Skip to main content

Dimensi dan Kontinum

Saat ini, kecepatan merupakan hal yang digadang-gadang menjadi aspek paling penting dalam mencapai keunggulan. Tidak mengherankan, karena derasnya informasi dan mudahnya akses seharusnya memudahkan banyak orang mengambil informasi untuk membuat keputusan. Bisnis menjadi cepat, kemampuan sebagian orang untuk meningkatkan kompetensinya menjadi tak berbatas. Namun, pertanyaan selanjutnya muncul. Benarkah kecepatan adalah hal yang paling utama sebelum masuk ke kriteria lain atas sebuah keunggulan? Menurut saya, jawabannya adalah tergantung. 

Ada kecenderungan yang paling menggelitik,yaitu kecepatan dalam menilai orang lain. Unggul atau tumpul?

Seringkali, kecepatan informasi tidak memberi dampak baik. Kecepatan dan ragam informasi tidak membuat manusia lebih bijak. Tidak lebih bijak dalam bereaksi, tidak lebih bijak dalam mengambil kesimpulan. Dunia serba cepat inilah juga yang membuat sebagian orang senang mendikotomikan orang secara ekstrim. Dia benar, dia salah. Dia jahat, dia baik. Dia bodoh, dia pintar. Dia ahli dunia, dia ahli akhirat. Dia pelit, dia boros. Ketika bumi dan seluruh planetnya saja berbentuk bulat, kenapa kita ngotot membuat pojok-pojok khayalan? Ketika para ilmuwan susah payah membuat sistem bujur dan lintang untuk mendefinisikan sebuah lokasi, kenapa kita ngotot mendefinisikan bumi sekedar kutub utara dan selatan?

Seperti segalanya di dunia ini, keadaan manusia pun berada dalam sebuah kontinum, yang (mungkin) lebih dari 3 dimensi. Bahkan fisik kita sendiri pun 3 dimensi, belum lagi jika kita tambahkan dimensi ruh, Anggaplah bahwa cara kita menilai orang adalah dari :
  • x : apa yang dipikirkan, yang mayoritas tergambar dari apa yang dia sering ucapkan
  • y : apa yang dilakukan, yang mana jika kita tidak kenal secara langsung akan diwakili oleh berbagai outlet media atau cerita orang lain

Bagaimana kalau kita tambahkan kriteria ketiga (z), yaitu kriteria waktu? 

Kriteria waktu yang digunakan untuk melihat bagaimana setiap manusia memiliki pergolakan, pembelajaran, kejatuhan, kebangkitan, dan beragam kejadian yang unik bagi tiap orang. Dengan menambahkan waktu, kita tidak kehilangan seluruh aspek yang membuat seorang manusia menjadi manusia. Selalu ada latar belakang sejarah, dan lingkungan yang mempengaruhi setiap keputusan yang diambil. Seperti kita ketahui, sejarah membutuhkan waktu untuk membuatnya. 

Bagi orang selain dirinya sendiri, mudah membuat manusia menjadi sekedar dimensi 2 ruang dan diskrit. Padahal sangat berbeda ketika kita diperlihatkan foto sebuah tempat dengan pengalaman ketika berada disana. Melihat dalam perspektif kontinum adalah sikap menghargai diri kita sendiri sebagai manusia sebagai makhluk yang kompleks. Berapa banyak orang yang dianggap tinggi derajatnya harus mengalami kejatuhan tragis di akhir hidupnya.

Bagaimana jika saya hadapkan pada sebuah situasi dimana Buya Hamka harus mendekam dalam penjara. Jika kita hanya ambil secara diskrit, mungkin apa yang terbersit adalah beliau menjadi pesakitan di bui. Tapi jika kita tambahkan dimensi waktu, dalam masanya di penjara, beliau mampu selesaikan Tafsir Al Quran yang mahsyur dengan sebutan tafsir Al Azhar. Berapa banyak orang yang sudah dianggap pesakitan ternyata terbukti benar dan tidak bersalah. Apa jadinya, jika kita hanya menilai orang secara diskrit? Bias.

Jika kita mau memperhatikan sejarah, bahkan ulama se-istimewa Bukhari yang sudah mampu menghafal ribuan hadits dan mengajar di berbagai tempat dapat difitnah sedemikian rupa hingga harus tinggal menyendiri. Lebih lagi makam-nya pun tersembunyi di tempat yang terpencil di Asia Tengah yang sempat dikuasai Rusia. Namun, siapa yang mampu mendebat keunggulan karyanya yang mampu menjadi referensi utama para muhaddits hingga ribuan tahun dan saat ini.

Maka ada orang bijak yang menyarankan, jika kita ingin tahu kualitas dan manfaat seseorang bagi sekitarnya, lihatlah bagaimana kematiannya. Berapa banyak yang kehilangan atau seberapa dalam kehilangan tersebut? 

Dalam arti lain, dimensi waktu menjadi krusial ketika menilai seseorang. Ketika kita cepat mengambil penilaian dalam fungsi (x,y) saja atau 2 dimensi, jangan-jangan kita sudah menyia-nyiakan banyak hal dan mereduksi nilai diri kita sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan