Skip to main content

Batu



"Dia memberimu dengan penolakan, dan menolakmu dengan pemberian "


Tidak bisa dihitung berapa kali saya mengeluh, perihal yang pelik sampai sepele. Tapi kalimat itu menyentak saya, hari minggu kemarin, di majelis pagi.

Hidup memang selalu melempar kita dengan batu. 


Pemahaman kita tentang hidup berawal dari tempat yang rendah. Ketika kita sibuk dengan masalah sendiri, karena sebatas itulah pengetahuan kita. Lalu batu-batu mulai dilemparkan, ada yang besar, ada yang kecil. Seperti anak-anak kecil kita marah karena sakit, dan bertanya kenapa batu? Di tempat-tempat kita yang rendah, kita hanya bisa melihat dan mendengar diri kita sendiri. Kadang marah kemudian lelah.

Kemudian kita putuskan untuk berpijak di atas batu-batu itu, kadang tergelincir. Pondasi-pondasi pun terbangun, dan pandangan kita semakin tinggi. Dengan batu-batu yang terus dilempar, tempat kita sedikit-demi sedikit menjadi lebih tinggi. 

Kita mulai mendengar beragam suara, dengan pandangan yang lebih luas, dengan angin yang lebih sejuk. Seumpama kita baru keluar dari sumur-sumur gelap, dengan batu-batu pijakan kita. 

Mungkin yang kita perlu memang hanya percaya, fokus, dan istiqamah dengan jalan yang kita pilih baik, dalam konteks apapun. 

"Qul, Amantubil-lahi tsummastaqim - Katakanlah aku percaya kepada Allah, kemudian pegang teguhlah pendirian itu" . Sepenggal nasehat Rasulullah SAW kepada Sufyan bin Abdullah ketika meminta fatwa tentang pendirian dalam hidup, sehingga ia tidak perlu bertanya kepada orang lain lagi. 

Dengan batu-batu dan penolakan-penolakan kita akan berdamai. 

Dan dengan pendirian yang teguh kita akan menyusun batu-batu menjadi pijakan. 

Sehingga apa yang kita dengar adalah suara-suara yang tersaring baik, pandangan yang kita lihat mencakup segala penjuru, dan diberkahilah kita dengan pemahaman yang lebih baik terhadap segala hal serta hal yang paling penting : ketenangan (sakiinah). :)

Comments

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be