Skip to main content

1 hari 1 perubahan

Dua minggu yang lalu saya menggunakan waktu saya untuk keluarga. Salah satu hal paling menyenangkan dari itu adalah kesempatan yang banyak untuk mengobrol dengan bapak dan godain mimi. Jarang saya bercerita tentang bapak, satu-satunya yang bergolongan darah A di antara 5 anggota keluarga. Paling terencana dan patuh aturan.

Tiap ayah punya cerita perjuangannya sendiri-sendiri, dan mungkin cerita bapak saya tidak jauh berbeda dengan ayah teman-teman semua. Pertama ke Jakarta umur 17 thn ikut rombongan pedagang kain dari Cirebon, tinggal di satu kamar bersama ibu-ibu dan nenek-nenek para pedagang di daerah Poncol, Jakarta Pusat, tidak jauh dari rumah orang tua mimi saya. Kemudian setiap hari, bangun jam 4 pagi agar tidak perlu mengantri. Bekerja mulai dari pengisi bahan bakar di pom bensin hingga jadi mekanik bengkel ATPM Jepang. Lalu kuliah sambil bekerja. Perkuliahan malam tidak kalah perjuangan, ruang kelas tidak mencukupi jumlah mahasiswa sehingga jika terlambat bapak saya mengikuti kuliah dari jendela. Saat kuliah bapak sudah berkeluarga, sudah tidak terbayang betapa melelahkannya. 
Sampai di ujung masa baktinya di perusahaan yang sama dari 30 tahun lalu, bapak sudah siapkan masa pensiunnya baik-baik. Hingga saat ini, bapak mengelola bengkel motornya sendiri. Yap saya tahu mesin adalah passion-nya, dan saya rasa bapak tidak pernah merasa sedang bekerja. Sejak beberapa bulan lalu bengkel nya sudah mulai bisa dikelola tanpa harus ditunggui setiap hari, beralihlah bapak ke sepeda, hasilnya 8 sepeda rakitan dari fixie sampai sepeda gunung, dan rasanya masih akan ada banyak lagi nanti.

Terbiasa bekerja keras setiap hari, tidak heran suatu hari bapak di masa pensiunnya pernah bilang ke saya,
"target bapak setiap hari bisa bikin satu perubahan, sekecil apapun". 
Waktu itu kami sedang menunggui keponakan saya di rumah sakit, sudah 'idle' hampir 2 jam dan saya tahu sekali bapak sangat gelisah dalam kondisi 'idle' begitu. hahaha.

Pak, masih jauh nih saya dari bapak.
Maybe we should spend more time having a long deep conversation while driving, like we used to do during my school days. :)

Comments

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

untuk mahasiswa ITB dari Rendra

saya rasa kita semua yang mengaku orang muda, berpendidikan, punya berjuta teori yang mau dibenturkan dengan dunia nyata, punya berbagai idealisme yang belum diwujudkan, yang masih diam sampai sekarang (seperti saya), yang mau berubah, yang mau bergerak untuk siapapun, bangsa, umat, atau diri sendiri.. harus baca puisi dari sastrawan Rendra ini, tanda bahwa 30 tahun mahasiswa masih menghadapi masalah dan dilema yang sama. . sampai kapan mau diam dibalik menara gading ini?? menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak - kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada baya