Skip to main content

Kurikulum

Terkadang saya sampai pada tahap membandingkan kehidupan saya dengan orang lain, dan saya sadari bukan hanya saya yang sering melakukannya. 
" jadi dia asik ya.. effortless bisa begini begitu "
" kerja disana enak ya, bisa beli ini beli itu, bisa nabung "
" ah lo sih enak, nyantai, bisa jalan-jalan, begonoh begeneh "


Yah, rumput tetangga memang selalu lebih hijau.
Sampai kapan ya periode ini berlangsung? Bagusnya bisa bikin saya terpacu, celakanya kalau sudah mendekati putus asa. 
Ah, tapi saya selalu yakin. Setiap orang akan sampai pada tujuannya, namun sebelum sampai disana ada kurikulum yang harus diikuti dan dijalani. Buat tiap orang kurikulumnya berbeda-beda. 


Untuk yang ingin jadi pengusaha, mungkin salahsatunya dihadapkan pada banyak ketidakpastian. Hayo cari sendiri peluang yang ada.. Pengusaha harus jeli toh, kreatif memanipulasi kesulitan..
Yang ingin jadi ibu rumah tangga, hayo coba urus rumah sendiri, 'keluarga' sendiri..
Yang ingin punya karir bagus, hayo bergulat dengan tantangan, rutinitas, dan politik kantor.
Yang ingin jadi dosen, tentu kurikulumnya berbeda dengan yang ingin jadi atlet..


Dunia ini adil sungguh.
Karena tidak ada jalan hidup dan kurikulum yang sama untuk setiap orang, maka tidak mungkin hidup kita akan sama dengan orang lain. Jadi buat apa membandingkan?
Pastikan berbuat yang terbaik, itulah pencapaian sesungguhnya..

Comments

somehow susah ya berhenti tengok-tengok rumput tetangga dan merasa iri huhuhu
atiek said…
iyaaa...
yang penting bikin terpacu, bukan iri.. :D

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang