Skip to main content

Do we need luxurious hotel and malls in front of Ka'bah?

I have written something in this blog about the-uncomfortable-feeling in seeing huge and tall buildings which were intended to be shopping and hotel complexes. A vast growing property development is happening now in our holy cities, where almost all historical sites become public toilet, ATM, or shopping mall. Reasons behind destroying historical sites are varied from expanding capacity for the pilgrims until avoiding shirq. But,  allowing a door to shopping mall face to face with the main door to Masjidil Haram, seriously?


http://www.independent.co.uk/voices/comment/why-dont-more-muslims-speak-out-against-the-wanton-destruction-of-meccas-holy-sites-8229682.html 

Raise your awareness on this issue. I myself in 2007 felt somehow uncomfortable about these capitalism forces in the heart of holy cities where equality should be the essential spirit. The cities where should give us the real value of Islam, opposites of all these fancy and extravagant buildings and things. Mekkah and Madinah are not Dubai or any other pearl cities in the dessert, just don't try to be ones.

I want to be there in the future, perform Hajj, experiencing solidarity among Moslems in Arafah, Mina, Mekkah, Madinah. I want to see and feel the spirit of courage, faith, and love, the feeling that I had when visited the Uhud and heard story about Sayyidina Hamzah. To feel equality when I do thawaf around Ka'bah in ihram, feel energized in sa'i, stay in Arafah under the tent and walking together as small humans faithfully. I do not want those fancy buildings destroying it piece by piece. I save my money to perform what had been said by God and I am sure God has something for us to be experienced.

I am afraid that instead of avoiding ummah from shirq and expanding capacities for pilgrims, they -who ordered this shopping mall and hotels construction- are just following greed, dear Bin Ladin

Comments

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan...

Gimana nih gayanya??

Properti yg paling menarik untuk dipakai sampai jadi rebutan. Sebenarnya sih mungkin karena cuaca begitu panas, dan benda ini begitu berguna. Rabu, 18 Juni 2008. Pkl 6:52 WIB Sms masuk ke telepon genggam saya, F Yasmin, “Tiek, lo di bdg blm? Ntar bs ngarahin gaya?” . Hmm.. ber pikir sejenak dan tersentak, ah saya benar2 salah paham, saya pikir perubahan jadwal hari selasa ke jumat berdampak pada tidak ada sesi foto hari kamis dan rabu! Saya reply sms itu, dan baru tahu beberapa jam saat perjalanan ke Bandung, kalau sms itu failed. Kamis, 19 Juni 2008. Pkl 9.00 WIB Kesiangan! Terburu-buru saya mandi dan bersiap, dan menuju kampus dengan tergesa-gesa. Ternyata rombongan foto sudah sampai di depan Tokema, oh giliran Ik a si wartawati. Cium tan gan Yasmin dulu lah, minta maaf sudah meninggalkannya kemarin. Seru nih, semuanya tampak bersemangat dan cuaca pun bersahabat yang artinya awan-awan sejuk dan tidak terlalu terik. “Tiek, pikirin gayanya dong, si Nana, karakternya mengh...

memandang ibu dan balita dari sudut pandang yang lain

Saya kenal seorang wanita, dan ia sekarang memang sudah menjadi ibu seorang balita yang lincah dan pintar. sepengetahuan saya selama ini, sejak hamil sampai melahirkan, ia adalah ibu yang baik. Selalu menjaga jasmani dan rohaninya. Memakan segala vitamin, zam-zam, kurma, dan madu tidak pernah ketinggalan setiap hari. Ba'da maghrib, ia selalu mengaji, itu setiap hari. Saya tahu ia dan suaminya sangat menjaga kandungannya. Mereka belajar menjadi orang tua yang baik, mereka sangat bekerja keras untuk itu. Wanita yang kukenal ini adalah figur ibu yang sangat baik. Ia memasak makanan bergizi setiap hari, ia meninggalkan keinginannya bekerja untuk anaknya, ia adalah ibu dengan ASI eksklusif untuk anaknya, dan ia telah menjadi istri dan ibu yang baik, saya yakin itu. Namun bukan hidup jika tanpa ujian. Semakin bertambah umurnya, semakin pintar ia bicara, semakin pintar ia berkelit, dan menghindar. Ia mulai mengerti apa yang disukainya, ia mulai meninggalkan apa yang tidak ia sukai. Sayang...