Skip to main content

Apa yang membuat manusia menjadi manusia

Tetikus yang digenggamnya sudah berkali-kali maju mundur ke kiri-kanan, ke depan-belakang, dan berputar-putar, tapi tak ada yang berubah di layarnya. Hanya baris-baris sel, angka, dan kalimat-kalimat singkat yang berjejalan di tabel berukuran 418x595 sel.

“Mungkin, aku hanya bosan”, gumamnya.

Ia pun melangkah ke pantry, membuka kulkas hanya untuk melihat ada apa disana, menenggak air dingin, memandang jendela, lalu kembali ke mejanya.

Sudah 4 tahun ia bergulat dengan rutinitasnya. Sejak lulus dari universitas, Ia setia bekerja dengan ukuran tim yang tidak pernah besar, tidak lebih dari 30 orang. Sesekali pernah terbayang mengais nasib di organisasi yang lebih besar, namun langkahnya surut ketika melihat semakin berbelitnya birokrasi ketika organisasi membesar. Katakanlah, itu memang asumsinya sendiri.

“Saya suka duduk di pojok sini, dekat jendela dan bisa melihat lebih luas ke segala penjuru”, ujarnya ketika semua anggota tim mengatur tempat duduk. Dulu Ia duduk di pinggir jendela yang menghadap taman, tembok-tembok yang saling memberi batas-batas ruang membuatnya gelisah. Bukankah pandangan dan pikiran saling mempengaruhi? Ketika pandangan sudah disekat-sekat, sulit bagi pikiran menemukan ide-ide baru dimana asumsi-asumsi lama bisa saja tergantikan.  

.........................

“Buntu.”, pikirannya menerawang ke bangku taman. Tersangkut di antara ranting-ranting pohon yang bergesekan dihembus angin dan burung-burung yang berlompatan.

Bagaimana cara burung-burung itu menjadi burung yang lebih baik setiap harinya? Terbang lebih tinggi, sarang yang lebih bagus, jumlah cacing yang bertambah setiap harinya untuk dibawa pulang?
Apakah mereka terpacu dengan perolehan burung-burung di kawanannya? Atau hanya instingnya yang menentukan jumlah yang cukup untuk dirinya dan keluarganya?

Kenapa tidak banyak pohon yang tumbuh lebih tinggi dari sejenisnya? Apakah mereka takut kerasnya angin? Ataukah memang tidak semua pohon diciptakan untuk menjadi sangat menonjol dibandingkan pohon-pohon lainnya? Lalu apa yang membuatnya tetap tumbuh, tetap meneduhkan, tetap dirindukan makhluk lainnya?

Pikiran itu melambungkannya kembali ke satu pagi di 2012. Ia membuka jendelanya pagi itu, udara Hawassa[1] di pagi hari sangat sejuk, mengingatkannya pada Bandung. Tepat di depan jendelanya ada pohon yang ramai dengan berbagai hewan. Ada burung beraneka rupa, monyet-monyet yang berjingkatan, dan tak terhitung serangga yang menempel di badan pohon besar itu. Pohon yang tidak istimewa, sama seperti pohon-pohon lainnya. Tapi bukankah indah melihat banyak makhluk merasa nyaman dengannya? Sama seperti pohon-pohon lainnya. Ia pun rindu, pagi itu Ia habiskan untuk mengamat-amati interaksi pohon dan makhluk-makhluk yang bernaung di sekitarnya.

........................

“Tapi manusia bukanlah burung atau pohon yang selalu merasa cukup. Ia punya akal dan nafsu yang membedakannya dari makhluk lainnya. Apakah pantas kamu membandingan dirimu dengan makhluk tak berakal itu?!” , pikirannya menyentak.

“Ya, akal dan nafsu. Akal dan nafsu yang akan mengantar kita pulang nanti, yang tidak diberikan tanpa tanggung-jawab di belakangnya”, Ia mencoba menghentikan perdebatan yang terjadi di pikirannya, lalu kembali dengan rutinitasnya. Rutinitas yang membuatnya merasa seperti liliput yang mencoba menggedor tembok pagar beton. Hasil-hasil pekerjaannya terlihat seperti goresan saja, goresan yang tidak terlihat secara kasat mata. Ia ragu. Terlebih lagi, Ia ragu pada dirinya sendiri.

“Ah apa yang kamu lamunkan?! Jalan masih panjang, apakah orang-orang besar yang namanya masih harum sampai sekarang bisa membayangkan hasil kerjanya masih digunakan oleh banyak orang? Apakah Buya Hamka pernah merencanakan bahwa bukunya masih sering saya cari, anak kecil yang belum lahir ketika Beliau sudah dipenjara karena keteguhannya? Apakah Thomas Edison pernah mengkhayalkan bahwa karyanya masih digunakan dan disempurnakan ratusan tahun kemudian?”, Ia masih terus mencoba mencari-cari obat akan kelemahan tekadnya.

“Apa kamu pikir, orang-orang besar tidak pernah merasa rendah dalam hidupnya?! Terima dirimu, perbaiki, hadapi!”, Ia bergegas mencari wastafel dan membasuh wajahnya. Cukup.

............................

Sama seperti pohon, burung, dan makhluk lainnya, mungkin manusia hanya menjalankan perannya. Akal yang penuh berandai-andai hanya akan menunda ruang gerak, membatasi, mengerdilkan.

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al Mukminun:115)

Voltaire, filsuf Yunani, mengatakan bahwa kerja dapat menyelamatkan manusia dari 3 kejahatan besar, yaitu kebosanan, perbuatan buruk, dan kekurangan. Senada dengan apa yang diajarkan dalam Islam mengenai pentingnya manusia untuk terus bergerak, berusaha, sekecil apapun.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mau mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d : 11)

Penelitian Gallup menegaskan begitu mendasarnya kebutuhan manusia akan bekerja. Mengutip dari Brynjolfsson pada bukunya The Second Machine Age, Ia merekomendasikan bahwa di masa saat banyak pekerjaan manusia yang bisa digantikan oleh komputer atau mesin, kebutuhan manusia akan kerja ini sangat penting untuk dicarikan solusinya. Daniel Pink menjelaskan arti kerja bagi manusia yang digerakkan oleh kebutuhan untuk menjadi ahli atau mahir, kemandirian, dan memiliki tujuan atau menjadi bermakna.

Ketika hasil dari pekerjaan terlihat kecil, samar, dan terasa seperti menulis di atas pasir, tentu kita perlu melihat kembali apakah kita masih ada di jalur yang benar, apakah masih kita berada di arah tujuan yang sama. Seperti uraian kiai pagi ini, jangan-jangan hati kita penuh dengan penyakit, penyakit hasad, berandai-andai, tidak qana’ah. Tidak berartinya pekerjaan mungkin hanya di mata kita yang berbatas ini, tapi apakah amal kita masih baik di mata Allah SWT?

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman: 16).

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan” (QS. Al Anbiya’: 47).

Mungkin ini yang menjadi jawaban, mengapa banyak sekali orang-orang yang berumur panjang. Umur panjang dalam arti panjang manfaat amalnya, keberkahan atas amal yang dikerjakan dengan tekun.

Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit. (HR Bukhari No.782)

......................

Ia menerawang lagi meresapi apa yang Ia dengar pagi ini,

Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba (menuju batas shirothol mustaqim) sehingga ia di tanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan, hartanya dari mana ia peroleh dan dikemanakan ia habiskan dan badannya untuk apa ia gunakan.” (HR Sahih Turmizi dan Ad Damiri)

Setiap lenguhan hendaknya menjadi hentakan, pasti ada masa lemah, namun tetap kita yang tentukan kapan kelemahan menjadi momentum untuk melompat lebih tinggi lagi. Bukan demi saya, bukan demi kamu, tapi tanggung-jawab atas umur, ilmu, harta dan badan yang melekat pada diri saat ini maupun nanti.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Al Insyirah:5-8)





[1] Hawassa : sebuah kota di Ethiopia, 2-3 jam dari Addis Ababa

Comments

Popular posts from this blog

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan