Skip to main content

Untuk mimi, saya pulang minggu ini.

"Menjadi ibu atau tidak adalah pilihan. Saat memutuskan menjadi ibu berarti kita sudah siap bagaimanapun keadaannya. "
"Saat membuat anak kita terlihat canggih, sebenarnya untuk anaknya atau untuk orangtuanya sih? Buat saya, yang penting saya yakin bahwa saat saya harus meninggalkan anak saya. Ia sudah independent."

Kira-kira itu yang diucapkan ibu Dyah Puspita, pengelola sekolah Mandiga (Mandiri dan Bahagia) sebuah sekolah untuk kebutuhan khusus, di acara Tatap Muka. Beliau sendiri memiliki seorang anak, Ikhsan 19th, yang memiliki kebutuhan khusus. Beliau menjadi single parent sejak Ikhsan berumur 5 tahun. All by herself.

Melihatnya, beliau adalah ibu yang optimis, ceria, blak-blakan, sabar, lembut, penuh semangat. Saat ditanya apakah pernah sampai pada titik jenuh? dengan tegas beliau menjawab "Tentu saja!I'm only human. Namun , Sang Pencipta punya rencana lain dari rencana saya." Oh ini yang saya sebut ikhlas.

Sepanjang acara, Ikhsan memang sibuk dengan dunianya sendiri. Ia bebas pergi, menyanyi, bergumam, meninggalkan kamera begitu saja. Farhan dan Marcella bingung menghadapinya tapi tahu apa yang diucapkan Ibu Dyah? "Dia (Ikhsan) sudah bosan. Ia orang yang paling jujur."

Beliau ibu dari Ikhsan, namun mendengar, melihat, dan mencoba merasakan apa yang beliau jalani selama ini membuat mata saya panas dan menitikan air mata.
-------------------------

Seandainya ibu saya (mimi) punya kesempatan diwawancara, mungkin beliau tidak akan bicara apa-apa selain meminta saya pulang ke rumah dan bekerja di Jakarta. Oh mungkin beliau akan mengucapkan rentetan doa untuk saya, dan bukan untuknya. Salah satu keinginan yang belum bisa saya penuhi adalah membiarkannya melihat dan menemani saya belajar dan bekerja. Namun saya selalu merasa itu ide yang konyol.

Saya bukan Atiek yang berusia 12 tahun. Saya mau pergi melihat dunia, tinggal jauh dari rumah dan membuat keputusan saya sendiri. Namun saat ini saya merasa saya sangat egois, karena sepanjang percakapan saya dengan beliau hanya itu yang terus beliau ucapkan. Saya tahu, melihat saya mandiri dan bahagia adalah yang lebih penting baginya, namun tidak adakah sedikit waktu bagi saya untuk benar-benar mendengar dan mencari jalan keluar dari keinginannya dan kebutuhan saya, karena sepanjang 23 tahun hidup ini, semua hanya tentang saya.

Mimi (ibu saya) sudah tahu konsekuensinya saat memutuskan melahirkan anak ketiga, si bungsu, yaitu saya. Beliau sudah mengizinkan saya dibawa kemana saja, memakan sisa makanan saya, memberikan hidupnya untuk mengurus saya dan dua orang kakak. Saya tahu beliau ingin sekali bekerja, traveling, namun ia punya tiga orang anak dan seorang suami pekerja keras yang harus dirawat. Saya tahu beliau pernah sampai pada titik jenuh, namun tidak lama ia kembali lagi seperti biasa. Saya rasa semua ibu memiliki tingkat keikhlasan yang sangat-sangat-sangat tinggi. Namun setiap anak punya tingkat keegoisan yang sangat-sangat-sangat tinggi pula.

"Saya selalu berpikir bahwa ini saat-saat terakhir saya dengan Ikhsan, makanya saya selalu memanfaatkan waktu dengan dia" ~Ibu Dyah Puspita

Selamat hari Ibu 22 Desember.
Untuk mimi, saya pulang minggu ini.

Comments

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be