Saya baru saja kembali dari kunjungan pertama saya ke Lombok, biasanya Sulawesi yang saya jelajahi. Urusan pekerjaan tentunya, apalagi yang bisa membuat saya pergi dari satu pulau ke pulau lain. Ini kali pertama saya pergi mendampingi konsultan untuk suatu pekerjaan, dalam arti lain memutuskan segala sesuatunya di lapangan. Maklum saya ini meski sudah seperempat abad, pengalaman kerja masih minim dibandingkan teman-teman seumuran. Dusun yang saya kunjungi ini, saya tidak tahu sama sekali, tapi sangat menarik karena di kaki gunung Rinjani.
Bandara International Lombok di kota Praya baru saja dioperasikan, hotel disana minim dan saya menginap semalam di Edotel (Education Hotel) tempat pelajar SMK praktek. Kali kedua saya menginap disana, hotelnya akan dipakai ujian. Sulit menemukan kontak hotel ini meski akhirnya tetap berhasil.
Beberapa hambatan sempat saya harus lalui, tapi namanya juga bergerak maju pasti ada gaya gesek. J
Ada hal yang selalu menarik setiap melakukan kunjungan lapangan: Masyarakat dusun. Mereka selalu berhasil membuat saya terharu. Mereka tidak melakukan hal yang istimewa sekali tapi saya tidak pernah yakin ini efek apa. J
Mereka lugu sekali, baik sekali, ramah sekali.
Pekerjaan mereka satu desa hanya bertani dan buruh tani. Pohon di hutan adat tidak boleh dipotong pakai gergaji mesin, tidak ada yang mencuri. Tidak ada kunci di penginapan saya, hanya untuk kamar mandi saja. Jadi setiap kali ada tamu mereka akan bekerja sebagai buruh angkut ke Rinjani atau daerah sekitar. Begitu saja pekerjaan mereka, dan kali ini saya menggunakan jasanya. Sempat kami bekerja sampai malam, karena sekitar dusun listriknya sekarat diterjanglah gulita malam itu. Bermodal senter murahan dan kepercayaan semua lancar saja.
Saat harus mengurus pembayaran upah saya bingung, enggan mereka menyebut angka nominal upahnya. Mereka bilang “ini kan pekerjaan untuk kami semua juga, terserah saja mau kasih berapa“. Ya memang kami bekerja untuk fasilitas mereka itu. Beberapa kali saya menanyakan apakah cukup upah yang saya berikan, mereka hanya tersenyum malu. Beberapa orang hanya memandang dari kejauhan atau menghindar saat ditanya.
Suatu kali saya berkunjung ke suatu fasilitas baru di dusun itu dan berbincang dengan operatornya, mereka menunduk malu, tersenyum simpul. Ada juga yang giat sekali bertanya ini itu sambil membantu kami. Ada kesempatan saya bermain jungkat-jungkit dengan anak kenalan saya di depan PAUD, tersenyum manis sekali gadis kecil yang sedikit kumal itu. Ada juga yang sedang sulit dapat pekerjaan setelah merantau, saat kami berbincang bersama di ‘berugak’ selepas Isya. Mungkin ini yang disebut Indonesia. Saya harus mengakui kehebatan kepala dusun ini, Pak Sukrati, beliau sadar sekali arti amanah, koordinasi dan transparansi dalam pengelolaan dusun itu. Saya bukan orang yang berasal dari desa, sejak kakek buyut kami sekeluarga tinggal di Jakarta, sulit saya membayangkan hal-hal seperti ini.
Saya yakin ketulusan hati terpancar di mata dan dalam setiap kunjungan lapangan ini saya tidak pernah gagal menemukannya. Setiap kembali dari lapangan saya selalu merasa kembali pada jalurnya. Mungkin ini yang disebut Erros dalam lagunya:
“berbagi waktu dengan alam.. kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya.. hakikat manusia“
It is not work, it is worth it. J
Comments