Skip to main content

Menuju ke timur - Ambon dalam 3 jam

Mungkin saya akan menulis tentang perjalanan kali ini dalam beberapa bagian. Tentu kurang menarik kalau saya cerita soal pekerjaan saya, tetapi saya jarang sekali pergi untuk liburan. Jadi kalau sedikit menyerempet pekerjaan mohon maklum, karena saat ini cuma dengan cara itu saya pergi ke banyak tempat.

Banyak hal menarik bagi saya di perjalanan kali ini, terutama dengan segala ketidakpastiannya, dan diekor setiap ketidakpastian ada kepasrahan. Mau gimana lagi, dimulai saja dengan shalat Safar 2 rakaat. :D

Jadwal saya berangkat sempat mundur seminggu dan baru ditetapkan sekitar 3 hari sebelum berangkat. Pesan tiket pun tergesa, untung saja saya sudah menyempatkan minum pil kina. Sampai saya naik di pesawat, saya tidak tahu akan menginap dimana. Sudah browsing tapi hotel yang akan saya inapi selama 1 malam di Sorong itu penuh terus dan hanya 1 yang cukup meyakinkan namun dengan harga terlalu mahal. Yasudahlah jalan saja, toh nanti juga akan bertiga dengan rekan dari kantor lain yang saya pikir punya persiapan lebih dan ekspektasi saya salah. Mereka lebih spontan dari saya. Kami akan bertemu di Ambon, namun mereka hanya transit sebentar, biar saya ceritakan di edisi selanjutnya.

Stadion dekat patung Pattimura (Ambon Manise)
Berangkat pukul 1 dinihari dari bandara, saya akan singgah di Ambon selama 4 jam. Dengan penerbangan yang dapat makan 2 kali ini, saya ketiduran dengan perut kekenyangan. Oh iya, saya sudah siap dengan kondisi mandi tak teratur dengan bekal berbagai jenis tissue basah dari apotik dan hari itu pun saya tidak sempat mandi. Beruntung saya berjalan ke timur, hari ini saya punya 26 jam dalam sehari.

Penasaran dengan Ambon tapi tidak tahu bagaimana cara kesana sampai 1 jam sebelum mendarat. Saya sungkan mengajak orang dewasa bicara di perjalanan, apalagi di pesawat. Kalau anak kecil mungkin sudah saya kasih kedip-kedip atau sekedar bertanya nama. Kali ini tak ada jalan lain, saya bertanya pada Bapak di sebelah yang ternyata pegawai kantor gubernur di Ambon. Khawatir melihat perempuan yang lugu ini, dia menawarkan diri menghubungi saudaranya yang menjemput untuk mengantar keliling Ambon. Aha! Dan benar saja , sesampainya saya di bandara memang calo taxi dimana-mana, sempat ada yang mepeet teruus. Fuhh angkot hijau saudara ipar si bapak sebelah pun tiba dan dia mengajak saya naik.

Teluk Ambon 
Lega, karena ada gadis kecil umur 7 tahun yang menggelayut manja ke bapak sebelah. Dia orang baik, saya pikir. Setelah tas carrier 55 liter pinjaman saya nyangkut di pintu angkot, kitong pun berhasil masuk ke dalam angkot tanpa kaca film dan terang benderang. Lega untuk kedua kalinya.

Gadis kecil itu bernama Mayson, ramah dan pemberani, saya berikan ia agar-agar dari pesawat. Dia merengek minta jajan, namun ketika ayahnya membelikan biskuat ia hanya meletakkannya di bangku yang kemudian ia tawarkan ke saya. Jarak dari bandara Ambon yang cantik ke kota memakan waktu 1 jam, tapi teluk Ambon itu cukup menghibur dan perjalanan menjadi tidak terasa. 

Di tengah perjalanan, kami mengangkut ibu guru sma Katolik disana. Kami pun bertukar cerita setelah sempat bingung ada saya di angkot keluarga itu. Pembicaraan pun berlanjut ke konflik 1999 ketika isu SARA memanas disana. Tur singkat saya pun menjadi tur sejarah. Pengelompokkan kampung-kampung berdasar agama pun mereka tunjukkan. Akhirnya saya tahu daerah batu merah yang dulu cuma saya bisa dengar dari berita ketika Idul Fitri tahun 1999 mereka diserang. Sampai sekarang saya kurang yakin kalau itu isu agama sejak awalnya.

Masjid besar dekat pelabuhan (Kampung Muslim)
Dan saya rasa dugaan saya cukup masuk akal. Maluku sudah hidup dengan perbedaan agama sejak dulu, dengan adanya Kesultanan Ternate, rasanya lucu ketika mereka tiba-tiba saling serang karena sedikit banyak mereka masih saudara. Dulu sebagian besar kampung berbaur, sejak tahun itu dibuat pemisahan-pemisahan. Ah tapi tahu apa saya soal sejarah, maka kita lanjutkan dengan cerita dari supir angkot saya, Pak Us.

Pak Us bilang di tahun 1999 ketika konflik sedang panas, ia adalah supir kantor. Ia mengenang di masa itu banyak sekali orang yang tiba-tiba mencari masalah di jalan. Bahkan pada daerah tertentu, lebih baik menuntun kendaraan karena ada yang akan berpura-pura tertabrak dan memanaskan suasana. Itulah yang kita sebut si titik api provokator. Mereka yang akan berteriak-teriak memangil orang-orng sekitar untuk meruncingkan suasana.


Suatu kali, ia pulang bersama teman kantornya dan melewati daerah muslim yang sudah penuh dengan orang bersenjata. Ia pasrah, di depan kaca mobilnya senjata sudah menempel. Dalam keyakinannya, yang saya sulit membedakan antara Katolik atau Kristen, Ia berbisik dalam hati, "Tuhan kalau kamu mau ambil saya sekarang, ambillah" sambil mengeluarkan satu tangannya ke jendela. Tanpa disangka dari kerumunan itu ada yang berteriak, "hai bapak! Itu orang kita, kasih lewat!" Sekejap kerumunan tersebut membuka jalan dan berteriak ke kerumunan selanjutnya "kasi jalan ini orang kita!". Saya yang mendengarnya pun menghela napas. Kemudian Ia bilang, saat itu kedua pihak sama saja perlakuannya.

Gong Perdamaian
Di masa itu pula, bahan makanan melimpah dan penduduk tidak kekurangan makan. Dengan lugu Ia bilang mungkin karena itulah yang membuat ribut disini sudah kelelahan karena kami tidak kelaparan. Tahun 2003 keadaan semakin membaik katanya. Masyarakat lelah berkelahi, harta benda sudah habis semua. Maka ketika ada yang mau cari ribut, mereka sudah tidak ambil pusing. Semoga damai terus ya Ambon dan Maluku secara keseluruhan :)

Mungkin sebagai pengingat agar belajar dari tragedi dahulu, dibangunlah Gong Perdamaian. 

Kota ini sudah hidup dan damai, langitnya itu aaaah biru cerah. Setelah 3 jam naik angkot, kami pun kembali ke bandara. Bayar berapa? Yak 300 ribu, mahal? Iya, ahahaha tapi tidak setiap hari saya mendengar cerita dari penduduk asli sini. :)

Comments

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be