Skip to main content

Kenapa kelas inspirasi gak penting?



Our dreams will take flight | Have faith
Our dreams will take flight | Have faith
Dulu saya menatap nanar pendaftaran @pengajarmuda , di tengah tumpukan makalah ilmiah dan batas pengumpulan tugas untuk kuliah master saya. Ketika saya lulus pendidikan, maka usia saya sudah mepet 25 tahun, batas terakhir umur untuk jadi @pengajarmuda. Dikirim ke pelosok untuk menjadi guru. Saya sendiri tidak yakin bisa mengajar, dan saya terus berpikir semestinya ada cara lain untuk membuka wawasan sesama rakyat yang kurang beruntung tanpa menjadi guru yang mengajar mata pelajaran.
Bulan-bulan berlalu, saya lulus dan mendapat pekerjaan di Jakarta karena peluang yang teramat kebetulan. Tiba-tiba kawan saya, Agung, mengajak ke kantor Indonesia Mengajar, ada kegiatan yang mau dimulai nih. Oke, dengan modal peta Google saya sambangi markas itu. Modalnya satu, bisa bantu apa nih?

Ternyata teman-teman seperkumpulan yang kecil itu punya frekuensi yang sama. Sama-sama ingin berbuat lebih dan nyata, selain frekuensi yang sama dalam hal lelucon. :D
Rapat-rapat malam, jam-jam malam di rumah yang dilanggar dengan pengertian dari babeh. Jadilah Kelas Inspirasi 1. 25 April 2012. Saya sendiri ada tugas keluar kota ketika segala kehebohan persiapan terjadi namun berkesempatan mengajar di daerah dekat pelabuhan.

Kemudian Kelas Inspirasi 2 datang lagi, animo yang luar biasa dan keinginan untuk inisiatif ini menjadi hal yang berlanjut terus mendorong kami. Terus terang semangat para penggiat ini yang berkembang jumlah dan keragamannya membuat saya sendiri terkaget-kaget.


Beberapa hari yang lalu, saya terkesiap ketika ditanya "kenapa Atiek mau repot mengurus Kelas Inspirasi?" (kalau belum tahu buka http://kelasinspirasi.org) , ketika itu saya hanya menjawab "karena ini hal yang penting untuk semua pihak" . Singkat dan tidak menjelaskan, bukan karena tidak bisa menjabarkan tingkat kepentingan kegiatan ini, namun saya rasa semua orang sudah mengerti kenapa berbagi wawasan soal karir ke anak-anak adalah hal yang penting. Ketika percakapan itu beralih baru saya sadar, mungkin ada orang-orang yang masih perlu diyakinkan tentang apa yang saya yakini adalah hal yang penting.

Saya tinggal di daerah perkampungan padat, putus sekolah, tidak ada biaya, tawuran, pengangguran, anak yatim, intrik khas perkampungan padat kurang lebih akrab di kehidupan sehari-hari saya. Lingkungan paling ekstrim adalah di daerah rumah nenek, di Senen. Tiap beberapa bulan tawuran sudah jadi kebiasaan, anak-anak sekolah dasar terbiasa melihat dan menonton kekerasan, daerah itu pernah masuk liputan khusus surat kabar Media Indonesia dan tidak tanggung-tanggung 2 halaman. Siapa yang sempat bicara cita-cita, bisa makan lontong sehari saja sudah cukup. Suatu hari saat saya silaturahim kesana, tetangga depan rumah sudah tidak makan 3 hari, dan sedang mengidap penyakit mata. Kemiskinan di kota jangan kira lebih baik dari kemiskinan di desa. Konsumerisme yang terekspose besar-besaran di kota dan kualitas hidup yang buruk membuat keadaan semakin terpuruk.

Saya belum pernah keliling seluruh desa di Indonesia, namun setiap kali ada kesempatan saya berkunjung ke desa di Sulawesi atau Sumatera, kualitas hidup yang masih baik membuat saya berpikir bahwa jiwa mereka setidaknya masih sehat. Dan memang ketika bicara kemiskinan di desa, kita tidak bisa bicara standar kita, standar kota. Mereka punya nilai dan ukuran kekayaan yang berbeda. Kemiskinan di kota? Saya cuma bisa menahan napas karena belum bisa berbuat apa-apa, apalagi bicara. Ini diakui oleh sebuah penelitian di daerah Amerika Selatan bahwa daerah kumuh dan kemiskinan yang menjeratnya lebih rumit untuk diatasi. (tentu setiap hal ada tantangannya masing-masing)

Kalau kalian sempat berkunjunglah ke kantong-kantong kemiskinan di Jakarta. Tidak jauh sama sekali, di pinggir sungai, di balik ruko-ruko permanen, itu dekat sekali. Bahkan mungkin bisa terlihat dari kaca kantor di menara-menara yang tinggi. Pergilah ke mall Grand Indonesia dengan berjalan kaki, melintas Jalan Teluk Betung, atau susuri rel kereta api. Berjalan saja kesana, tidak usah berbuat apa-apa, tapi pasang pikiran yang terbuka dan hati yang menjangkau wilayah lebih dari daging yang menutupinya.
Itulah yang saya pikirkan, persis seperti yang kalian pikirkan. Apa yang mereka lakukan untuk bertahan? Adakah masa depan yang lebih baik untuk mereka, setidak-tidaknya pekerjaan? Kenapa mereka tidak pulang saja ke kampungnya?

Untuk pertanyaan yang terakhir, sebagian dari mereka sudah tinggal di Jakarta lebih lama dari kalian. Terkadang timbul pertanyaan lain, kampung yang mana? Atiek ngarang! Tidak, sebagian daripadanya adalah kerabat-kerabat dekat saya. Itu nyata di depan mata saya, setiap saya menengok keluarga saya di perkampungan yang jauh lebih padat dari rumah saya. Melihat sepupu kecil saya petantang petenteng membawa kayu, memasang bola plastik yang sudah dibelah sebagai helm, siap menyerang anak lain di seberang jalan. Apa perasaan saya? Marah luar biasa. Saya tutup gerbang besi disana yang sejak beberapa tahun lalu memang dipasang di setiap gang untuk keamanan.


Anak-anak ini perlu teladan dan pegangan, ketika orang dewasa di sekitarnya sudah terlalu banyak yang tidak sempat berpikir tentang itu, kemana orang dewasa yang sudah hidup nyaman? Pendidikan bukan jalan siap saji, panjang dan beberapa titik menjadi gelap tapi kita semua tahu bahwa ilmu berbuah manis seperti nasihat salah satu penyair muslim. Kita perlu membantu meyakinkan bahwa frasa itu nyata.
Mereka yang akan mendorong roda kehidupan ketika kita sudah renta. Kalau kita enggan berpikir tentang masa depan mereka, pikirkan saja masa depan kita saat tua. Pendidikan bukan tanggung jawab guru dan orang tua mereka saja, anak-anak meniru orang-orang dewasa yang dilihatnya. Kita pilih jadi orang dewasa yang seperti apa? yang menghardik anak-anak atau merangkulnya dan mengatakan kita buat masa depan kita sama-sama cerah. :)


Semua jabatan dan pekerjaan sama dan tidak ada yang lebih berkontribusi daripada yang lain. Toh kita sama-sama kehilangan ketika satu fungsi yang dijalankan hilang. 
Kelas Inspirasi atau bukan, itu tidak penting. Perbaikan perlu di segala aspek, dan kelas inspirasi bukan obat segala penyakit.


Bukan orang hebat yang kita perlu, tapi orang-orang yang gelisah namun berani ambil langkah dan mulai berbuat. 
Gulung kemeja-kemeja kita, turun tangan daripada sekedar berkomentar.
Seperti nasihat yang kita yakini bersama-sama bahwa hidup dihitung dari amal, bukan kata-kata yang keluar.

Comments

mbak, jatuh cinta sama tulisan ini. jadi pengen kenal sama penulisnya.
sangat menyentuh.

Popular posts from this blog

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan