Skip to main content

Clueless

Siapa sih yang suka marah-marah? Buat saya yang emosional ini, marah itu sesuatu yang saya hindari karena ucapan seringkali lebih cepat dari logika, yang akibatnya: penyesalan. Paling enak kabur ke tempat sepi atau ke kamar mandi nyalain keran, api memang lawannya air.

Percaya atau tidak, saya lebih cepat marah saat sedang menyetir. Tidak boleh ada yang salah di mata saya, padahal dalam jalan pikiran seperti itu kesalahan lebih sering ada pada saya. Menyeramkan sekali saat sadar bahwa sumbu marah saya menjadi semakin pendek.  

Apa sih yang menyebabkan marah? Setiap orang pasti berbeda-beda ya. Buat saya keadaan yang paling tidak menyenangkan adalah saat berada dalam keadaan clueless pada hal yang menjadi perhatian saya.
Clueless kenapa orang-orang bisa berbuat seenaknya di jalanan?
Clueless kenapa si fulan melakukan perbuatan tidak menyenangkan?
Clueless kenapa rencana begini jadi beginu?
Clueless kenapa begina beginu begono?

Terkadang ada satu nasehat yang sering dilupakan, bahwa kita tidak perlu tahu semua hal. Jika merasa perlu tahu, tanyakan dan kurangi berasumsi. Meski terkadang pertanyaan tidak akan terjawab, pada hakikatnya itu hak semua orang untuk memberi informasi atau tidak. Fokus pada hal-hal yang bisa diusahakan, lainnya? hmm santai saja. Prasangka itu bikin hati kotor, uh saya bukan orang yang bersih dari segala prasangka makanya saya mengerti benar prasangka itu racun. 

Marah sering muncul karena pandangan saya terkadang lebih sempit dari fakta yang ada. Saya bisa saja marah-marah pada orang yang menghalangi jalan saya, padahal boleh jadi dibalik orang itu ada beruang yang sedang mengamuk. Marah memang lebih sering muncul karena ketidaktahuan saya, namun cukup arogan untuk menunjuk hidung seseorang bahwa perbuatannya salah. 

Perlu pandangan dari tempat yang lebih tinggi untuk bisa melihat kumpulan fakta dalam bentuk yang lebih lengkap dan pada akhirnya bisa lebih cerdas menyikapi suatu kondisi yang tidak sesuai keinginan. Berusaha untuk menempatkan pikiran dari sisi Yang Maha Tinggi dan Maha Berilmu, pasti dapat membantu.  

Manusia ini memang sok tahu ya... 

Comments

Popular posts from this blog

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan