Skip to main content

Excuse

Minggu-minggu terakhir ini bisa dibilang cukup berat, tapi rasanya tidak cukup berat dibandingkan teman saya yang lain. Ujian saya tarik semua ke minggu ini, tersisa 1 ujian di minggu depan, deadline 3 tugas kantor, dan pikiran yang sulit sekali konsentrasi.

Apa akibatnya?
Telat kuliah, mengantuk di kelas, pulang dini hari dari kantor.. Ah itu biasa. Memang biasa tapi saya merasa belum bisa menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkannya dengan baik.

Bisa dibilang kuliah sekarang beda dengan saat saya S1, dengan jumlah mahasiswa yang lebih amat sangat sedikit, ditambah predikat mahasiswa magister yang rasanya dituntut untuk bersikap lebih dewasa dan bertanggung jawab.

Di hari kuliah saya bersama dosen senior, saya terlambat. Setengah jam! Cilakanya dosen ini selalu datang 5 menit sebelum kuliah. Cilaka lagi beliau professor senior. Cilaka lagi 2 teman saya pun terlambat. Habislah habis.

Beliau bertanya kenapa saya terlambat. Dengan polosnya saya jawab habis lembur sampai jam setengah 3 pagi.
Dan beliau berkata :
"Excuse itu, gak bagus. Anda ini akan jadi pemimpin, time is money. Tidak ada itu excuse. Datang tepat waktu atau kesempatan anda hilang" kira-kira begitulah intinya. Fuh.. oke pak. Tiba-tiba saya sudah berada di pojok kelas yang suram.

Hari berikutnya, ujian take home test 24 jam. Baru tidur 1 jam dan itu pun saya gak sadar kalau tidur. Rasanya badan ini masih bawa karung beras alias pegel-pegel. Kuliah saya jam 7, terlambat lagi 5 menit, dan guru besar sudah datang. Cilakanya, hanya bertiga yang tepat waktu.
Okgelah kami kuliah, karena kurang tidur saya terkantuk2. Sudah berusaha bergerak, mencatat, fokus pada layar proyektor, menampar pipi, menggigit tangan, tidak ada yang berhasil. Tertidurlah saya sekejap-kejap di depan guru besar yang baik itu. Sigh. Di akhir kuliah dia bilang, " sekian kuliah saya hari ini, ya yang kurang tidurr.."
Entah kenapa reaksi saya menunjuk tangan seperti anak kecil. Astaga.
Guru besar : "kenapa gak tidur sih"
Oh no. no more excuse dari saya. Cukup sudah minggu ini saya penuh excuse. Excuse pekerjaan di kantor banyak reject, excuse terlambat, excuse tidur di kelas. Well itu bukan sikap yang baik.

Rene Suhardono once said "make yourself indispensable". Jangan buat kesalahan yang menjadi celah. Nothing but up. Saya rasa excuse cara panik saya untuk menutupi kesalahan yang sudah saya perbuat. Daripada sibuk bikin excuse, lebih baikmeniru konsep poka-yoke untuk mencegah kesalahan itu bisa terjadi. Excuse jelas bukan perilaku yang tepat. Huf.
Defense line. Make my self indispensable! Perform, no excuse!

I want Rene Suhardono's book : Your Job is Not Your Career!! nguek..


Comments

mumpung masih muda tik, gapapaaa. excuse dikit, hehe.

mungkin bisa dicoba untuk cari akar permasalahannya, tik?
bikin alokasi waktu untuk kerja/sekolah?
atau sesimpel beli alarm baru?
atiek said…
ahahaha... gw lama di beres2 sih bat.. wakakak.. trus gak sadar kalo alarm bunyi.
sense of 'segera' nya itu loh.. hahahah..
daan menunda2 ituuu.. hueng hueng..
diansubrata said…
Gw baca crita lo, komen gw cm woww, sibuk bgt ya *diucapkan dgn nada sedikit iri*

Mengaca sdikit ke gw, excuse gw brarti parah gila2an, procrastination, gak strict sama target sendiri sejak targetnya pun gw yg definisiin sendiri.
Ngeri emg excuse ini, kadang sadar tp blom cukup ngilanginnya sblom kena tamparan keras.

*jd ngeracau hehe..
None said…
Atieeek, jangan excuse saja kamu, sana ke laut! *tetep*

Jaga kesehatan Tieek, tidur itu pentiiing, anak muda harus selalu sehaaaat!! :)
*uhuk uhuk, kesannya gue tuak (pake K)dah*
kalo bukan excuse, berarti si dosen senior itu mengharapkan pengakuan ya?
misal, ketika ditanya: "kenapa telat?"
dijawab, "maaf Pak, saya belum bisa mengatur jadwal kuliah dan kerja dengan baik. Lain kali saya usahakan tidak terulang."

Begitukah?
wks said…
atiek...tampak sibuk sekali yaaa..
klo dipikir2 brarti saya lumayan santai ya, hehehe

ayo smangat tik :)

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be