Skip to main content

Madinat al Zahra - 1

Hari pertama di Cordoba, saya menyempatkan menonton pagelaran Flamenco, 26 Euro. Saya pikir sudah sewajarnya dengan harga tersebut, ternyata seorang turis di penginapan bilang itu terlalu mahal! Akh.. Memang jika mau menonton flamenco dengan puas bisa dilakukan di pub-pub kota Granada seharga 6 EUR, tapi manalah mungkin saya ke pub malam-malam. Pilihan lainnya adalah menonton flamenco gratisan di Roman Bridge, ah tapi pilihan ini datang terlambat. :D Bagaimanapun saya mendapat pagelaran yang memuaskan dengan harga tersebut, hampir 1.5 jam, dan suasananya kondusif di bawah bulan purnama.
Flamenco

Menakjubkan melihat ekspresi mereka. Flamenco awalnya adalah bentuk protes komunitas gypsy, dan tarian ini merupakan campuran budaya Spanyol, Gypsy dan Arab. Salah satu komunitas gypsy tertua ada di Sacramento, Granada. Mereka masih tinggal di gua. Sayangnya saya tidak cukup berani kesana karena trauma tidak bisa menolak aksi ramalan mereka di tulisan sebelumnya. Seandainya saya pergi berdua, mungkin saya sudah ubek-ubek daerah itu.

Kembali ke pagelaran. Luar biasa sekali energinya! Saya sampai menganga! Dan yang saya pelajari dari budaya latin adalah mereka senang sekali bersorak. Saya menyadarinya sejak mendarat di Malaga, ketika berhasil mendarat dengan mulus hampir semua penumpang bersorak “BRAVO BRAVO!” dan bertepuk tangan. Di pagelaran ini pun mereka senang sekali bersorak dan bertepuk tangan, saya menikmatinya sekali. :D

Hari kedua di Cordoba, saya manfaatkan dengan berputar-putar di lorong-lorong kota. San Basilio adalah area dimana turis bisa melihat patio, taman di dalam rumah yang menjadi kebanggaan mereka. Beberapa rumah warga dibuka untuk umum dengan membayar sekitar 2-3 EUR. Ada lagi bermacam benteng-benteng tua yang membatasi area kota sejarah dan kota modern. Terik se terik-teriknya musim panas hari itu, mencapai 39-41 derajat Celcius. Berbekal topi jerami dan kacamata hitam, saya putar-putar kota yang seperti tak berpenghuni pada jam 14.00 – 16.00 karena penduduk asyik menikmati patio atau tidur siang (siesta).


Di dekat tempat parkir Mezquita ada museum pemandian arab (Hammam) yang terletak di bawah tanah. Hammam adalah pemandian umum tempat masyarakat berinteraksi, yah mungkin seperti mall atau warung kopi jaman sekarang. Dan di pemandian itulah raja dibunuh. Ketika saya berkunjung, saya adalah pengunjung terakhir sebelum museum tutup untuk siesta. Merinding disco karena ke’eung (bahasa orang sunda kalau merinding karena ngeri). Entahlah, saya memutuskan kabur. :D

Sungguhan ingin makan eskrim, tapi khawatir sama gelatin yang dipakai. Niat makan eskrim pun urung, dan menenggak air putih sebanyak-banyaknya. Sebenarnya cukup naif membawa air botolan kemana-mana karena di setiap sudut ada water tap. Tapi sebagai orang Indonesia perkotaan yang tidak biasa minum dari keran, bergantunglah hidup pada air botolan.

Averroes - Ibn Rushd
Hari terakhir saya gamang, apakah sempat ke Madinat al Zahara yang terletak 15 menit dari Cordoba. Untuk pergi ke MaZ hanya ada 2 jadwal keberangkatan 10 dan 11 am , kemudian kembali pada pukul 1 dan 2 pm. Saya harus mengejar bus ke Granada sekitar pukul 3 pm. Dengan tekad bulat saya mengepak semua barang pada malam sebelumnya, pagi sekali saya sempatkan ke Mezquita di jam gratis. Kemudian berlari ke tempat penjualan tiket bus yang ternyata berbeda dengan tempat menunggu bus, lari kuadrat. Sebelumnya saya ingat untuk mencari patung Averroes (Ibn Rushd) yang belum saya temukan hari kemarin, dan membuat saya tersasar di La Juderia. Di perjalanan menuju tempat menunggu bus ke MaZ saya melintasi patung tersebut! Alhamdulillah setidaknya sempat lihat.


Sepanjang jalan bunga-bunga bermekaran, penduduk yang menyirami tanamannya dan harum tanah dan batuan yang tersiram air, dengan latar benteng jaman Medieval. Uuuu saya terlempar ke masa itu kemudian kembali ke masa sekarang ketika melihat rombongan turis. :D

Menunggu bus ke MaZ di depan hotel AC, turis-turis yang datang berdua atau sekeluarga. Saya seperti anak hilang dengan topi jerami, tapi nikmat sekali mengamati orang lain. Ada 2 orang Arab, beberapa pasangan manula, pasangan bulan madu, dan keluarga besar. Tak lama ada CRV baru terparkir di depan kami, keluarlah wanita cantik menghitung para turis yang teronggok di lapangan parkir, mungkin dia petugas turis. Tapi beneran loh cantik.

Bus to Madinat al Zahra

15 menit kemudian, kami sampai di Museum Madinat al Zahara. Sepanjang perjalanan ladang-ladang kering berwarna cokelat. Oh tempat ini hampir seperti gurun, saya lupa sedang di eropa atau afrika. Kalau saja tidak terlihat gedung-gedung dan mobil mewah, jalanan ini mirip ketika saya ke Ethiopia (Habasyah - tempat hijrah pertama). :D Museumnya baguuusss! Saya suka arsitektur yang sederhana dan terlihat menyatu dengan lingkungan  sekitar. Museum ini mendapat penghargaan Aga Khan dalam bidang arsitektur. Museum menyimpan benda-benda arkeologi dari area Madinat al Zahara dan buku-buku. Semua area wisata sejarah di daerah provinsi Andalucia dikelola oleh Junta de Andalucia. Sehingga tidak heran kalau nuansa museum di Cordoba dan Granada hampir selaras. Di perpustakaan museum dijual semua buku-buku yang menjelaskan akar Islam di Eropa, dinamika Andalucia, bahkan Al Quran dalam bahasa Spanyol. Museum MaZ juga mendapat penghargaan atas misinya menjembatani perbedaan antara budaya timur dan barat yang ada di Eropa. Mereka yang pantas mendorong inisiatif ini karena akar sejarahnya sangat kuat. Dan mereka sangat SERIUS!
Madinat al Zahra from North Tower

Setelah menonton video perkenalan tentang MaZ yang berisi rekonstruksi bangunan dan sejarah, kami diantar oleh shuttle bus ke area runtuhan MaZ. Daerah itu persis di lembah pegunungan. Dalam pengantarnya MaZ adalah area yang paling ideal sebagai sebuah kota dan tempat tinggal karena di area tersebut semua orang akan terhenti dari perjalanannya. Tempat orang beristirahat. MaZ adalah kota yang dibangun oleh Sultan Abdurrahman III sebagai kota pemerintahan dan tempat tinggalnya. Dari tempat tinggalnya ia dapat melihat keseluruhan wilayah pemerintahannya. Andalucia terkenal dengan jeruknya, dan di lokasi ini jeruk bertebaran, jingga menggoda. Kemanapun melangkah akan tercium aroma melati yang berbeda, sangat khas Andalucia.


Comments

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

untuk mahasiswa ITB dari Rendra

saya rasa kita semua yang mengaku orang muda, berpendidikan, punya berjuta teori yang mau dibenturkan dengan dunia nyata, punya berbagai idealisme yang belum diwujudkan, yang masih diam sampai sekarang (seperti saya), yang mau berubah, yang mau bergerak untuk siapapun, bangsa, umat, atau diri sendiri.. harus baca puisi dari sastrawan Rendra ini, tanda bahwa 30 tahun mahasiswa masih menghadapi masalah dan dilema yang sama. . sampai kapan mau diam dibalik menara gading ini?? menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak - kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada baya