Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.
Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”
Hasil pertemuan itu melahirkan Kelas Inspirasi sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi mereka ke anak-anak sekolah dasar. Kenapa profesi? Karena itu materi pengajaran sederhana dan (seharusnya) lebih mudah untuk disiapkan, dan kami melihat wawasan tentang profesi sangatlah terbatas dan dipengaruhi oleh interaksi murid dengan para pelaku profesi tersebut. Akan sangat langka mengetahui seorang anak yang hidup di lingkungan petani, untuk tahu apa itu profesi pengacara.
Dari uji coba di satu sekolah, lalu selang 4 bulan (tepatnya 25 April 2012) KI diselenggarakan di 25 sekolah dengan 289 relawan, lalu bergulir eksponensial. Tidak pernah kami prediksikan bahwa KI akan menggeliat cepat hingga bisa diselenggarakan 140-an kali di 70 kota di Indonesia. Semua itu terjadi di tahun ke-lima-nya.
Tantangan
Sokola Rimba mencapai traksi nya pada tahun ke-5, ketika Kak Butet merintis Sokola untuk berdiri sendiri dari Warsi. Pelistrikan desa dengan energi terbarukan menjadi masif hampir di tahun ke-5 saya bekerja di bidang ini. Dan saya pikir, KI pun sedang menjalani traksi-nya, tantangan besar ketika sebuah kegiatan yang dikelola secara organik menjadi meluas dengan kecepatan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Menjelang lustrum ke-1, gerakan KI ini pun diuji. . Luar biasa pembelajarannya
Geliatnya yang sangat cepat dan luas menimbulkan banyak kebingungan. Kebingungan teknis, hambatan untuk dapat mengikuti apa yang dilakukan KI di Jakarta ke KI di kota lain, haruskah ada sertifikat, dsb. Kebingungan teknis yang mungkin disebabkan belum sepahamnya semua orang yang terlibat di gerakan ini.
Suatu sore, seorang relawan berdiskusi dengan saya, “Mengapa KI meluas, apakah karena sudah ada template kegiatannya sehingga gampang dibuat?”
Kalau berani jujur, mungkin juga benar. Tapi mungkin kita sedang menghadapi risiko yang sangat besar untuk terdistraksi dari tujuan awal ini dibuat, yaitu sebagai sarana mendidik masyarakat untuk mampu eksekusi niat-niat baik, dan mengorganisasikannya sendiri di masyarakat. Apa yang sering ditanyakan teman-teman pegiat KI bukanlah pertanyaan “kenapa?”, “apa tujuan dari kebijakan ini?”, tapi lebih banyak pada “bolehkah?”, “bagaimana pembukaan dan penutupan acara?”, “sertifikat dan surat, siapa yang buat?” | Kurasa itu perlu dan mendesak, tapi kita lupa bertanya, apakah ini penting?
Berbagai pertanyaan itu sangat wajar untuk disampaikan ketika kita ingin membuat kegiatan. Tapi apakah sebatas itu saja kita mau merawat KI? Sebatas jumlah relawan dan seberapa sering kita membuat keriaan KI? Apakah KI masih relevan dilaksanakan ketika sudah banyak orang yang ‘membeli’ ide mengajar di sekolah? Apakah sudah waktunya kita ‘naik kelas’?
Tentang Pemerintahan Efektif dan Masyarakat yang Rapi
“Sekarang saya yakin, tugas pemerintah itu bukan untuk memberdayakan, tapi untuk menjadi efektif. Pemberdayaan masyarakat adalah tugas masyarakat itu sendiri, dari masyarakat yang rapi” -Hikmat Hardono
IM punya ide besar tentang masyarakat yang mampu mengorganisasikan niat baiknya sendiri, seringkali butuh waktu untuk mencernanya. Apalagi untuk saya yang selalu kabur dari acara kemahasiswaan saat berkampus di ITB, dan miskin pelajaran sosial kemasyarakatan. Reaksi teman-teman relawan pun beragam dalam menangkap ide-ide besar ini, ada yang mencoba memahami, tidak sedikit pula yang pragmatis. Tapi kupikir, setiap relawan berhak untuk memilah sejauh mana ia ingin terlibat dalam ide ini.
Hampir 5 tahun saya mencoba mencari cara agar masyarakat desa dapat akses listrik yang bertahan lama. Sepanjang itu pula saya bertugas bekerja bersama pemerintah untuk mewujudkannya. Hasilnya, lebih kurang sama seperti yang Pak HH bilang. Membuat pemerintah menjadi efektif saja mungkin butuh waktu sejak Indonesia merdeka hingga sekarang dan masa depan, lebih dari masa hidup saya. Masyarakat yang berdaya, saya pikir butuh waktu sepanjang peradaban. Maka struktur rigid bukan jawaban, tapi bagaimana agar nilai-nilai tetap terjaga namun mampu beradaptasi dengan perubahan.
IM dan kita bagusnya sebagai The Multipliers, ini adalah istilah Liz Wiseman dalam bukunya “Multipliers”. Mereka terwujud dalam 5 karakter:
- Talent Magnet: Menarik orang-orang berbakat dan membuat mereka mengeluarkan kontribusi terbaiknya
- Liberator : Menciptakan lingkungan yang intens dan membutuhkan pemikiran dan kerja terbaik dari tiap orang
- Challenger : Mendefinisikan peluang yang membuat orang-orang untuk meluaskan kemampuannya
- Debate Maker: Mendorong keputusan yang tepat melalui debat yang teliti
- Investor : Memberikan orang lain rasa memiliki terhadap hasil dan investasi dalam kesuksesannya
Secara sadar atau tidak sadar, tiap relawan sedang di multiplikasi agar menjadi tunas-tunas kebaikan di masyarakat. KI, khususnya, tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi empire of volunteers yang rigid dan penuh hirarki, atau berjalan dengan penuh permintaan izin. KI adalah tanaman yang siap menebarkan tunas-tunas kesuburan, tunas-tunas yang mengandung banyak zat kebaikan, yang tumbuh dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Mungkin dengan pemahaman seperti itu, gerakan ini bisa berlanjut.
Akan sangat disayangkan ketika keluasan berpikir kita disibukkan oleh kebutuhan-kebutuhan teknis penyelenggaraan sambil menyampingkan esensi. Saya menantang kita semua untuk berpikir lebih luas dan lebih dalam tentang apa yang sedang kita lakukan, baik itu dalam KI, atau dalam ruang-ruang kontribusi terkecil kita. Benarkah yang kita lakukan hanyalah mencetak sertifikat-sertifikat kerelawanan? Atau laman-laman website, foto-foto terbaru dan terbaik dari kegiatan?
Apakah kita sudah sukses dengan banyaknya relawan yang sudah lebih dari selusin kali mengikuti KI?
Tidakkah kita pantas untuk berpikir kembali mengenai dampak dari tiap keputusan dan kebijakan kita dalam menggiatkan KI?
Tidakkah kita pantas berpikir lebih luas dan lebih dalam soal interaksi kebaikan dalam masyarakat?
Refleksi
Di sisi lain, kita pun perlu melihat apa yang sudah selama ini dilakukan dalam pengelolaan KI di Indonesia. Meminjam istilah Malcolm Gladwell dlm bukunya, David and Goliath, mengenai prinsip legitimasi, yaitu:
- Setiap orang yang diminta untuk menaati otoritas harus merasa memiliki suara dan didengar ketika menyampaikan pendapatnya
- Aturan yang berlaku harus dapat diprediksi, semestinya ada ekspektasi yang beralasan bahwa aturan besok akan kurang lebih sama dengan aturan hari ini
- Otoritas mesti berlaku adil
Saya tidak tahu apakah prinsip legitimasi ini pantas untuk disandingkan dengan pengelolaan KI yang tidak memiliki struktur otoritas, ini adalah pertanyaan yang perlu kita jawab bersama. Saya menyampaikan ini hanya untuk membuka diskusi dua arah tentang dua sisi ekspektasi pegiat dalam keberlangsungan KI.
Maka diakhir tulisan ini, saya ingin bertanya pada diri sendiri, dan teman-teman pegiat yang setulus hati merawat Kelas Inspirasi.
Masih perlukah Kelas Inspirasi untuk dilaksanakan dengan bentuknya yang sekarang?Jika Ya, apa yang ingin kita capai bersama KI? Dalam kondisi seperti apa, KI sudah pantas untuk digantikan dengan inisiatif-inisiatif lain?Jika Tidak, bagaimana kita akan mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat yang rapi, tanpa KI?
Comments