Tabir n 1 tirai penyekat (pendinding) atau penutup
dinding
1ja·rak n 1 ruang sela (panjang atau jauh) antara dua
benda atau tempat
Ada
dua kata yang pada beberapa hal membuat berpikir panjang. Apakah mereka
sebaiknya ada, atau kita enyahkan saja, karena keduanya kadang membuat frustasi. Iya, dua kata di atas yang saya
tuliskan pengertiannya dari KBBI.
“hati-hati
mba di laut dengan kapal seperti itu” kata seorang Bapak yang saya temui di
sebuah pulau ketika kami mampir untuk shalat di masjidnya. Saya, dua orang
teman kantor, dan dua nelayan berputar-putar di area Raja Ampat dengan kapal
sekoci putih. Nekat, kira-kira begitulah. Kami punya waktu 12 jam untuk
melakukan ini, dengan hasil kulit yang terbakar lumayan parah. Ini adalah
perjalanan yang tertunda dari hari sebelumnya karena angin barat melanda
perairan sana.
Pagi
itu lepas Shubuh, kami siap berangkat, pun sudah berpamitan dengan keluarga
Nasarudin di Pulau Soop yang asli Buton. Keluarga kecil yang baik sekali. Anak
Pak Stev Burdam yang asli Tobelo ternyata lupa membeli bahan bakar, dan pagi
itu dia terbirit-birit pergi melaut ke Sorong. Saya sedikit gugup karena Pak
Nasarudin, nelayan ulung, tampak tidak yakin melepas kami. Saya pun memantau
keadaan dengan berdiri di bibir pantai, sampai saya melihat langit hitam
berjalan ke arah kami. Pak Stev menghampiri dan terdiam. Saya melihat ke arah
Sorong, anak Pak Stev sedang jatuh bangun menghidupkan motor di kapal sekoci
yang akan kami tumpangi. Apa ini benar yang harus dilakukan?
Angin
semakin kencang datang, dan Pak Nasarudin berteriak sambil menghampiri. “Masuk
ke rumah! Angin barat datang!”. Pak Stev kembali ke rumahnya, dan saya berjalan
cepat ke rumah Pak Nasarudin bersama anak dan istrinya. Itu pengalaman angin
barat pertama saya. Pohon kelapa seperti arsiran dalam gambar, tidak jelas
bentuknya. Ketinting Pak Nasarudin yang diikat di belakang rumah bergoyang
keras. Kami menutup semua pintu dan terdiam, sambil sesekali memperhatikan
jendela. Kalau saja saya tahu angin barat sedahsyat ini, mungkin saya tidak
akan berani meminta untuk pergi ke Raja Ampat dengan kapal kecil itu. Setelah
reda, kami memutuskan bermalam 1 hari lagi. Tiba-tiba alarm pembangkit listrik
di desa itu berbunyi kencang, membuat warga sekitar bingung. Pembangkit listrik
itu adalah alasan kami ada di pulau ini. Dua teman saya cekatan menelusuri
masalah yang ada, setelah 1-2 jam masalah selesai. Kabel komunikasi antar dua
komponen digigit tikus.
Hari
kedua tiba, Pak Nasarudin tidak gugup lagi. Ia cukup tenang melepas kami.
Diantarnya kami ke pantai bersama dengan keluarga Pak Stev. Berangkatlah kami
ke kepulauan yang termahsyur itu, kami ber-enam. Tenang sekali perairan di
sekitar selat Selawit, hingga suatu titik kapal kami diguncang ombak. Air laut
menerpa sekoci kami hingga kami tidak bisa melihat dengan jelas. Wajah dan badan
kami sudah ditampar-tampar air laut. Saya tetap senang, tidak sadar bahwa 5
teman sedang gugup. Sekoci kami hanya punya 1 motor, kadang kami berpapasan
dengan kapal besar para penyelam, atau kapal pesiar kayu. “Ombaknya besar
sekali, saya gugup waktu itu” ujar anak Pak Stev. Saya mencoba mengingat, oh
itu sewaktu kami ditampar air laut dan sekoci bergoyang hebat, “Oh itu bahaya
ya?” dan teman saya hanya melihat ke saya dengan wajah dengan kaget.
Lain
waktu, saya memutuskan pergi ke Andalucia setelah pelatihan di Berlin.
Andalucia adalah tujuan impian dengan Cordoba dan Alhambra. Teman saya hanya
ingin pergi ke Paris menemui temannya, tidak ada pilihan, saya berangkat
sendiri. Persiapan saya hanya rute, tiket transportasi, dan hostel. Saya tidak
sempat menelusuri peringatan keamanan, fakta bahwa saya tidak punya teman di
Spanyol itu mestinya sedikit membuat gugup. Belanda, tempat teman saya,
ternyata memang jauh sekali dari Cordoba atau Granada. Hehehee. Saya serba
tidak tahu disana, bekal saya cuma wi-fi finder, google map, dan kemampuan
berbahasa inggris yang pas-pasan. Di Cordoba, saya tertipu gypsy, bis mogok di
tol dikelilingi kebun zaitun, muter-muter kota saat penduduk tidur siang,
tersesat di antara gang-gang sempit Albaycin malam-malam, dihampiri bayi
Perancis yang besar dan tiba-tiba minta gendong, dan dapat doorprize kaus di
Alhambra. Oh atau mengobrol dengan orang Cordoba asli di kereta, Alfonso, yang
memang membuktikan mereka memang ramah. Segala peringatan keamanan di area
tersebut baru saya ketahui setelah sampai di Indonesia. Selepas shalat jama’ah
di Mezquita de Granada, di Albaycin, itu sekitar pukul 23.00. Karena musim
panas, maghrib baru pukul 21.00. Saya santai saja berjalan sendirian di tengah
gang-gang sempit yang gelap, saya saat itu dibimbing intuisi saja. Sedangkan
turis lain biasanya berdua atau dengan rombongan. Waktu itu saya hanya
berpikir, kalau terjadi apa-apa saya lari ke masjid, disana banyak orang yang
bisa saya mintai tolong. Atau langsung lari ke pemilik rumah yang saya tempati,
yap saya menggunakan AirBnB.
Beberapa
kejadian tersebut menguatkan saya atas perlunya tabir. Tabir dalam hidup
beragam, tabir masa depan, tabir informasi, tabir pengetahuan, dan berbagai
batasan yang sering kita temui. Jika saya tahu perairan tersebut luas dan dalam
sekali, atau ada bahaya angin barat yang mengintai, saya tidak akan berani
melakukan yang saya lakukan, mengitari perairan dengan sekoci fiber, bermotor 1
yang ngadat di tengah laut. Atau saya mungkin berpikir ulang berputar-putar
sendirian di Andalucia, jika saya tahu banyak pencopet, atau dalam gang sempit
itu kejahatan bisa saja terjadi.
Dalam
hal-hal tertentu, tabir itu mengganggu sekali, membuat kecewa, salah paham, dan
berbagai ketidaknyamanan. Tapi tabir merefleksikan apa yang kita lihat. Tabir,
membolehkan kita tetap memandang hidup sebagai hal yang positif dan menarik
untuk dijalani. Tabir memberi harapan untuk manusia melompat melebihi
kemampuannya. Tabir membuat seseorang tampak lebih baik daripada sesungguhnya,
tentu tidak ada manusia yang sempurna. Orang hebat yang kita lihat, hanyalah
orang biasa yang aibnya dilindungi tabir sehingga prestasinya lebih menonjol
dari tabir yang ada. Orang yang kita anggap buruk, hanyalah akibat dari kebaikan
yang tertutup tabir dan ia tidak sempat menyingkapkannya untuk kita. Saya mulai
merasa senang dengan tabir, atau hijab. Begitupula dengan tabir masa depan.
Tabir membuat kita punya pengharapan yang jauh lebih baik dari yang mungkin
ditakdirkan, dan proses menghidupkan harapan itulah yang membuat kita semakin
kaya sebagai manusia. Sampai di tahun ke-27 ini, saya merasa itu sudah terbukti
berulang kali. J
Oh
ini sudah panjang sekali, saya menulis Ja.rak di tulisan berikutnya ya.. J
Comments