Anak-anak risiko
Kupikir, kita ini
memang produk dari banyak risiko yang diambil oleh orang-orang tua kita.
Setidaknya itu menurutku, yang lahir dari orang tua angkatan 70an. Generasi
orang tua yang hidup di saat Indonesia masih “lucu-lucunya”, masih balita.
Seringkali aku
tertawa geli ketika bapak atau ibu cerita bagaimana mereka hidup di tahun itu,
tahun 50-70an. Ketika, kakek nenek kami harus cerdik memberi makan anak-anaknya
yang rata-rata ada selusin. Sekolah pun masih sekolah rakyat, pakai genteng dan
arang. Sedang ibu, sebagai kakak perempuan harus pintar memasak yang cukup
untuk saudara-saudaranya. Seringkali harus membuat gorengan buah cempedak yang
mungkin perbandingan tepung : cempedak nya setara 10:1, “asal ada baunya
sedikit”. Atau bapak, yang harus makan tempe dan nasi yang ditaruh di lemari
oleh nenek sebelum beliau berdagang kain dengan sepeda.
Saya rasa harus
berterima kasih sedalam-dalamnya atas setiap risiko yang diambil oleh para
pendahulu.
Risiko yang bapak
ambil untuk keluar dari salah satu desa di Cirebon dan merantau ke Jakarta
untuk bekerja. Tidur berdesak-desakan dan harus bangun jam 4 pagi agar bisa
kedapatan air untuk mandi. Sekali waktu harus tidur di bangunan rumah yang
belum selesai selama beberapa bulan, sebelum akhirnya “diselamatkan” karena
kondisinya diketahui orang tua di desa. Sebagai kakak laki-laki tertua dengan
banyak adik, kurasa mau tidak mau bapak harus ambil risiko itu.
Untung saja
sepertinya bapak memang jatuh cinta pada permesinan, sehingga tidak butuh waktu
terlalu lama untuk dapat pekerjaan sebagai mekanik. Lalu bapak ambil lagi
risiko kuliah malam, naik motor Honda tua dari Jakarta Pusat ke Srengseng,
kampus ISTN. Bahkan untuk kondisi perjalanan dengan tol saja, saya sudah
menyerah mendengar rute-nya. Karena tahun itu tidak banyak kampus yang
mengajarkan mesin, ISTN itu cukup populer, sehingga kuliah sambil berdiri dan
mengintip di jendela itu sering terjadi. Pulang kerja, kuliah, berdiri pula. Tapi
risiko itu tetap diambil. Sampai sekarang diktat kuliahnya tidak boleh dibuang
lho.
Ibu pernah
cerita, pada masa itu, bapak sibuk sekali sampai-sampai tidak ada waktu yang
bisa banyak digunakan untuk anak-anak. Saya ingat bapak wisuda waktu saya masih
balita, sedang saya masih punya dua kakak, saya berjarak 8 tahun dari kakak
tertua. Terbayang yah, lamanya waktu untuk lulus. Tapi risiko itu diambil juga.
Salah satu hal
berisiko yang paling saya syukuri adalah ketika Bapak memutuskan pindah dari
rumah nenek di salah satu daerah padat di Jakarta. Dengan kondisi masyarakat
sekitarnya yang kurang mendukung pertumbuhan anak, bapak ambil tanah di daerah
yang juaauuh (menurut standar tahun 80an) dan tanpa listrik. Istilahnya orang
betawi Senen, “lu mau bawa kemane tuh bini lu, ke tempat jin buang anak?”. Udah
jin, tempat buang anaknya pulak, kampung banget lah. Untuk sedikit
menggambarkan ke-kampung-an rumah saya adalah ketika bapak bawa mobil hardtop
kantor ke rumah, anak-anak sekitar menunggu dan langsung lompat ke mobil sambil
bersorak dan lari-lari mengejar. Belum lagi kalau hujan, si aa mesti melapis
sepatunya dengan plastik supaya tidak tenggelam di tanah. Udah cukup kampung
belum?
Namun dibalik
semua risiko yang diambil bapak, saya rasa ibu juga tidak kalah “gila”-nya.
Setelah dilepas untuk pindah dengan bertangis-tangisan, (Iya memang
semelankolis itu karena orang betawi memang lebih suka tinggal di dekat
saudara-saudara -red) toh dijalani saja tuh. Padahal ibu masih tergolong muda
waktu itu, sekitar 23 tahun. Saya jadi mikir, dulu bapak sepik-sepik apa sampe
ibu mau (hahahah). Sudah sendirian di kampung, dengan balita, gak kenal
siapa-siapa, ditinggal bapak kuliah malam pula (tega juga ya bapak.. hahaha). Kupikir
dengan pendidikan ibu yang harus puas di MTs, sepertinya beliau punya keinginan
yang melampaui keterbatasannya. Abah (ayahnya ibu) tidak kalah suportif nya,
beliau bilang ke bapak, “cari rumah yang ade jalan buat mobil, lu nanti bakalan
punya mobil”, sambil mendorong keluarga kecil ini untuk meneruskan keinginannya.
Sampai sekarang,
saya tidak yakin tahu semua risiko yang diambil mereka untuk kami. Ketika bapak
sudah cukup mapan, adik-adiknya dibawa ke Jakarta untuk kuliah dan tinggal di rumah.
Mamang dan bibi tinggal silih berganti mengasuh kami. Saya sebenarnya heran,
begitu banyak hal yang diurus bapak dan mimi, tapi saya lihat bukannya
berkurang hartanya, tapi semakin berkah. Serba pas. Pas butuh, pas ada. Belum
lagi, ibu mulai sibuk di majelis ta’lim dekat rumah dan bantu-bantu mengurus kegiatan
di mushalla. Sebelum menolong orang lain kan mesti menolong keluarga dan
tetangga yah. J
Kalau dipikir
secara rasional, dengan segala keterbatasan yang dimiliki bapak dan ibu, kurasa
banyak hal yang bisa membuat mereka takut. Apa yang membuat mereka kuat untuk
mengambil risiko yang terpampang nyata (kalo kata syahrini)?
Sebagai ilustrasi
mental nekat bapak saya, tadi pagi saya iseng bertanya, “pak, gimana cara nyari
tanah atau rumah?” | “liat prospek nya, cari di rencana tata kota nya” | “dulu
memang bapak tahu bakal ada kalau daerah rumah akan seperti sekarang (dekat
akses tol, busway, dan terminal)?” | “gak tau hehe” | Dang!
Terkadang saya
mencoba membayangkan berbagai risiko yang harus saya ambil, akankah saya
seberani itu, seberani bapak apalagi. Semakin bertambah umur, semakin banyak
pilihan dengan berbagai risikonya. Semakin banyak momen-momen canggung dan
menegangkan yang membuat diri sungkan dan enggan.
Tapi pada
hakikatnya, manusia selalu digerakkan dengan harapan atau ketakutan. Saya ingin
selalu digerakkan dengan harapan, harapan akan kehidupan yang lebih baik, lebih
berkah dari sebelumnya, yang melampaui segala keterbatasan. Saya rasa itu juga
yang menggerakkan bapak ibu saya, kakek nenek, kakak, teman, saudara, tetangga
dan orang-orang yang tidak saya kenal.
Orang-orang yang
masih berjualan ketika malam semakin larut dan dagangan belum habis juga.
Orang-orang yang melaju dari kota-kota satelit Jakarta dan berangkat sebelum
matahari mengedipkan mata. Kakek-kakek yang membawa kelapa dari tangerang ke
menteng dengan sepeda, yang berjualan di bahu jalan tol Cipali, orang-orang
yang menyeberang jalan tol di antara mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi
untuk mengantar hasil panen ke desa sebelah.
Berdamai dengan
risiko bukan hanya milik para pialang saham dan perusahaan, risiko itu ada di
denyut nadi manusia sejak ia lahir. Mungkin salah satu nasihat sederhana bapak
saya bisa menjadi penguat untuk saya (khususnya) dan yang membaca tulisan
panjang ini, haha.
“buat bapak, setidaknya dalam 1 hari ada 1 perbaikan yang bapak buat, apapun itu”
He is a man of
his word, sehari dengan bapak pasti akan tahu kebenaran dari ucapannya ini.
Untuk segala
risiko yang sedang dan akan kita hadapi: HADAPI dan Rasulullah SAW pernah
berkata pada Abu Bakar RA ketika mereka berlindung dari kejaran kaum Quraisy
yang hendak membunuh mereka saat perjalanan hijrah ke Madinah
“La takhof wa la tahzan, innallaha ma ana” | Jangan takut, dan jangan bersedih. Allah bersama kita
Semangat hari
Senin!
Comments