuah cerita dari Andy F Noya, wartawan yang sering kita lihat di acaranya, Kick Andy. Mengenai kegundahannya menjadi orang kaya. Cerita terakhir yang membuat saya termangu, memandangi email hasil forward dari milis mahasiswa.
Sepenggal cerita 'Kaca Spion' dari Andy F Noya
Saya pernah mengalami ini, jam 7 pagi, di Dago, Bandung. Bukan mobil saya, tapi mobil teman saya. Dua siswa SMA, memacu kendaraannya dengan kencang, menabrak mobil teman saya. Kami berdua panik, karena tepat kami harus ujian. Anak itu terjungkal bersama temannya, terpental ke pinggir jalan. Dia menyalahkan kami yang berbelok tiba-tiba katanya. Saya rasa dia tidak sempat menekan rem, saat itu, teman saya sudah memberi tanda dengan lampu sein. Teman saya meminta bantuan untuk nego dengan mereka, dia bingung bagaimana harus bilang ke ayahnya, dan kecelakaan ini memang bukan salahnya. Demi teman, saya menyalahkan kecepatan anak sma tersebut. -Saya memang kasar kalau berbicara, makanya saya lebih suka menulis. Bisa berpikir untuk menyaring kata-kata-. Tanpa perasaan saya berdebat dengan ibunya di rumah sakit, tujuannya jelas untuk membantu teman saya, setidaknya tidak menanggung biaya rumah sakit, karena untuk meminta ganti rugi pada mereka rasanya tidak enak. Sang ayah hanya bisa terdiam saja, termangu, karena berdasarkan penilaian temannya, itu murni kesalahan anaknya.
Membaca artikel pak Andy, saya termangu, membuat saya diam dan menelan ludah. Ayah anak itu seorang pegawai ITB, saya tidak tahu penghasilannya, tetapi saya yakin tidak lebih dari penghasilan ayah teman saya. Membaca artikel pak Andy, membuat wajahnya terlintas di kepala saya. Wajah pasrah, mendengar kami tidak mau menanggung semua biaya rumah sakit, hanya sekedarnya kami memberi sumbangan, pun tidak memintanya memberi ganti rugi pada kami. Mungkin keputusan kami cukup fair saat itu, kami tidak membebani mereka. Tapi saya lebih memikirkan kata-kata apa yang sudah saya keluarkan saat itu? entah kenapa saya merasa jahat saat keluar dari rumah sakit itu sampai hari ini, ketika membaca artikel pak Andy. Bukan si anak, bukan si ibu yang memberatkan saya, tapi ayahnya. Karena beliau sama sekali tidak menuntut, itu yang membuat saya semakin pedih.
"Ditampar" saat bulan Ramadhan ini membuat saya berpikir keras. Hanya satu hal yang ingin saya lakukan sekarang, meminta maaf ..
Sepenggal cerita 'Kaca Spion' dari Andy F Noya
"..ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok..
Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi. Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul. Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup
yang pahit .. "
Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi. Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul. Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup
yang pahit .. "
Saya pernah mengalami ini, jam 7 pagi, di Dago, Bandung. Bukan mobil saya, tapi mobil teman saya. Dua siswa SMA, memacu kendaraannya dengan kencang, menabrak mobil teman saya. Kami berdua panik, karena tepat kami harus ujian. Anak itu terjungkal bersama temannya, terpental ke pinggir jalan. Dia menyalahkan kami yang berbelok tiba-tiba katanya. Saya rasa dia tidak sempat menekan rem, saat itu, teman saya sudah memberi tanda dengan lampu sein. Teman saya meminta bantuan untuk nego dengan mereka, dia bingung bagaimana harus bilang ke ayahnya, dan kecelakaan ini memang bukan salahnya. Demi teman, saya menyalahkan kecepatan anak sma tersebut. -Saya memang kasar kalau berbicara, makanya saya lebih suka menulis. Bisa berpikir untuk menyaring kata-kata-. Tanpa perasaan saya berdebat dengan ibunya di rumah sakit, tujuannya jelas untuk membantu teman saya, setidaknya tidak menanggung biaya rumah sakit, karena untuk meminta ganti rugi pada mereka rasanya tidak enak. Sang ayah hanya bisa terdiam saja, termangu, karena berdasarkan penilaian temannya, itu murni kesalahan anaknya.
Membaca artikel pak Andy, saya termangu, membuat saya diam dan menelan ludah. Ayah anak itu seorang pegawai ITB, saya tidak tahu penghasilannya, tetapi saya yakin tidak lebih dari penghasilan ayah teman saya. Membaca artikel pak Andy, membuat wajahnya terlintas di kepala saya. Wajah pasrah, mendengar kami tidak mau menanggung semua biaya rumah sakit, hanya sekedarnya kami memberi sumbangan, pun tidak memintanya memberi ganti rugi pada kami. Mungkin keputusan kami cukup fair saat itu, kami tidak membebani mereka. Tapi saya lebih memikirkan kata-kata apa yang sudah saya keluarkan saat itu? entah kenapa saya merasa jahat saat keluar dari rumah sakit itu sampai hari ini, ketika membaca artikel pak Andy. Bukan si anak, bukan si ibu yang memberatkan saya, tapi ayahnya. Karena beliau sama sekali tidak menuntut, itu yang membuat saya semakin pedih.
"Ditampar" saat bulan Ramadhan ini membuat saya berpikir keras. Hanya satu hal yang ingin saya lakukan sekarang, meminta maaf ..
Comments
ceritanya memang sarat moral ya, musti iklas, ditabrak memang paling gampang melentingkan emosi.
sangat menyentuh ceritanya...
begitu banyak hikmah bertebaran di bulan Ramadhan...
semoga membawa perubahan bagi yang mendapatkannya...