Skip to main content

Menyapa masyarakat Pupung, Rondowoing, Flores

Saya terbirit-birit menyiapkan perjalanan kali ini, Manggarai Timur, NTT. Disana ada koperasi kecil KUD Borong Jaya yang sudah berdiri sejak tahun 1980-an, orde baru. Kali ini saya mendampingi pelatih usaha kecil dan menengah untuk mengajar warga desa yang baru saja teraliri listrik dengan tenaga air. Kementerian Koperasi dan UKM menunjuk beberapa koperasi untuk mengelola aset ini. Ide dari pemerintah yang brilian menurut saya dan teman-teman di kantor.

Jumat saya siapkan dokumen perjalanan, Senin pagi saya terbang ke Kupang. Kami akan bertemu disana kemudian terbang ke Ruteng, dan dilanjutkan dengan kendaraan darat. Pak Aloysius Ontar, ketua KUD sudah menyiapkan kendaraan untuk kami, Pak Yos yang menjemput dengan mobil roti balok. Perjalanan dari Ruteng ke Borong ditempuh dalam waktu 1.5 jam. Dengan wajah ramah khas Manggarai, Pak Yos mengantar kami dan bercerita kesana kemari. Berbeda dengan travel lainnya yang suka menyetel lagu memekakkan telinga, Pak Yos lebih senang mendengarkan cerita tamunya. Di jalur ini, jangan harap ada tempat istirahat. Jika terdesak ingin ke kamar kecil, warga sekitar jalan bersedia ditumpangi toilet nya. Pintar-pintar saja memilih rumah :D

Orang Manggarai itu mementingkan nama baik. Maka mereka akan memperlakukan tamu dengan sebaik-baiknya. Setidaknya itu yang saya pelajari dari setengah perjalanan ini.

Lalu kami tiba di kota Borong. Kota kecamatan yang baru saja menjadi ibu kota kabupaten Manggarai Timur. Kecil sekali kota ini, gedung pemerintahannya banyak yang masih menyewa rumah warga, namun sekarang mereka sedang membangun kompleks pemerintahan di atas bukit. Jaraknya sekitar 12 km dari terminal Borong dengan jalan yang belum bisa dikatakan baik.

Kami sempat heran untuk apa jauh di atas bukit, namun tanah yang dipakai saat ini adalah pemberian dari komunitas adat. Tanah ini sekitar 50 hektar, tanah mati dari bebatuan yang tidak bisa ditanam dan aman dari guncangan tektonik. Kepala dinas koperasi dan UKM menerima kami, orang yang bersemangat untuk memajukan masyarakatnya. Beliau mengutus staf nya untuk menemani kami selama 3 hari di desa Rondowoing, Dusun Pupung, Kec. Ranamese.

Kendaraan disiapkan, hanya "oto colt" dan mobil berpenggerak 4 roda yang bisa menembus jalan kesana yang terjal dan berbatu. Oto colt adalah truk kayu, kendaraan idola masyarakat Flores. Tua-muda, manusia, binatang ternak, sayuran, semua masuk kesana. Dengan mesin yang menderu, nyanyian penumpang, musik manggarai yang mendebarkan jantung, oto colt membelah liukan pegunungan Flores.

Jujur, saya khawatir untuk perjalanan kali ini. Langkah menjadi berat di hari keberangkatan. Namun tugas tetap harus tunai, mempersiapkan segala kemungkinan jika tidak ada tempat menginap yang cukup nyaman lalu tawakkal.

Kami singgah dulu di rumah Pak Yulius, manajer KUD. Om Yul asli Maumere dan hijrah ke Borong bersama istri dan anaknya. Anak pertamanya kuliah di Yogya, anak keduanya -Alfridus- akhir bulan ini akan meneruskan kuliah disana, sedangkan Berto -anaknya yang terakhir- masih duduk di kelas 2 SMP. Istri Om Yul, guru SD kelas 2, sedang menempuh pendidikan S1. Perangainya sangat lembut dan keibuan. Berkali-kali beliau mengatakan "aih anak nona pergi sendirian, kalau saya orang tuanya tidak saya kasih pergi". Saya hanya tersenyum sambil memikirkan ibu di rumah. :) Tapi ini bukan perjalanan berbahaya.

Kami mandi, bersiap, lalu makan sebentar di Warung Ayu area Kampung Bugis. Salah satu restoran halal disini. Pukul 5 sore kami berangkat, Om Yul dan Pak Alo selalu kompak bilang perjalanan ini hanya 1 jam. Meskipun lumayan meleset dari perkiraan, saya tahu itu adalah bentuk kebijaksanaan mereka agar kami tak ciut hati kesana. Menantang. Setelah melewati sekitar 3 kampung, 5 sungai, hutan, dan jurang, sampai juga kami disana. Rasanya senang karena di daerah yang mesti menempuh 1 jam perjalanan berbatu dan terjal, ada kerlip lampu disana.

Kami disambut warga yang sudah berkumpul di rumah Pak Kepala Desa, Pak Inosensius Jemadu. Seorang lulusan sarjana dari Surabaya yang menikah dengan penduduk desa ini, seorang Bidan desa. Umurnya masih muda, mungkin tidak jauh dari saya. Putranya bernama Ain dan putrinya Nora. Anak-anak ini yang membantu saya beradaptasi. Kami disambut dengan upacara adat, dengan sebotol Sopi atau Mokke arak asli Flores, dan seekor ayam kampung. Intinya seluruh warga dan nenek moyang menerima dan akan melindungi selama ada di desa ini. Selesai upacara yang dipimpin Bapak Gabriel, saya dipanggil Pak Servus ke dapur, ia meminta saya untuk menyembelih ayam sendiri. Teman saya tidak sanggup melihat darah, saya pun mengikuti ke dapur dan menyembelih ayam. Oke jadi ada satubkeahlian yang wajib saya pelajari, menyembelih hewan agar makanan saya selalu halal. Jujur saja kami terkejut mereka memperhatikan ini, meskipun berkali-kali saya harus menolak suguhan sopi atau arak mereka yang terbuat dari pohon aren.
Penginapan kami ada di atas bukit. Rumah Romo Yohanes, salah satu putra dari Mama, kerabat Pak Gaba. Disini ibu yang sudah tua dipanggil Mama. Dari 10 anak, 9 anaknya semua merantau keluar, dan ia tinggal bersama salah satu puteranya. Sampai di atas bukit kami tercengang. Rumah tembok dilapisi keramik, dengan 3 kamar yang dilengkapi kamar mandi dalam. Di ujung ruang tamu terpasang salib dan patung Maria. Ini lebih dari bagus!! Masya Allah, tawakkal berbuah manis. Ar Rahman mengantarkan rizki dari seluruh makhlukNya.

Kami pun bergegas lalu turun lagi ke rumah Pak Kades untuk makan malam. Terhidang nasi merah, sayur dan ayam yang tadi saya sembelih. Jika disuguhi oleh orang Manggarai, kita harus nambah, kalau tidak mereka kecewa. Mereka akan pikir masakannya tidak enak. Menambahlah walau sedikit, pintar-pintar atur porsi makan dan jangan berlebihan di awal. :DD

Besok kami akan memulai pelatihan. Bersambung ya....
Dituliskan di Labuan Bajo, 12 Mei 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

untuk mahasiswa ITB dari Rendra

saya rasa kita semua yang mengaku orang muda, berpendidikan, punya berjuta teori yang mau dibenturkan dengan dunia nyata, punya berbagai idealisme yang belum diwujudkan, yang masih diam sampai sekarang (seperti saya), yang mau berubah, yang mau bergerak untuk siapapun, bangsa, umat, atau diri sendiri.. harus baca puisi dari sastrawan Rendra ini, tanda bahwa 30 tahun mahasiswa masih menghadapi masalah dan dilema yang sama. . sampai kapan mau diam dibalik menara gading ini?? menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak - kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada baya