10.40.
“Bom di Sarinah?”
“Iya, istriku kabarin ini dari
Sarinah”, ujar salah satu rekan di kantor sambil terus mencari berita.
Suasana kantor di lantai 4 ini
masih tenang, semua sibuk dengan tugasnya. Beberapa mungkin sedang melihat
berita dari komputernya dan ponselnya masing-masing.
Berita terus bermunculan,
spekulasi pun tidak kalah cepatnya. Rekan-rekan bersahutan mencoba memberikan
informasi versi-nya dari beberapa muka perangkat komunikasi miliknya. Saya
mengamati dari meja, sambil bertukar kabar dengan teman-teman dekat dan
keluarga.
11.06
Semua terlihat gelisah di
mejanya, dan mulai berkumpul di pantry. Teman ekspatriat masih belum sadar
dengan apa yang terjadi karena kami ribut dalam bahasa Indonesia. Gambar-gambar
dari TKP bermunculan, beberapa lupa melakukan sensor. Spekulasi mengemuka, dari
siapa yang melakukan, teori konspirasi, sasaran teror, aksi tembakan membabi
buta, bom yang menyebar seantero jakarta, dan sebagainya.
Di saat seperti ini, saya menarik
diri dari arus berita yang simpang siur dan sibuk melempar lelucon ke
teman-teman. Kami terus melirik jendela yang notabene berjarak sekitar 2 km
dari tempat kejadian.
Berita-berita mulai berseliweran,
dan isu mengenai pengeboman di tempat-tempat lain tidak kalah serunya menambah
bumbu kepanikan. Tidak hanya dari satu sumber, semua saling bertukar sumber
yang didapatnya. Ada yang menyatakan dari kumpulan wartawan, potongan
percakapan dari grup, bahkan beberapa tv dan radio pun terdampak pula dari
simpang siurnya berita hari itu.
11.30
Saya menelepon orang tua di
rumah, hanya untuk memastikan bahwa meskipun tergolong dekat dari tempat
kejadian, saya baik-baik saja. Jalanan di depan kantor sedikit lebih sepi dari
biasanya, tapi orang-orang tetap berlalu-lalang. Gedung kami dikunci, dan
perusahaan kami menghimbau untuk tetap di kantor sampai ada berita yang
menyatakan keadaan aman untuk pulang.
Beberapa rekan sibuk membahas
kenapa, siapa, motif, dan berbagai spekulasi lainnya. Beberapa kejadian
sebelumnya dicoba dihubung-hubungkan. Dari pengalihan isu freeport, persidangan
jero wacik, kejadian Istanbul, kejadian Paris, orang cari perhatian, dan
sebagainya.
Saya mencuri-curi dengar sambil
membuka bekal. Ah, kejadian ini membuat saya lapar. Namun saya ingat buku yang
saya baca kemarin sore di kereta, Black Swan, karya Nassim Nicholas Taleb.
Paragraf tentang bagaimana
kecenderungan manusia untuk membuat kausalitas antara satu informasi dengan
informasi lainnya meskipun dalam kenyataannya, kedua informasi tersebut tidak
ada hubungannya sama sekali. Namun, kecenderungan ini begitu natural sehingga
kita secara tidak sadar melakukan hal tersebut. Hal ini dilakukan karena
manusia perlu meletakkan informasi pada ruang-ruang di otak. Sayangnya ruang di
otak kita ini terbatas, maka dibuatlah asosiasi-asosiasi antar informasi ini
agar mudah disimpan dan dipanggil, seperti folder-folder yang kita letakkan di
lemari. Hubungan kausalitas ini dibuat menjadi sebuah narasi yang meyakinkan,
meskipun pada kenyataannya tidak.
Taleb menyebutnya dengan fenomena
kekeliruan narasi. Kecenderungan ini, sayangnya, tidak selalu benar. Apalagi
jika fakta-fakta yang dihubungkan tidak melalui percobaan eksperimental yang
teruji. Kekeliruan ini tidak hanya terjadi di percakapan non-formal, namun juga
pada ranah sains. Sikap ini membuat kita lengah pada kejadian-kejadian tidak
terduga, Black Swan.
Rekan ekspatriat sudah mulai sadar dengan kondisi yang ada, dan dialog
ISIS, muslim, dan teror pun dimulai. Saya menolak ikut serta.
12.22
Diberitakan ada pelaku yang
berkeliling menembak ke sembarang arah menggunakan kendaraan. Ada yang
menyebutkan motor, ada yang menyebut mobil. Semua saling bertukar informasi
dengan sumber-sumbernya sendiri. Tentu dalam keadaan cukup mencekam tersebut,
semua berita diperlakukan sama, benar. Tidak ada salahnya waspada, tidak ada
salahnya juga menjadi skeptis dengan berita yang beredar.
“It makes no sense, ridiculous.” Saat
itu saya memilih yang kedua, skeptis. Diam menjadi pilihan paling menarik di tengah keriuhan tersebut. Apalagi
dengan ketidakikutsertaan saya dalam permainan kausalitas ini.
13.00
Semua berita sudah terkonfirmasi oleh pihak yang berwenang. Bom hanya
terjadi di kawasan Sarinah. Semua lokasi yang disebutkan terjadi bom, terbukti
isapan jempol semata.
Ruangan ini kembali tenang, semua kembali ke tugasnya masing-masing.
Beberapa teman di ruang percakapan online mulai bertanya, sebaiknya harus
bereaksi seperti apa ketika terjadi hal seperti ini. Saya belum tahu persisnya,
namun satu hal yang pasti “Jangan Panik”. Saya baru sadar bahwa sebagian teman
adalah pendatang yang belum mengalami segala sisi Jakarta yang terkelam.
Reaksi dunia online di Jakarta terhadap aksi teror kemarin pun cukup
terduga. Lelucon tentang kejadian itu pun berseliweran. Sebagian menanggapi
dengan canda, sebagian merasa miris dengan tidak sensitifnya warga Jakarta. Dan
betapa mudahnya suatu isu serius menjadi bahan candaan untuk hari itu. Analisis
terhadapa perilaku tersebut pun banyak dibahas, namun biarlah itu menjadi ranah
para ahli.
Saya hanya akan bercerita Jakarta dari kacamata saya, 50% betawi, yang
hidup di Jakarta hampir 20-an tahun.
Rumah keluarga besar betawi saya ada di area Johar Baru, Senen. Terkenal
dengan tingkat kriminalitas yang tinggi sejak ibu saya masih belum menikah. Di
tahun 1970-an, narkoba itu pemandangan biasa disini. Kokain, heroin, dsb.
Penjahat-penjahat kelas kakap pun mendapat rumahnya di area ini. Tidak jarang
penggerebekan, penangkapan, penembakan terjadi.
Tahun 1990-an sampai sekarang, tawuran antar warga menjadi tontonan
tahunan. Jalan yang ditutup, mobil yang harus berputar melompati trotoar,
gang-gang yang menjadi arena pertempuran, kebakaran, penembakan, gas air mata,
panah, samurai, batu-batu yang berterbangan, orang-orang yang terluka, bahkan
menjemput ajalnya dengan kekerasan pun sudah menjadi pemandangan rutin. Ada
pula yang ditembak di rumahnya ketika mencoba kabur dari sergapan polisi.
Keras. Memang.
Saya hanya pernah mengalami beberapa kejadian chaos seperti ini saat
tawuran masyarakat, tawuran pelajar, kerusuhan Mei-November 1998, beberapa
kerusuhan kecil sampai benar-benar stabil di tahun 2000, dan bom JW Marriot
2009. Tentu yang paling berkesan adalah kerusuhan Mei 1998 ketika saya dan
teman-teman dipulangkan secara tiba-tiba dari sekolah, semua berlarian menuju
kendaraan jemputan masing-masing, supir yang mencoba tenang mengantar anak-anak
meskipun jalur yang ia pakai harus memakai jalur-jalur tidak biasa. Kurang dari
5km dari rumah, sebuah pusat belanja dibakar dan menewaskan 200 orang. Chaos.
Kami berkumpul di rumah menonton tv, kakak belum pulang dari demonstrasi. Bapak
masih di kantor, menjaga dari penjarahan. Saya tidak ingat bagaimana ibu
menghadapi ini, tapi kami terus memantau keadaan dari telepon rumah. Tidak ada
grup WA dan BBM, tidak ada segala bentuk sosial media. Spekulasi rendah.
Belum lagi beberapa detour yang harus kami lakukan di perjalanan ketika ada
kerusuhan tiba-tiba, atau sekedar tawuran warga. Sampai sekarang kami masih
menerima telepon dari keluarga di Senen ketika tiba-tiba ada tawuran warga dini
hari.
Keras. Memang.
Secara data, sebuah penelitian menyatakan tingkat kriminalitas di Jakarta sangat tinggi http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150129081301-20-28184/jakarta-kota-paling-tak-aman-sejagat-cctv-sniper-disiapkan/
Berdasarkan data yang
dihimpun CNN Indonesia, kasus-kasus pencurian kerap terjadi di Jakarta
sepanjang 2014. Angka kasus pencurian dengan kekerasan (curas) mencapai 904
kasus. Sementara kasus pencurian disertai pemberatan (curat) sebanyak 3.515
kasus. Tindak pencurian kendaraan bermotor (curanmor) sebanyak 3.162 kasus.
Itu belum termasuk kasus-kasus kriminal lain. Kasus pemerasan misalnya hanya turun 9,79 persen dari tahun 2013, yakni sebanyak 433 kasus. Kasus pemerkosaan malah meningkat 10,52 persen dibanding tahun sebelumnya. Dari total 57 kasus pada tahun 2013, kasus pemerkosaan naik menjadi 63 kasus di 2014.
Berkaca dari data statistik terakhir BPS DKI Jakarta, ada lima kelurahan di Jakarta yang memiliki angka indeks kerawanan keamanan paling tinggi, yakni Kali Baru (Jakarta Utara), Kampung Rawa (Jakarta Pusat), Galur (Jakarta Pusat), Penjaringan (Jakarta Utara), dan Kampung Melayu (Jakarta Timur). Berbagai tindak kejahatan berpotensi terjadi di wilayah-wilayah padat penduduk itu.
Itu belum termasuk kasus-kasus kriminal lain. Kasus pemerasan misalnya hanya turun 9,79 persen dari tahun 2013, yakni sebanyak 433 kasus. Kasus pemerkosaan malah meningkat 10,52 persen dibanding tahun sebelumnya. Dari total 57 kasus pada tahun 2013, kasus pemerkosaan naik menjadi 63 kasus di 2014.
Berkaca dari data statistik terakhir BPS DKI Jakarta, ada lima kelurahan di Jakarta yang memiliki angka indeks kerawanan keamanan paling tinggi, yakni Kali Baru (Jakarta Utara), Kampung Rawa (Jakarta Pusat), Galur (Jakarta Pusat), Penjaringan (Jakarta Utara), dan Kampung Melayu (Jakarta Timur). Berbagai tindak kejahatan berpotensi terjadi di wilayah-wilayah padat penduduk itu.
Dan menurut saya ini berita paling mengejutkan, kekerasan mendekat ke
rumah.
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/07/27/15520581/Kasus.Tawuran.Tertinggi.Kini.di.Jakarta.Timur
Ada 63 kejadian tawuran terjadi di DKI Jakarta sejak awal
Januari 2015. Berdasarkan data milik Polda Metro Jaya, sebanyak 26 kasus
tawuran terjadi di Jakarta Timur, 8 kasus di Jakarta Pusat, 13 kasus di Jakarta
Selatan, 2 kasus di Jakarta Utara, dan 8 kasus di Jakarta Barat.
Maka reaksi sesama warga
Jakarta mengenai teror kemarin menjadi terduga. Saya tidak akan melakukan
generalisasi asal-asalan, namun sebagian dari kami mungkin adalah
generasi-generasi yang merasakan beberapa kejadian mencekam di kota ini. Belum
lagi generasi yang merasakan kejadian lima januari (Malari) tahun 1974 dimana
terjadi pembakaran-pembakaran di beberapa titik di Jakarta. Maka sebagian dari
kami pun menanggapi nya dengan ringan, bukan karena tidak menghargai nyawa korban,
tapi karena jangkauan emosi yang sudah ditempa bertahun-tahun. Jauh dari dugaan
kehilangan empati.
Bagi sebagian orang, canda
hanya reaksi sesaat untuk mencairkan suasana. Karena terus menerus dalam
keadaan mencekam tidak membuat pikiran menjadi jernih. Saya pun mencari bagaimana
harus bereaksi ketika kejadian seperti ini terulang kembali, seperti video yang
dibuat oleh salah satu pemerintah di Amerika Serikat tentang menghindari aksi
penembakan
Atau bagaimana cara
menjelaskan mengenai aksi terorisme kepada anak. Keponakan saya sendiri mulai
meniru aksi-aksi penembakan tersebut dengan mainannya.
Canda memang sudah menjadi
reaksi sementara, hanya sebagai cara perlindungan diri dari kepanikan
berlebihan, tetapi tetap dengan meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian agar
kejadian ini tidak terulang. Maka ketika program sistem keamanan lingkungan
(Siskamling) akan diadakan kembali oleh pemerintah Jakarta, saya rasa itu
tindakan yang tepat.
Sudah saatnya kembali
peduli pada lingkungan di sekitar rumah. Bukan ketakutan sesaat pada ISIS atau
Daesh yang hobi klaim sana sini atas aksi teror, tapi kepedulian yang lebih
pada keluarga dan lingkungan, pada aliran-aliran perkumpulan yang ada, dan
tindak-tindak kriminal yang dekat dengan keseharian kita.
Ketika otak kita lebih
tertarik pada hal-hal sensasional, jangan lupa, mungkin banyak hal-hal biasa
dan terasa rutin yang sebenarnya punya efek lebih merusak tatanan masyarakat.
Canda bukan berarti tidak
waspada.
Comments