Skip to main content

Perihal: Pergi Sendiri

Pergi sendiri, makan sendiri, nonton sendiri adalah momok yang menakutkan buat sebagian orang, apalagi perempuan. Padahal, sama nikmatnya dengan pergi bersama-sama orang lain atau keluarga, tergantung situasi hati. Tidak pernah ada situasi yang rasanya akan konstan sama terus menerus. Es krim pertama kali coba, sepertinya mau dihabiskan sendiri. Setelah 2-3 kali makan es krim yang sama, kenikmatannya menurun. Atau sebaliknya, masakan pedas pertama kali dimakan, rasanya mau langsung ke tempat isi ulang galon aja, tapi setelah 2-3 kali, bahkan nasi nya bisa nambah, pake kerupuk pula. 

Cordoba dari Alcazar
Beberapa kali saya pergi sendiri, bukan karena sok ingin jadi seperti buku Eat, Pray, Love, tapi karena rejekinya begitu, dijalani saja. Pekerjaan saya memang memungkinkan untuk berada di tempat-tempat yang terpencil, serunya tempat terpencil ini terkadang satu jalan juga dengan daerah wisata atau tempat yang unik. Karena sebagian adalah perjalanan dinas, sering sekali sulit menyesuaikan jadwal dengan orang lain. Maka pilihan termudah, jalan saja sendiri. 

Jalan sendiri pertama itu ke: Bangkok. Setelah pelatihan selesai, ada waktu 2 hari di akhir pekan untuk dimanfaatkan. Pindahlah saya dari hotel bintang 5 ke hostel LubD (yang dalam bahasa Thailand berarti tidur). Dengan isi 4 orang dalam satu kamar, asik juga. Ada 3 penghuni saat saya bermalam disana, 1 orang Singapura yang tampaknya fokus belanja, 1 orang Korea yang fokus menjelajah dunia, dan 1 orang Indonesia yang "hilang" :p. Sekadar pergi ke Chatuchak, naik MRT mondar-mandir kesana kemari sampai lecet, lalu pulang. Menarik? Ya perasaan hilang itu yang menarik. Lagipula hostel LubD ini penuh para petualang sorangan, da aku mah apa atuh hanya orang oportunis. 

Orang-orang Habasyah atau Abyssinia atau Ethiopia

Jalan sendiri kedua: Ethiopia. Sebenarnya tidak benar-benar jalan sendiri, lebih tepatnya kawan saya memilih pergi ke Kenya setelah acara kantor berakhir. Saya si perempuan mungil dari Betawi ini sungguh lugu ingin pulang ke Jakarta saja. Ciut hati kalau ingin pergi berputar-putar sendiri di sekitar Afrika timur, tak sanggup menghadapi hyena sendiri. Padahal sejarah Ethiopia itu kan ciamik sekali, tempat hijrah pertama para Tabi'in (pengikut Nabi Muhammad di awal keberadaan Islam). Setelah 5 hari acara kantor, saya pun harus bertahan 1 hari 1 malam di Addis Ababa, bersama kawan yang baru dikenal dari Rwanda dan Madagascar. Kami bertiga menyewa taksi yang penuh bulu-bulu merah di dashboard nya (fabulous) ke pusat kerajinan. Pesawat yang saya tumpangi dari Addis ke Dubai pun sempat tertunda 4 jam, karena gangguan pendingin. Seluruh penumpang sudah di kabin, namun lebih dari 1 jam pesawat tidak berangkat dan tanpa pendingin, awak pesawat pun membuka pintu pesawat. Sesaat terasa seperti di terminal kampung rambutan. Guling-gulingan di Dubai, lalu tibalah di Jakarta.

Albaycin dari Istana Nasrid

Jalan sendiri ketiga: Andalucia, Spanyol. Waktu itu malam takbir, saya menyetir untuk mengantar ibu mencari bunga sedap malam. Ketika kembang api bersahutan, saya berbisik dalam hati, suatu hari saya akan pergi melihat Cordoba dan Andalucia. Tring.. tring.. Syawal tahun berikutnya, berdirilah saya sambil menggeret-geret koper di Berlin Tegel, menanti pesawat untuk mengantar saya ke Malaga, lalu naik Renfe ke Cordoba. Zaituuuun! Koper saya berat, bawaan 3 minggu dalam koper medium pinjaman seorang kawan. Kalau saja saya cukup pintar untuk membawa sedikit baju saja, karena di Eropa kan keringat tidak banyak. Atau cukup cerdas untuk tahu bahwa suhu musim panas di Spanyol cukup untuk mengeringkan baju dalam waktu 2 jam saja. Kembali ke stasiun Maria Zambrano, Malaga. Untung saja pembelian tiket cukup mudah, setelah berbahasa tubuh karena sebagian besar bicara Spanyol saja, saya mengantri dan mendapat tiket Renfe untuk hari itu. Sampai di kereta pun, ada penduduk Cordoba yang berbaik hati, Alfonso, mengangkatkan koper saya yang berat itu. Eh setelah saya ingat-ingat, banyak yang membantu mengangkat koper itu. :D
Tak terkira bahagianya melihat tulisan Cordoba, dan kebun Zaytun, mungkin waktu itu saya memang senyum-senyum sendiri. (yaaa gak kenal ini)
Karena sendiri, tentu saja di kota tua Cordoba, saya berputar-putar sendiri. Saya tipe pejalan yang senang berlama-lama, tidak perlu ke banyak tempat asal bisa observasi lebih dalam soal tempat yang sedang dikunjungi. Maka ke Mezquita pun saya lakukan lebih dari 2 kali. Entah kenapa saya tidak takut pergi ke acara Flamenco di pusat kebudayaan, malam hari. Bulan purnama waktu itu, irama sepatu menghentak dan semua bertepuk. Karena rejekinya sendiri aja menonton pagelaran yang semestinya honeymoon-able, ya nikmat-nikmat saja. 


Masih dalam satu rangkaian, saya lanjutkan perjalanan sepatu saya ke Granada. Oke ada apa disana? ALHAMBRA. Cordoba ke Granada ditempuh hampir 4-5 jam dengan bus. Sepertinya waktu itu saya salah bus, karena saya bingung dan supir nya pun tampak malas menjelaskan, bersepakatlah ia untuk mengangkut saya dan penumpang lainnya. Bus itu tergolong sepi. Seorang biarawati masuk dan beberapa pejalan ransel. Jalanan Andalucia itu seperti lawan jalanan Jakarta, sepi. Sepanjang perjalanan kebun Zaytun, bus pun mogok. Oh. snap! Jadwal bus ini sudah mepet sekali dengan waktu Ashar, dan saya belum Zuhur karena setelah dari Madinat Al Zahra, saya ngibrit ambil koper dan ngacir ke terminal bus. Kalau telat, habis sudah kesempatan. Entahlah, sungkan rasanya untuk shalat di kendaraan ketika berada di negara yang Muslimnya adalah minoritas. Tapi saya tidak punya pilihan. Ketika bus mogok, saya ambil kesempatan untuk meng-qasar shalat. Para pejalan ransel memandang saya dengan penuh tanya. Dalam keadaan serba tidak pasti, ada satu Muslim sedang shalat, dan satu biarawati dengan rosario nya. Pandangan mereka pun bergantian ke saya dan ibu biarawati. Lepas menunaikan shalat qasar, mesin bus pun menyala dan nyaris tanpa gangguan sampai Granada. Ternyata, pertolongan itu dekat sekali :)

Menuju Pateo padre manjon, Albaycin

Tiba di Granada, saya harus mencari apartemen yang akan saya sewa beberapa hari ke depan. Saya tidak menyangka bahwa apartemen tersebut ada tepat di sebelah Alhambra, di area wisata, depan Paseo Padre Manjon. Dengan kontur berbukit dan jalanan yang terbuat dari batu, iya batu, kan ini area sejarah Medieval, saya menggeret koper pinjaman sambil menghitung kalau koper ini rusak saya harus menabung berapa. Sudah hampir sore, dan orang semakin padat berlalu lalang. Musim panas seperti ini, semua turis dan penduduk hanya keluar di pagi, sore dan malam hari. Setelah berkali-kali menelepon host, tibalah di tempat. Jauh maaaakkk! tapi strategis nian dari Alhambra dan Albaycin. Saya sudah memesan tur setengah hari di Alhambra dari Getyourguide untuk lusa. Tapi karena anak hilang penuh kenekatan ini begitu tidak sabar ingin mencicip si benteng merah, pagi sekali sebelum jam 7 saya sudah berjalan menuju Alhambra. Tak disangka, antrian sudah panjang dan saya hanya dapat tiket siang. Menyelusur Alhambra sendiri tanpa guide, itu tidak saya rekomendasikan. Cerita di balik bangunan ini yang membuatnya menarik. Meskipun ketika masuk ke Istana Nasrid, saya tidak berhenti menganga melihat struktur honeycomb di mihrab-mihrab dan atap istana. untungnya Spanyol bukan negara dengan populasi lalat terbanyak :D Esoknya saya kembali ke Alhambra, kali ini dengan pemandu wisata.

Honeycomb, signature form
Atraksi di Granada itu Alhambra, Albaycin, Sacramento, dan sebenarnya ada museum Andalucia namun mereka tutup saat musim panas (apaaaaaa???). Ada satu tempat yang tidak masuk itenerary tapi ditemukan ketika saya tidak tahu lagi harus kemana, yaitu Mezquita de Granada. Masjid yang masih aktif sampai sekarang, dibangun tahun 1973 oleh keturunan Maroko di Albaycin. Lokasinya? Jangan salah, terasnya tepat menghadap Alhambra. Albaycin dan Alhambra disebut "the twins", mereka saling berhadapan. Referensi akan mengatakan turis untuk pergi ke Mirador Plaza dimana Alhambra bisa dinikmati dari plaza tersebut, tapi jika waktunya ketika matahari terbenam, jangan harap bisa melihat Alhambra darisana, setiap sudut sudah penuh. Enggan dengan suasananya, saya pun mencari Masjid tersebut dengan harapan bisa shalat sambil menunggu Maghrib. Lelah. Setelah naik turun dan diantar pengurus masjid, saya pun tiba di teras Masjid ini. Alhamdulillaah sepi, tenang, pulang. :) Teras ini tidak tertutup bagi turis, asalkan dapat menjaga sikapnya. Marbotnya pun rupawan. :DD Pengurus masjid ini menyediakan limun yang bisa dibeli dengan harga 1 EUR. Saat duduk-duduk menunggu Maghrib, datanglah satu keluarga dari Perancis dengan 1 bayi. Karena bayinya bule, ukurannya pun besar. Entah apa yang dilihatnya di saya, si anak hilang yang kelelahan namun kesenengan, bayi ini menatap saya dan menjorok-jorokan badannya ke saya. Ibu nya bingung, dan ketika ia dilepaskan untuk merangkak, segera saja ia menghampiri saya yang berjarak 1-2 meter darinya. Obat kangen keponakan di rumah :'). Orang tuanya yang keheranan mengajak saya mengobrol sekedarnya, baik sekali keluarga ini.

Albaycin atau Albayzin (coba temukan menara masjid)

Meskipun terasnya terbuka untuk umum, area shalat tetap tertutup. Selepas jamaah Maghrib, saya putuskan menunggu sebentar hingga Isya'. Ternyata ada pengajian disana karena bertepatan dengan malam Jum'at. Jamaah laki-laki duduk melingkar dan membaca surah Yaasin dengan kebiasaan Maroko, sedikit berbeda dalam nada saja, dan menarik. Di area shalat wanita, beberapa jamaah yang bergabung. Ada wanita paruh baya, dan anak-anak yang mengaji. Wanita paruh baya ini sudah tinggal puluhan tahun disini, beliau mengajak saya untuk makan siang setelah shalat Jum'at, karena mereka selalu membuat acara silaturahmi di hari Jum'at. Sayangnya saya tidak sempat memenuhi undangannya, karena terpukau dengan Janat al-Arif atau Generalife.

Super-awesome ceiling: Honeycomb
Saya lupa, Isya' di musim panas artinya hampir tengah malam. Saya pun bergegas menuju apartemen sewaan dan menyempatkan mencari restoran halal di sekitar. Marbotnya adalah muallaf. Ia dan salah satu pengurus terlihat khawatir ketika saya pamit. Mereka mengantar hingga pintu dan memastikan saya paham arah pulang yang mereka berikan. Kontur Albaycin itu perbukitan dengan gang sempit, kalau tidak hati-hati kita bisa tersasar. Pengalaman buruk saya dengan gypsy membuat saya menghindar dari area Sacramento, bahkan melewatinya pun saya enggan. Kunci pergi sendiri adalah kemampuan mengidentifikasi kelompok orang, orang baik atau orang yang tidak bisa dipercaya, intuisi, dan tawakkal. Pada jalanan yang gelap, sebisa mungkin saya bersama rombongan yang terdiri dari satu keluarga. Saya berjalan 1-2 meter di belakang mereka, cukup dekat hingga kalau terjadi apa-apa mereka masih bisa menolong saya. :D Oh ya, satu lagi: jangan pernah terlihat bingung. Kalaupun harus balik arah, berbaliklah dengan mantab. Fake it till you make it. Cari tempat yang bisa dipercaya untuk bertanya.

Jalan sendiri ke Andalucia ini memang salah satu prestasi buat saya si anak yang ke kamar mandi saja harus ditunggui, cerita selanjutnya mungkin pergi sendiri ke Timur, yaitu sedikit Raja Ampat dan Flores. 

Comments

Seru bangeet perjalanan lo Tiek!
atiek said…
makasih batbatabatabat.. selanjutnya mau cerita flores? atau lanjutin eropa? *malah survey
Nadya Saib said…
SUKAAAAAA!!!

LAGI!
LAGI!
LAGI!
LAGI!

Gue doakan, semoga semakin banyak perjalanan-perjalanan lain ke depannya. Perjalanan yang penuh berkah.
Beni Suryadi said…
Nasehat terbaik yang bisa gw berikan adalah.... "jalan-jalan lah sendiri ketika kau masih sendiri..."

Balada kangen keluarga di rumah tiap kali perjalanan dinas. Rapat keluar langsung cabut ke bandara untuk pulang sesegera mungkin...Menikmati tempat berwisata di kota tujuan??? LUPAKAN. Hehehehe..
atiek said…
@nadnad: Amiiiinnn.. sama siapa nya masuk doa gak? hahahaha

@beni: tau deeeh yang udah punya anak istriiii.. ajak dong sekali2 bumi sama ekaa :D

Popular posts from this blog

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan