Skip to main content

Rakus!



2012
"Mba, ini pembangkit listriknya mati total," Bimo menyodorkan foto hasil kunjungannya ke salah satu desa di Bengkulu. Dalam foto itu saya hanya melihat bendungan beton kosong melompong, tanpa setetes air pun di dalamnya. Ah.. miris. 

Bimo sedang magang di kantor kami. Ia bertugas untuk kunjungan lapangan dan mewawancarai warga desa pengguna pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Ia kemudian melanjutkan temuannya di Bengkulu. 
"Saya merasa aneh sungai kecilnya bisa kering gitu mbak, trus saya naik sedikit ke atas, ternyata kebunnya sudah jadi sawit semua mba. Tanahnya merah-merah," pahit ia bercerita pada kami.

2013
Lain waktu, berkunjung saya ke salah satu desa di Sumatera Barat. Lokasi PLTMH kali ini ada di dalam perkebunan sawit. Setelah melapor diri ke kantor kecamatan, kami beriringan masuk ke wilayah desa dan melewati baris-baris kebun sawit. Setelah 2-5 kilometer berjalan masuk melintasi tanah-tanah merah, pandangan saya sampai pada barisan pohon sawit yang perlu diganti. Batang-batang pohon bergelimpangan membuat area yang tadinya tertutup pohon menjadi lapang, kelapangan yang mengerikan!

Oh I hate this. Bertahun-tahun aliran darah saya meninggi ketika mendengar soal perkebunan sawit.

Pandangan ini mengingatkan perjalanan saya dari Riau ke Padang Sidempuan tahun-tahun sebelumnya sekitar tahun 2009. Sejauh mata saya mampu memandang, semua lahan memiliki pohon yang seragam, SAWIT sawit dan sawit lagi. Supir yang membawa kami pun dengan bangganya berujar, "Riau ini kaya minyak bu, minyak di atas (sawit), minyak di bawah (minyak bumi)"

2015
Sudah lebih dari satu bulan bencana kabut asap melanda Sumatera dan Kalimantan. Ini tragedi. Dalam kurun waktu saya bekerja untuk penyediaan listrik di pedesaan, cerita soal pembukaan lahan sudah lazim didongengkan, utamanya di kedua pulau tersebut. Begitu naas-nya usaha perlindungan hutan, hingga para pegiat konservasi harus menggandeng teknologi sebagai insentive konservasi. PLTMH adalah bintangnya karena ia membutuhkan aliran air dari sungai, dan siapa sih yang tidak mau listrik? Harga yang harus masyarakat bayar adalah dengan melindungi vegetasi di hulu. Nyatanya, mungkin gerak kekuatan modal lebih cepat dari usaha konservasi. 

Siapa yang bisa mengganti keanekaragaman hayati di dalam hutan? Lalu penduduk aslinya? Para suku rimba? Lahan-lahan gambut? hewan? Oksigen?

Oh ya, saya ingat selalu bagaimana damainya duduk di dalam kumpulan pohon-pohon besar yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Ketika kunjungan lapangan, saya biasa naik ke area bendung, dan duduk-duduk sambil mendengar gemericik air, gesekan daun, serangga yang bersahut-sahutan, dan burung-burung yang melompat-lompat ingin tahu. Sekedar berpegangan pada akar-akar tunggang agar tidak tergelincir, atau menanti beruk melempar kelapa muda ketika badan merongrong meminta ion-ion pengganti. 

Bagaimana nasib hewan-hewan hutan ya... Yang senang melolong malam-malam, berkejaran menyergap babi hutan, atau sekedar memberi suara di keheningan yang melenakan. Saya ingat di ketika kapal bermalam di Teluk Kalong. Diapit dua pulau di gugus Komodo, senyap sekali, dan gelap. Namun ada keriaan shubuh, selama takbir, ruku', dan sujud suara-suara hewan hutan itu yang menemani. 

Permintaan minyak sawit akan mencapai dua kali lipat pada tahun 2030. Program Lingkungan PBB (UNEP) memperkirakan bahwa hampir semua hutan hujan di Indonesia akan hancur pada tahun 2022. Dan itu 5 tahun lagi!! (baca disini) Tidak semua orang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, penanaman modal, pasar sawit yang mampu menggeret manusia-manusia terkaya di Indonesia ke kancah dunia. Selama saya mengikuti analisis para pakar kehutanan dan para ahli, begitu rumit permasalahan dibalik pembukaan lahan ini.


Bisakah kita melakukan sesuatu? mengurangi konsumsi produk sawit?

Mengutip sawitonline.com, berikut adalah beberapa produk turunan sawit 
  1. Daging buah kelapa sawit menghasilkan minyak sawit. Minyak sawit diproses menjadi:
    • Bahan pangan: minyak goreng, margarine, vanaspati, pengganti cocoa butter
    • Non pangan (oleokimia) : lilin, stearin, sabun, asam lemak, gliserin, deterjen, pelumas, plasticizer, kosmetik, minyak diesel
  2. Serat perasan buah sawit dapat diproduksi menjadi papan partikel, pulp, sumber energi, dan makanan ternak
  3. Inti sawit diproses menjadi minyak goreng, salad oil, oleokimia, makanan ternak, karbon aktif, bahan pengisi dan papan partikel
  4. Tandan kosong dan batang pohon adalah bahan baku pembuatan pulp, papan partikel, pupuk dan sumber energi
Luar biasa sekali bagaimana produk sawit masuk ke segala lini kehidupan kita, dari pengisi perut sampai bahan dasar furniture. Mengurangi makan gorengan tentu membantu hidup menjadi lebih sehat, namun bagaimana dengan produk turunan sawit lainnya. Dapatkah kita lepas sedikit-demi-sedikit dari cengkeramannya?

Mungkin garis besar dari teguran asap ini adalah soal perilaku konsumtif manusia yang sudah melewati batas. Paru-paru dunia adalah harga yang harus dibayar untuk bisa memenuhi nafsu manusia yang tidak berbatas. Dan tahun ini, jutaan paru-paru manusia harus mencicil harga milyaran nafsu konsumsi ini. 

Saya pun menulis ini sambil menerawang,,, mungkin bukan sawit yang harus saya benci, tapi mulai perkebunan kerakusan di diri masing-masing.. ah.. Tuhan memang begitu cerdasnya.

Comments

Popular posts from this blog

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan