“hhhh…
kenapa sih harus gitu-gitu amat bacaannya, Allah juga ngerti lah bacaan Al
Quran kita”
Sambil
bersungut-sungut dalam hati, saya duduk bersama muslimah lain di masjid kecil
tempat salah satu ustadz mengajar materi pesantren akhir pekan. Sambil duduk
berjajar, masing-masing diuji lafal huruf, tanda baca (tajwid), dan panjang
pendeknya. Teman sebelah sudah fasih sekali karena les di tempat lain. Saya si
pembangkang ini berpikir keras, hal yang terlihat mudah ini kenapa susah
sekali. “Gw kan belajar iqra dari kecil, lha ini kenapa jadi susah amat!”
Di
pesantren akhir pekan ini, fasilitasnya menggunakan fasilitas santri usia SMP.
Terkadang kami bertemu dengan mereka yang sedang bersiap-siap, atau mencuci
baju. Kami tidur di ruang kelas mereka, mandi juga di kamar mandi mereka yang
kecil dengan ember yang harus bergantian dengan kamar mandi sebelahnya.
Seadanya saja. Sebenarnya malu sih kalau mengeluh terus, melihat anak-anak ini
yang terlihat bahagia saja. Untuk urusan makan, biasanya kami bawa lauk sendiri
untuk makan malam. Sedangkan makan pagi disiapkan oleh pesantren. Di satu
nampan itu, biasanya 5-7 orang meletakkan apa yang kami bawa. Kalau yang tidak
sempat bawa apa-apa, biasanya menambahkan sekedar bakwan, atau kacang, atau
pilus. Kemudian mencuci alat makan sendiri. Setelah ‘isya, ada kajian sampai
jam 11 malam, tidur, lalu bangun jam 2 malam untuk shalat malam. Lepas Shubuh,
ada kajian lagi, olahraga, lalu kajian lagi.
Pertemuan
pertama, dibahas soal jenis Al Quran yang umum dipakai di Indonesia kurang
mendukung jika ingin belajar Tahsin. Ada beberapa tanda baca yang
disederhanakan oleh ulama-ulama terdahulu, untuk memudahkan umat. Namun jika
ingin belajar tahsin sesuai dengan konvensi Al Quran oleh khalifah Utsman bin
Affan RA, maka mesti memakai Khat Utsmani dari Madinah. Okesip! Kami diberikan
buku kecil juz ‘amma yang sesuai dengan khat tersebut. Dan petualangan pun
dimulai! Ini kenapa tandanya jadi banyak bangettttt dan bacaan saya seperti
debu-debu bedak talk! Mohon dimaklumi, saya gak pernah benar-benar ikut TPA
waktu kecil.
Oke, saya
stress.
Teman saya
pun mulai bercerita perihal les Tahsin di daerah Condet, Al Utsmani namanya. Saya
dengarkan sambil lalu dan berusaha berdamai dengan kenyataan bahwa bacaan saya
berantakan banget dibandingkan peserta yang lain. Kalau saja tidak ada teman saya
ini yang sering ikut mobil saya dari rumah ke tempat pesantren di Ciputat,
mungkin saya sudah banyak bolosnya. Hahaha pembangkang nomor wahid.
Setelah
pesantren akhir pekan ini selesai. Teman saya memberikan kontak ustadz yang
bisa mengajarkan Tahsin dan ada program private. Selang waktu berlalu, saya
ajak beberapa teman untuk ikut. Proses ini cukup sulit karena jadwal les kami
lepas Maghrib, pulang kerja. Ada dua pilihan, diajar oleh ustadzah tapi
jadwalnya hanya bisa pagi sampai petang, atau diajar oleh ustadz tapi harus ada
murid laki-lakinya. JRENG! Oke saya paham alasannya, pontang-panting lah kami
kumpulan perempuan ini mencari teman laki-laki yang mau belajar Tahsin. Dari
sekian komunitas yang kami coba, sampai sekarang, Cuma satu yang mau dan
bertahan sampai sekarang.
Tempat
belajar kami pun nomaden, dari masjid satu ke masjid lainnya. Dari teras Sunda
Kelapa yang gelap, Masjid di belakang Sudirman Park, Masjid Baitul Mughni yang
berangin, sampai akhirnya disediakan tempat di ruang rapat perusahaan terkemuka
di Jakarta. HAHAHA YES! Untung ustadz-nya sabar dengan tempat dan jadwal yang
berganti-ganti, Alhamdulillah saat ini sudah mulai mapan.
Jadi, apa
sebenarnya yang didapat dari petualangan belajar Tahsin?
Memperbaiki
bacaan Al Quran ternyata:
- · Tidak sekedar memperbaiki makhraj huruf (lokasi huruf di dalam mulut atau lafal huruf),
- · Tidak sekedar mengetahui tanda baca yang tiba-tiba jauh lebih banyak dari apa yang diajarkan di sekolah dulu
- · Tidak sekedar panjang pendek bacaan
- · Tidak sekedar tahu kapan harus berhenti, ambil nafas, atau ngerem mendadak
- · Tidak sekedar tahu bahwa ada beberapa bacaan yang dicontohkan malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW dengan cara baca yang sangat unik dan harus diikuti. Alasannya sederhana, karena itu yang dicontohkan malaikat Jibril. Titik. Keren ya!
Ternyata belajar
Tahsin itu lebih banyak soal memegang kendali diri. Sampai sekarang saya masih
terseok-seok urusan ini. Serius.
Kenapa soal
memegang kendali? Banyak dari kita, termasuk saya, ingin segera menyelesaikan
bacaan dalam satu kalimat. Hal ini terbawa oleh kebiasaan membaca huruf latin
yang tidak sensitive terhadap panjang pendek atau lafal huruf. Bahasa Arab Qurani
itu 180 derajat berbeda! Perdamaian dengan Bahasa Arab ini memang butuh waktu
berbulan-bulan, dengan berbagai insiden perdebatan. Hingga pada suatu titik memutuskan,
oke kita belajar Bahasa Arab juga supaya paham sebenarnya ustadz ini maunya apa
sih?! Afwan ustadz.
Prioritas
dalam membaca Al Quran itu pada lafal, panjang pendek (karena kalau panjang
pendek salah, bubar semua artinya), tajwid (kapan dengung, kapan ditahan, kapan
nyambung), dan kapan berhenti. Untuk tahu kapan waktu berhenti yang tepat, ya
sedikit banyak harus tahu arti dari kata ini apa. Lucu kan kalau misalnya kita baca
“Ibu Bu diberang katker ….. japagi-pagi”, artinya kacau. Itu baru ibu Budi, lha
kalau Al Quran, wes bubarlah petunjuk yang ada di dalamnya.
Kalau sudah
jago 3 hal itu, barulah bisa melagukan, dengan catatan bacaan harus tartil dan
tepat. Seringkali ustadz saya menegur muridnya yang ngotot melagukan tapi 3 hal
itu berantakan kemana-mana. Ulang lagi, ulang lagi, ulang lagi, ulaang terusss
sampai bagus, mengulang 5 kali bacaan yang sama itu sudah biasa. Masih mending
kalau mengulang ayat, biasanya kami mengulang lafal huruf! Bisa stress loh!
Seriusan, sampai sekarang kami suka stress.
Sebenarnya
apa yang dikendalikan? Nafsu.
Nafsu ingin
cepat selesai, nafsu ingin terdengar bagus dan baik, nafsu ingin cepat bisa,
nafsu ingin cepat makan, nafsu bahwa
saya-sudah-tau-cara-baca-ini-ustadz-jangan-nyusahin-dong, dan nafsu-nafsu
lainnya. Seperti pareto, materi belajar itu mungkin mengambil 80% waktu, 20%
nya soal memegang kendali diri sendiri, tetapi 20% ini yang membuat bacaan kita
bagus atau tidak. Dulu saya sering bertanya-tanya, kenapa para qori/qori’ah
harus menarik nafas dan menatap lembaran Al Quran begitu lama sebelum membaca
tiap ayat. Lamaaaa sekali, sampai gemes. Dan di sesi Tahsin seringkali saya
sendiri dihadapkan di kondisi itu. Ada kondisi dimana kita tahu apa yang
dibaca, tapi antara otak dan lidah itu tidak sinkron. Mengulang 5-10 kali di
potongan ayat yang sama itu sudah jadi rutinitas. Maka menarik nafas, membaca istighfar, dan
menenangkan diri untuk focus itu jadi penting banget. Terutama ketika banyak
pikiran, tidak focus, sedang emosi atau kesal, dan segala penyakit hati
lainnya.
Lalu apa
yang bisa diambil dari tulisan tanpa arahmu ini tiek?
Haha.
Membaca Al Quran dengan baik itu ternyata lebih banyak urusan hati. Ketika kita
menikmati, meresapi (meskipun masih terbata-bata juga memahami artinya apa),
dan menahan diri (tidak terburu-buru), InsyaAllah bacaannya juga bagus.
Implikasinya, dalam lingkup yang lebih luas, interaksi kita dengan Al Quran
bisa jadi adalah sarana latihan juga untuk melatih interaksi kita dengan Allah
SWT dan manusia. Semakin sering kita berinteraksi, semakin terbangun hubungan
yang erat dan rasa yang sama. Seperti mengendarai sepeda, pertama kali mungkin
terseok-seok, jatuh lagi, bangun lagi, nabrak lagi, tapi lama kelamaan
menikmati juga angin yang menyibak-nyibak rambut dan menampar-nampar wajah. :D
Bahasa Arab
itu penuh rasa dan sangat bergantung pada konteks. Satu kata bisa beragam arti,
tergantung konteks penggunaan kata tersebut. Agama itu juga soal rasa, perkara hati.
Ketajaman kita melihat konteks, adalah latihan akal agar tidak mudah mengambil
kesimpulan ketika informasi yang diperoleh belum lengkap.
Ketika
dunia sudah berlebih-lebihan mengeksploitasi kerja otak, mungkin kita perlu
sedikit banyak meluangkan waktu untuk melatih rasa dan mencapai keseimbangan
dalam hidup kita sendiri. Dan bagi banyak orang, interaksi yang intensif dengan
Al Quran, tentu setelah shalat juga, adalah cara yang sangat patut dicoba. Selamat menyelami rasa bersama Al Quran, semoga Allah SWT membimbing kita.
Comments