Skip to main content

Al Andalus (Andalucia) - Cordoba

Pesawat saya dari Berlin menuju ke Malaga. Sebuah kota di pantai yang jadi tujuan wisata banyak orang Jerman, kenapa? Karena tarifnya paling murah. :p
Sambil naik pesawat 3 jam tanpa hiburan, saya menonton episode 29 serial Umar bin Khattab. Luar biasa Khalifah ini, tidak tahan saya harus menyembunyikan mata yang sembab karena melihat ilustrasi Umar RA yang tersaruk-saruk membawa karung terigu dan mengajarkan seorang ibu dari 4 anak untuk membuat roti. Sebelumnya ia mendengar anak dari ibu tersebut yang menangis terus menerus, dan Umar RA menegurnya karena ia terlihat abai. Ibu itu berkata, anak saya lapar dan saya tidak ada makanan, saya hanya mengaduk-aduk panci agar mereka tenang seolah saya sedang membuat makanan. Sontak Umar RA ketakutan akan tanggung jawabnya, setengah berlari mengambil kantung terigu dari Baitul Mal dan memikulnya sendiri ke tempat ibu tersebut. Beliau bahkan menghardik Aslam, asistennya yang memaksa ingin memikul kantong tersebut, "Apa kamu mau menanggung dosa saya nanti di hari kiamat??!!" hardik beliau. 

Tiba di bandara Malaga, saya ambil kereta ke stasiun Maria Zambrano. Menunggu dan berguling-guling di stasiun, ternyata kereta terlambat, semua penumpang sudah merapat ke peron. Cuacanya panas luar biasa berkisar 39-41 derajat Celcius, sebagian penumpang sudah mengangkat kaus sampai terlihat perutnya. Kalau kita mau sedikit mengurusnya, keterlambatan kereta ini bisa benar-benar diminta kompensasinya, setidaknya itu yang sering dilakukan penumpang di sebelah saya seorang warga asli Cordoba. Alfonso, warga Cordoba tersebut, sempat memberi tahu bahwa tanaman yang saya lihat sepanjang jalan adalah zaytun, yang dalam bahasa Catalan disebut Azzaytuna dan minyaknya disebut Aceite. Banyak kata serapan Arab di wilayah ini, kata-kata yang dimulai dengan Al-, dan banyak lagi. Hal ini menunjukkan kuatnya budaya Arab di wilayah ini. Kalau dibilang orang Cordoba itu ramah, betul sekali! Teman perjalanan saya ini tidak sungkan menawarkan untuk sekedar minum teh bersama temannya dan membantu saya menemukan alamat penginapan. Oh iya, dan mengangkat koper saya yang beraaattt! :D Penting itu. Sepanjang perjalanan saya mengangkat koper naik turun kereta, selalu ada saja yang membantu. Udah kecil, tasnya banyak berat pula.
Malaga, foto dari depan stasiun Maria Zambrano
Dia juga bercerita bahwa suatu hari pernah terjadi insiden beberapa Muslim ingin shalat di depan mihrab di Mezquita. Karena itu sudah menjadi Katedral tentu aksi ini dilarang, ini adalah kejadian yang pernah disebutkan Hanum dalam bukunya “99 Cahaya di Langit Eropa”. Persis seperti seorang tokoh yang Ia sebutkan di bukunya, Alfonso pun menganggap lebih baik Mezquita menjadi museum saja daripada katedral. Saya tidak menanggapi lebih jauh dari sekedar tersenyum sopan, bagi saya itu sudah menjadi hak mereka sebagai pewaris wilayah tersebut.

Percakapan paling aduhai adalah:
"Are you alone?" | "Yes" | "But you're too young!" | hahaha muka orang Asia emang relatif gak boros yaa.. padahal di Jakarta gw dipanggil Emak! :"D

Sepanjang jalan di Cordoba, setiap toko memutar instrumental Al Andalus yang membuat suasananya semakin hidup. Baca blog ini sambil mendengar musik ini juga boleh :)


La Juderia, Cordoba
Tempat penginapan saya sangat strategis, hanya 100 meter dari Mezquita, dan saya selalu melewatinya ketika ingin berjalan lebih jauh. Cordoba relatif lebih sepi dibandingkan Granada, dan saya suka suasananya. La Juderia atau Heladeria adalah wilayah yang ditempati orang Yahudi di masa dulu, sekarang pengelompokan itu saya rasa sudah tidak ada karena dekat penginapan saya ada rumah makan halal, El Sultana. 
Saya menginap di hostel atau wisma Backpacker Al Katre, yah meskipun saya bawa koper bukan ransel. Ramah sekali Ana, pemilik wisma ini, meski Bahasa Inggrisnya terbata ia terlihat tulus melayani tamunya. Bahkan saya pernah dipinjamkan komputernya dan bercanda dengan putrinya yang berumur 4 tahun. Suatu kali, si putri kecil ini pernah berlari dan memeluk saya ketika saya memasuki penginapan ini. Sebelumnya saya memang mengajaknya bermain, lumayan, sekedar melepas kangen saya pada ketiga krucil-krucil saya di rumah :’). Lain lagi dengan Azahara, pegawainya, ia mahasiswa pariwisata yang memilih bekerja di hostel karena bisa bergaul dan bicara santai dengan tamunya. Dan saya sangat merekomendasikan penginapan ini karena kebersihan, keramahan, dan kenyamanannya. 


Mezquita
Pukul 8.30 – 9.30 am, Mezquita dibuka untuk umum tanpa biaya. Suara lonceng secara teratur dibunyikan, mengingatkan saya untuk segera kesana demi menghemat 8 EUR = 120 ribu rupiah. Lumayaan kaaan buat oleh-oleh orang rumah. Perlu waktu mencari Mihrab itu, karena sudah banyak sekali yang diubah. Di sisi yang gelap, saya temukan Mihrab dibantu cahaya kuning yang dipancarkan dari lantai tersebut. Di balik pagar, saya dan beberapa pengunjung menatap detail kaligrafi dan dekorasinya. Haru melihatnya dan saya rasa keputusan yang tepat bagi para khalifah Muslim yang memerintahkan pasukannya untuk tidak pernah mengubah tempat ibadah agama lain menjadi masjid, karena memang pedih bagi umat yang bersangkutan. Pada kunjungan kedua saya kesana, saya menemukan sebuah tulisan dalam aksara Arab pada salah satu sisi di luar bangunan (namun masih di dalam kompleks Mezquita). Sekuat tenaga zoom saya mencoba ambil tulisan tersebut.

Mihrab Mezquita, Cordoba

Coba saya bisa bahasa Arab gundul, meskipun mungkin ini Arab Kufic (lebih kuno), sehingga tidak perlu miring kiri kanan untuk mencoba membaca. Mungkin ada yang bisa bantu? 

Inskripsi tulisan Arab yang saya duga potongan Surat dalam Al Quran
Gypsy
Sore sebelumnya, ketika saya baru tiba dan tidak sabar untuk keliling kota, seorang gypsy meraih tangan saya untuk diramal. Mencoba sedikit rileks dengan paksaan itu, saya ikuti saja maunya berharap hanya beberapa sen yang perlu saya keluarkan. Saya sendiri tidak peduli hasilnya, toh pasti sama saja dengan korban lainnya. Tiba-tiba ia meminta 5 EUR, waw mahal banget untuk pelayanan yang tidak saya butuhkan! Belum berhenti dari situ, sambil menunjuk-nunjuk dompet saya gypsy lain datang, berkerumun dan meminta 20 EUR, kali ini lebih memaksa! Khawatir terjadi apa-apa dengan saya yang memang sendirian ini, seraya menyerahkan 25 EUR cuma bisa berbisik Innalillahi.. Kembali diingatkan untuk tetap waspada, karena ketika saya sampai di Cordoba saya cukup sombong menganggap kota ini akan super aman dan membuat saya sedikit lengah. Pantas saja polisi selalu patroli. Karena saya pergi hanya sendiri tentu keamanan harus jadi prioritas utama. Meskipun begitu, itu adalah satu-satunya kesan negative saya pada daerah ini. 

Torres de Callahora
Salah satu tepat yang membuat saya merinding adalah Torres de Callahora (Callahora Tower) tempat museum Al Andalus. Museumnya kecil sekali, tapi ada beberapa koleksi dan penataan yang membuat saya merinding karena dengan lugas menjelaskan tidak hanya sejarahnya tetapi makna dari peristiwanya. Di salah satu ruangan, terdapat 4 tokoh ternama dari periode Medieval tersebut ketika Cordoba sedang berjaya. Ke empat tokoh tersebut adalah Ibn al-Arabi, Ibn Rushd (Averroes) keduanya Muslim; Maimonides dari Yahudi, dan Raja Alfonso X “The Wise”. Keempatnya menyampaikan pesan yang mereka hidupkan dalam semangat conviventia (hidup bersama). Alfonso the Wise adalah raja yang mendirikan sekolah untuk menerjemahkan karya-karya ilmuwan dari Cordoba ke berbagai bahasa, kontribusi besar bagi penyebaran ilmu pengetahuan di Eropa. (saya tidak akan membahas kontroversi Ibn al-Arabi dan pendekatan filsafatnya yang bertentangan dengan Al Ghazali, maka yang disampaikan disini hanya pesan yang sangat universal)

Jardin de Alcazar
Di ruangan tersebut saya duduk sendiri, tiap tokoh bergiliran memberikan pesannya. Pada bagian Ibn al Arabi dan Ibn Rushd saya tidak tahan untuk tidak terharu. Keduanya sangat progresif dan rendah hati. Terlepas dari begitu berpengaruhnya pemikiran mereka pada masa itu, satu kalimat yang paling saya ingat dari Ibn Rushd ketika terjadi tanya jawab dengan muridnya yang terus memanggilnya Master. Jawaban beliau yang paling pertama adalah “First, stop calling me Master. Allah SWT is the only master!” (tegas dalam soal Tauhid). Setelah beberapa lama mendengarkan tokoh tersebut satu per satu, datanglah satu keluarga Muslim yang saya duga dari Perancis. Suaminya berjenggot tebal, dan istrinya berhijab panjang membawa kedua anaknya yang berumur sekitar 7 tahun, dan bayi di stroller. Satu persatu ruangan itu menjadi penuh, kami perlu berbagi tempat dengan pengunjung lainnya yang tentunya beragam. Cuma saya senang sekali memperhatikan keluarga-keluarga kecil ini yang tidak sekadar berjalan-jalan. Pada perjalanan selanjutnya sering saya temukan keluarga-keluarga yang kompak membahas tentang budaya dan sejarah dengan cara mereka yang menyenangkan. Terkadang ayahnya membacakan atau mengartikan untuk anak-anaknya yang asik memperhatikan gambar-gambar dan replica. Senang sekali melihatnya.

Selanjutnya saya bertemu dengan pasangan orang Indonesia di Mezquita. Saya mudah mengenalinya karena istrinya menggunakan cara berkerudung khas Asia Tenggara, dan mereka bercakap-cakap dengan Bahasa. Anugerah di tengah kota yang minim turis Melayu ini dan saya bisa minta tolong ambilkan foto! Dari Mezquita, kami ke Alcazar dengan benteng dan tamannya yang cantik. Alcazar dibuka untuk umum dan gratis pada hingga jam 10 am. Dimana yang gratis ya saya kejar. Tapi Alcazar ini cantiiiik sekali tamannya. :p
Selanjutnya ketika saya ke Alhambra, saya teringat tipe taman dan pembagian air yang serupa.

Beberapa kilometer dari kota kultural ini, terdapat sebuah kota yaitu Madinat al Zahra. Sebuah kota yang dibuat oleh Sultan Abdurrahman III sekaligus untuk tempat tinggalnya. Lokasi tersebut merupakan situs arkeologi yang sudah dilengkapi museum dengan arsitektur yang menarik. Biar saya akan cerita di tulisan berikutnya. :)

Comments

Nadya Saib said…
Aaaaa, serunyaaaaa!!! Ditunggu cerita lanjutannya, Atiek!!!
atiek said…
iyaaa.. dan kayaknya perawatan tubuh ala hammam dari sana bisa jadi inspirasi WJ deeh.. amiraaah tau dah kyknya, kan araab.. :p

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

untuk mahasiswa ITB dari Rendra

saya rasa kita semua yang mengaku orang muda, berpendidikan, punya berjuta teori yang mau dibenturkan dengan dunia nyata, punya berbagai idealisme yang belum diwujudkan, yang masih diam sampai sekarang (seperti saya), yang mau berubah, yang mau bergerak untuk siapapun, bangsa, umat, atau diri sendiri.. harus baca puisi dari sastrawan Rendra ini, tanda bahwa 30 tahun mahasiswa masih menghadapi masalah dan dilema yang sama. . sampai kapan mau diam dibalik menara gading ini?? menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak - kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada baya