Skip to main content

Posts

First Chapter: How we met and why we tied the knot?

It’s been a while since my last blogpost. I think my mind rest somewhere or i did not find something interesting enough to be written or maybe i let all those thoughts disappear with time.   Today is the last day in 2016 and I am on my way back to Jakarta from Yogyakarta with Nauval, who vowed to be my life partner a week ago. As a good friend of us had written our story , i feel flattered actually.. I think one story will not hurt anyone. :D So we met in April 2015, if I’m not mistaken, I don’t remember the date. But I do remember the place, and who were involved there. What had happened between May 2015 and December 2016 are only important for us hahaha.   Probably what is important to be shared is why and how I made the decision to marry a person next to me. HOW? I had met Nauval on March 2015 with Agung and Cinta. There was no follow up after the first meeting and I was very OK with that. Life was normal. Meanwhile, my Mom and her relations were eager t
Recent posts

Wisdom of nature

Life is not meant to be seen only from one side, it is resembled in our earth form, that is round and floating Life is meant to be on the move, no matter how slow it is To see that it has its continuum of time That the state of life is temporary As the earth rotates dilligently The darkness is certain, so as the light Difficulties will soon fade, just like happiness Life is meant to be a journey As our earth travels in tranquility It does not move in random, it surely has its own path Its orbit.. To travel cautiously, not to collide with other planets and space objects The earth knows exactly its mission to bring various seasons for human by dilligently rotates and orbitting to send warning about darkness that comes in our way to give hope at dawn to remind people aboutl illussions in our eyes The philosophy of nature is only can be seen when we pause escape to make space in our life and reflect in iteration The image become words the events become senten

Deaf and Da'wah

I got to post this as a reminder for myself. I have all, I can see, I can hear, I can talk, I can read, I can recite, I live in big Muslim population, I have access to knowledge. I have everything, yet, I ....... No wonder Syeikh Fahad cried. If he felt embarassed..... How should I feel? Ukhti Rebecca, may Allah guide you.... If it wasn't because this episode, I wouldn't ever know this kind of struggle.. Guide us by the Quran, o Allah... :'((

unequivocal

Often I am afraid with my energy, it flares, sometimes pushing other without me noticing While you, you stay like a cool breeze your steadiness is abiding I am the one who hold the book open while you, you remain a mystery that force us learning to be unassuming with each other invite me to submit and look deeper, to listen to feel to observe, closer you, is you like me we are unequivocal human being with history, feelings, and aspirations we live with our own wounds from the past walking toward future upon those scars it will not be easy but aren't we learn the most from difficulties? I hope we both have the courage to think to discuss to learn these will not come fast, nor I expect you to be but, i am sure that your simplicity will overcome my shelves of worry despite my limitations, do i have something to offer?

Gelisah

Pernah satu waktu, saya memutuskan untuk makan siang di taman dan duduk-duduk saja mengamat-amati manusia. Ada masa dimana saya seperti memegang lensa pembesar, masalah kecil terlihat besar dan menggantung-gantung di pikiran. Kondisi yang menyebalkan apalagi ketika masa dimana sedang tidak bisa shalat. Tidak jarang juga saya lupa dan mengambil wudhu saja, hanya untuk mendinginkan pikiran. Lain waktu, seorang teman seperti tidak bisa menghilangkan kekhawatiran tentang tujuan-tujuan hidupnya. Mendengar ceritanya saya seperti berkaca, meski permasalahannya saja yang berbeda. Semakin bertambah umur, semakin beragam tantangannya, ujian hidupnya. Kadang saya gugup juga mendengar kisah-kisah di sekitar saya maupun dari media. “oh, masalah seperti itu terjadi tidak jauh dari saya, selalu ada probabilitas saya menjadi salah satu pelaku dalam kisah itu. Will i survive that?” dan kekhawatiran itu kadang hinggap. ·        Ada yang merasa kurang pintar, di tengah komunitas orang-ora

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Anak-anak Risiko

Anak-anak risiko Kupikir, kita ini memang produk dari banyak risiko yang diambil oleh orang-orang tua kita. Setidaknya itu menurutku, yang lahir dari orang tua angkatan 70an. Generasi orang tua yang hidup di saat Indonesia masih “lucu-lucunya”, masih balita. Seringkali aku tertawa geli ketika bapak atau ibu cerita bagaimana mereka hidup di tahun itu, tahun 50-70an. Ketika, kakek nenek kami harus cerdik memberi makan anak-anaknya yang rata-rata ada selusin. Sekolah pun masih sekolah rakyat, pakai genteng dan arang. Sedang ibu, sebagai kakak perempuan harus pintar memasak yang cukup untuk saudara-saudaranya. Seringkali harus membuat gorengan buah cempedak yang mungkin perbandingan tepung : cempedak nya setara 10:1, “asal ada baunya sedikit”. Atau bapak, yang harus makan tempe dan nasi yang ditaruh di lemari oleh nenek sebelum beliau berdagang kain dengan sepeda. Saya rasa harus berterima kasih sedalam-dalamnya atas setiap risiko yang diambil oleh para pendahulu. Risiko ya