Skip to main content

?

Ah, sebenarnya saya tidak terlalu tertarik membahas film '?' ini. Kenapa saya akhirnya menulis tentang film ini? karena beredar banyak artikel yang mengecam dengan terang-terangan. Jujur saya, saya dan dua teman saya yang menonton tidak merasakan efek apa-apa. Film itu seperti tulisan di pasir yang tersapu ombak, hilang tak berbekas di pikiran saya. Percaya atau tidak, yang membekas di saya hanyalah dramatisasi babak akhir yang menurut saya 'diada-ada-kan'. Hingga saat adegan itu ditayangkan saya bergumam 'non-sense!' *hei ini pendapat pribadi sekali ya*

Sungguh saya belum dalam memahami agama saya sendiri, maka saya tidak akan membahas penyimpangan film ini seperti yang dibahas pada artikel-artikel lainnya. 
Sungguh saya tidak pernah melakukan diskriminasi yang dilakukan oleh sebagian peran muslim yang ada di film itu, pun tidak pernah mengalami diskriminasi oleh penganut agama lain. Saya tidak akan berkomentar tentang ini. 
Sungguh saya tidak tahu efek film ini pada penonton lain hingga punya testimoni bagus sekali pada film ini. Itu penilaian masing-masing orang. 
Yang ingin saya komentari adalah terkadang banyak artikel di media yang mudah sekali menuduh penyimpangan, lalu dipaparkan dan disebarkan secara masal tanpa komunikasi langsung pada pihak yang bersangkutan, yah komunikasi dua arah lah. Bagi saya, yang ada hanyalah kontroversi yang berlarut-larut, informasi asimetris, sentimen dan pembentukan kubu-kubu. Tentu sebenarnya bukan ini kan yang diinginkan?
Seandainya pihak otoritas agama yang merasa terganggu memanggil penulis skenario, sutradara, dan produsernya, berdialog dengan arif, lalu mempublikasikan hasil musyawarahnya pada masyarakat. Jangan buat kebingungan-kebingungan baru setiap hari. Saya percaya akan ada titik temu jika ada dialog, tentu dengan semangat mencari persamaan dan perbedaan ya, bukan meruncingkan perbedaan. 

Hidup toleransi sudah dijalani banyak orang Indonesia sejak dulu tanpa harus menonton film itu. Tidak perlu terlalu resah lah. Exposure media pada hal negatif lebih sering kontraproduktif lho.. ;)

Comments

Anonymous said…
thanx for your nice opinion, really like the part "toleransi di Indonesia sudah dijalankan sejak dulu". Setuju!
atiek said…
iya to. buktinye rukun-rukun aja yah kita semua tanpa menyimpangkan akidah masing2. semoga gak ada yg lagi ngipas-ngipasin api di belakang. hahaha kabar sekolah di eropa gmn nto?

Popular posts from this blog

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan