Skip to main content

Gagal

Tahun ini saya dihadapkan dengan kegagalan. Kegagalan yang lebih spesifik, saya bahkan tidak bisa mewujudkan rencana yang sudah saya siapkan berbulan-bulan dengan rekan saya. 

Sejak bulan Mei saya mempersiapkan karya ilmiah untuk diikutsertakan di konferensi pelajar Indonesia. Proses pencarian tema saja saja saya dan rekan sudah mau guling-guling di pasir. Detik-detik terakhir barulah kami setuju dengan salah satu tema. Well mungkin bisa saya bilang, prosesnya memang berliku. Selesai abstrak kami diterima, tantangan baru pun datang. Abstrak ini bukan paper/karya ilmiah yang sudah jadi. Kami harus membuat full papernya. Ealah, ini kan khayalan kami tanpa mempertimbangkan ketersediaan data. Mulailah perjuangan kedua, menemukan narasumber dan sumber data yang bisa mendukung ide kami, dan mencari sponsor untuk membantu kami pergi ke salah satu negara Eropa untuk konferensi tersebut. Saya targetkan minggu pertama untuk menyebarkan proposal sponsor, minggu kedua ngebut bikin paper. Konyol juga dapet uang tapi gak ada papernya. 

Kesalahan pertama. Saya pikir saya sudah sistematis, ternyata tidak. Saya memang bertanya pada sedikit orang, karena sejujurnya saya kurang percaya diri dan takut udah ketauan orang tapi gak jadi berangkat (nyatanya sekarang ketakutan saya yang terwujud, bukan tujuan saya). Pelajaran 1 : Sistematis dan jangan malu bertanya pada orang yang berpengalaman. Gak kenal? Kenalan sebanyak-banyaknya, selengkap-lengkapnya. Seperti proposal ke DIKTI, saya baru tahu harus datang sendiri kesana setelah 5 minggu saya menunggu kabar dan nyatanya tidak ada sampai sekarang (tidak jadi berangkat). 

Kesalahan kedua. Tidak yakin sama diri sendiri. Well harus saya akui, ini proyek nekat. Saya merasa saya seperti orang gila, entah rekan saya menganggap dirinya apa. Semakin banyak tantangan, semakin saya merasa seperti punguk merindukan bulan. Tapi percaya deh, itu cuma bisikan setan, karena saya membuktikan bahwa pikiran itu yang mencemplungkan kita ke lumpur hisap terdalam, dan saya korbannya. Segila apapun menurut kita, segila-gilanya orang, pasti ada temannya. Butuh bukti? Liat di rumah sakit jiwa, banyak kan orang gila. Well kita gak pernah sendiri. :)
Pelajaran 2 : Kekuatan terbesar ada di diri sendiri. Jaga itu. Saya pernah merasa orang menganggap saya  "ngarep". Kenyataannya memang saya "ngarep" dan siapa di dunia ini yang gak pernah "ngarep"? Kalo ada, pasti orang itu sudah mati. Hidup ini tentang  harapan, dan orang yang punya harapan adalah orang yang hidup. 

Kesalahan ketiga adalah mengabaikan insting. Kadang setiap kita melihat sesuatu ada perasaan dimana "nah ini dia" atau "ini yang harus saya lakukan", tapi seberapa sering kita mengikutinya? Saya harus bilang, dalam kasus ini saya tidak cepat ambil keputusan, sehingga insting saya jadi tidak berguna. Celakanya, insting akan terbukti setelah apa yang saya perkirakan terjadi itu sudah terjadi dan saya cuma bisa bilang " bener kan pikiran gw" then what?! i've already lost it. 
Pelajaran 3 : Jangan pernah abaikan insting. Karena saya termasuk tipe kepribadian Intuitive, ini modal terbesar saya sebenarnya. :)

Kesalahan keempat tidak fokus. Ya harus saya akui, saya sangat bisa berperan sebagai starter, dan kesalahan saya adalah saya sangat kesulitan menyelesaikan apa yang saya mulai. Saya tekan pedal dalam-dalam di awal, dan bum! saat kena halangan saya berputar-putar dan lama-lama terlempar keluar dari arena. 
Pelajaran 4 : Sulit memang untuk tetap konsisten dan fokus tapi apapun yang terjadi, saya harus menyelesaikan apa yang sudah saya mulai karena kalau tidak, seumur-umur saya tidak bisa menghasilkan karya apapun. Dan saya tidak mau itu. 

Kesalahan kelima tidak memperkirakan segalanya dengan baik sebelum ambil keputusan. Yaa memang jalan hidup tidak akan selalu mulus. Selalu ada jalan berlubang dan bergelombang, berliku, menanjak dan menurun. Keputusan tepat sangat dibutuhkan. Yah saya terima beberapa keputusan saya kurang efektif, tapi sekarang gak ada waktu untuk menyesal. :) Terlalu banyak agenda yang menunggu diselesaikan.

Hmm sementara ini baru ini yang terpikir. Mungkin akan bersambung, tentunya karena banyak lesson learned moments. Orang yang beruntung adalah orang yang tahu kesalahan dan segera memperbaikinya tanpa menyesalinya sedikitpun. Yah saya sedang belajar.. Alhamdulillah kesalahan datang saat muda :).
Sebelum saya benar-benar kecewa, salah satu teman dekat saya pernah berkata "kalau nanti gagal, jangan kecewa. Dulu gw pernah berharap sesuatu amat sangat dan gak jadi, tapi Alhamdulillah dapat kesempatan lebih baik dan gw jadi sudah lebih siap saat kesempatan kedua itu datang.." Oh well, ini memang menjadi bantal yang sangat empuk saat saya terjun bebas.

Dan saat saya sudah di bawah, pesan ayah saya hanya satu : "Hidup masih panjang.. " dan untuk saya, pesan ini berarti banyaaaak sekali. :)

Comments

Mona said…
at least lo bisa mengidentifikasi kesalahan-kesalahan lo apa aja tiek... dan memperbaikinya.. daripada gak sama sekali.. ya gak..
atiek said…
yap. exactly. panjang ya tulisan gw, daripada hilang. soalnya kepikiran pas tadi melangkah lunglai dari kantor wram itb.. hahaha
None said…
"Alhamdulillah kesalahan datang saat muda"

=D
tak apa-apa tieek. kesempatan masih banyak. besok-besok kalau mau ikut konferensi lagi udah tahu mesti ngapain :)
atiek said…
tentunyaa batbat.. :)
emang lo masih muda nad? *jelas2 lebih muda dari gw*
Shintano said…
Hwoaa jangan sedih tiek. Kalau dah rezekilo ga akan ketuker sama yang lain. Semangat terus ya tiek. Maaf terakhir ketemu ga sempet ngobrol2 sama kamuu. *hugsangkisses*

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang