Skip to main content

Imperfect life


People say happiness is a choice. Yes I do agree with that.

 But when I've chosen happiness it's not that easy to live with it, when this non-sense blue-mood keeps sticking in my back while I'm moving. Life is a constant changing and we shouldn't look back.

Sometimes those flashbacks are running in my head. Sometimes we miss those times, those persons whom destined to be with us in a short period of time. Each of us has time in other people life. We give something for their life, and they are meant something for us as well. Each presence has taught us deep lessons. 

Choosing to be happy means living with those memories and chin up to move forward. People come and people go. Some people left scars in our heart, but hey they're simply adding different colors to our life. 

Life is about choices, it is God who let it happens. We have to learn to loosen up our life string. May every lesson we've taken these days has taught us to be a better person.  
I write this for myself, who's been pulling the string so hard and end up wounded. Removing the scars is not that easy, but it's always worth trying. Someone said laughter will deaden our heart, this time i might need this laughter effect. 

Laugh harder if you feel like crying. To forget that you've made wrong decisions in career, losing someone, lack of money, feel farther to your dream, confuse and those problems you might want to forget. Come here, we will laugh harder until we're ready to face the world again with a smile, wider than before. :) 

We are just celebrating our imperfect life and choose to be happy with it anyway.

Comments

eve said…
atiiiiik..
love this! huhuhu
atiek said…
>:D<
HUGS big HUGS :)
rendy said…
nice blog ,,this is my first time i visit your site...hope i'll learn much about information on your site..regards
atiek said…
thank you rendy.. hope you'll like it..

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang