Skip to main content

Kereta Api Cerminan Bangsa?

Bukan saya tidak serius menulis hal terkait keprofesian saya. Tapi saya tergelitik untuk menulis setelah mendengar siaran ‘Tajuk Hari Ini’ di Delta FM. Ya, saya lebih suka dengar radio dan memilih berita di internet. J Stasiun TV berita sekarang kurang independent kayaknya. :p
Oke apa yang dibilang oleh si penyiar radio bersuara bagus itu? Menarik, mengenai perilaku penggunaan kereta api adalah cerminan bangsa. (jika saya tidak salah menuliskannya kembali). Kalau dipikir-pikir tidak berlebihan juga karena Jakarta adalah tempat berkumpul banyak orang dari berbagai daerah. Area pelayanan kereta api juga dari kelas ekonomi sampai eksekutif.
Darimana dimulainya cerita ini? Dari lagu “Naik kereta api, tut tut tut, siapa hendak turut, ke Bandung Surabaya, naiklah dengan PERCUMA” Apakah ini pembenaran saudara-saudara sebangsa yang gemar nangkring di atap dan di sambungan kereta, menaiki kereta dengan gratis? Kalau menurut saya itu mungkin menjadi pola pikir bahwa kereta api adalah saran transportasi yang murah, “kalau gak bayar juga gak dosa lah, mau diturunin juga paling diturunin di stasiun terdekat, tetap untung”
Hm, kereta di Jakarta tak ubahnya kereta di daerah Bangladesh, India, dan daerah padat penduduk dengan pendapatan per kapita rendah. Tapi tidak bisa disamakan dengan kereta di Malaysia, Singapura, dan Thailand, anggota ASEAN. Ya ASEAN dimana Indonesia jadi ketuanya periode ini. Dimana Indonesia digembargemborkan punya pertumbuhan ekonomi yang menggiurkan, 6-7%, dimana masyarakat Indonesia adalah target pasar nomor wahid, dimana GDP per kapita akan mencapai US$3000, dimana pertumbuhan kelas menengah sangat pesat. Tapi lihat infrastruktur transportasi umum kita dan perilaku penggunanya, tidak hanya di kelas ekonomi, warga kelas menengah yang menggenggam Blackberry atau IPad di kelas eksekutif pun tak luput dari keengganan menjaga fasilitas umum. PARADOKS.
Saya penggemar kereta api eksekutif. Saya memilih kereta api untuk mencapai daerah Sudirman dan sekitarnya karena kecepatannya. Saya mengapresiasi stasiun Sudirman yang mulai digarap serius. Saya menggunakan kereta khusus perempuan dimana wanita-wanita sering duduk di lantai dengan koran dan kursi lipat. Dimana saya dan pengguna lain sering kesulitan untuk berdiri menghindari pengguna yang sudah lebih dulu naik, lesehan di depan pintu yang bertuliskan ‘Dilarang Duduk’. J Saya bukan komuter tetap, saya hanya sekali-kali pakai kereta itu, berbeda dengan pengguna lain yang mungkin bekerja sampai malam hingga tertidur dan mencoba paham bagaimana sulitnya hidup di Jakarta. Tapi apakah kereta ini bebas sampah? Sayangnya tidak. Kesadaran tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan.
Tidak hanya penggunanya, pengelola dan pembuat kebijakan pun seperti tidak serius mengelola kereta api yang jadi jantung transportasi di banyak kota maju di dunia. Saya yakin para pengelola dan pembuat kebijakan pernah ke luar negeri, negeri jiran setidaknya (tidak perlu studi tur). Seperti hubungan sebab akibat, ketidaknyamanan transportasi masal menyebabkan jumlah kendaraan terus bertambah, dan jalanan seperti lahan parkir dengan banyak pedagang asongan. Jika saya yang bodoh ini boleh berpendapat, sudilah kiranya para pengelola, petinggi, dan pembuat kebijakan mencicip sedikit apa yang dialami mayoritas warga Jakarta dan membuat prioritas.
Di negara anggota ASEAN, transportasi masal ini digarap serius. Saya pernah mencicip transportasi MY, THAI semua digarap serius. Saya pernah pergi sendiri ke KL dan menunggu teman yang tidak jelas titik temunya, pertama kalinya saya kesana, berjalan sendirian mengitari kota, saya kesulitan? TIDAK. Saya dan teman pernah putar-putar kota Thai hanya dengan peta, bingung? TIDAK. Dimana posisi transportasi Jakarta? Sedikit di atas Pnom Penh, Kamboja atau Chennai, India dimana orang-orang tidur, makan, dan istirahat di Central Station yang berdebu dan bau dan masuk ke kereta tanpa diperiksa tiket.
Apa yang membuat KL, THAI sering dikunjungi? Mereka punya infrastruktur transportasi yang memudahkan, bahkan bagi turis ransel seperti saya yang segan pakai pemandu dan bermodal peta. Jika mudah bagi saya, apalagi bagi penduduknya? Indonesia ini indah tak ada bandingannya, saya sepakat. Visit Indonesia mandek, pertanyaannya “Sudah adakah dukungan infrastruktur yang baik?”
Kok jadi menyebar? Ya memang begitulah pentingnya transportasi masal. Jika kesulitan membuat subway karena drainase atau MRT karena dana, bolehkah saya usul dengan prioritas revitalisasi kereta api. Suplai listrik dijaga agar tidak mogok, utilitas kereta api di atur, jika perlu tambah kereta api gerbong pendek dengan frekuensi perjalanan lebih banyak (per 15/20 menit) agar tidak terjadi kepadatan, peraturan dipertegas, dan perhatikan kesejahteraan pekerjanya. Wah banyak ya yang perlu dikerjakan dari kereta api saja.

Tidak, saya tidak akan mengutuk apa yang sudah dikerjakan, hanya banyak yang masih perlu diperbaiki dan butuh fokus dalam satu periode pemerintahan. Loyalitas bukan diukur dari lamanya bekerja, tapi dari kontribusi dan kualitas pekerjaan. Saya yakin saudara-saudara yang sedang diberi amanah disana punya niat baik dan ingin kontribusi, toh sebelum menjabat beliau-beliau adalah warga Indonesia juga yang punya aspirasi sama.
Tidak, saya tidak akan meninggalkan para pengelola dengan banyak tugas yang harus dikerjakan sendiri, untuk saat ini saya mencoba menjaga apa yang telah dibangun dengan sebaik-baiknya, semoga itu bisa membantu. Di Jakarta banyak orang cerdas, tak perlu ragu meminta keterlibatan warga untuk mewujudkan visi bersama. Tidak perlu ragu belajar dari Solo. Niat baik itu punya resonansi yang kuat.
Ya ini opini dari orang betawi awam yang mencintai Jakarta, kota halaman saya. J
We are more than consumers. Wake up everybody, can’t do it alone. 


Comments

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be