Skip to main content

P3M vs THB

Hari ini saya ke salah satu sekolah bisnis bersama teman. Karena dia ada keperluan, maka saya putuskan membaca majalah di perpustakaannya yang bagus. *mupengmupeng* Di perpustakaan ini sedang ada seorang yang browsing di komputer Mac layar besar, seorang sedang belajar, saya, dan tak berapa lama kemudian datanglah 3 orang mahasiswa sekolah ini. Tiga mahasiswa ini berniat mengirim email tugas ke tutornya, yang kebetulan saya familiar dengan namanya.

Oh tidak, ternyata koneksi wireless mati. Bingung-bingung mereka mencari komputer yang terhubung dengan internet, mereka bertanya kesana kemari. Lalu mereka putuskan untuk meminjam ke seorang yang sedang browsing di komputer Mac yang super besar. Selama melakukan kegiatannya berbincang-bincanglah mereka dengan suara keras *pelan-pelan juga kedengeran kali*. Mereka mengobrol ngalor ngidul, sambil mengeja nama tutornya itu "X x x @yahoo.com" tidak hanya sekali tapi lebih dari 3 kali.

Berisik deh...bleg bleg.. Tidak tahu darimana juntrungannya, salah seorang dari 3 mahasiswa itu mendatangi temannya yang baru selesai belajar dan akan keluar perpustakaan. *ingat ada seorang yang sedang belajar juga di perpus saat itu kan*.

Personil 3 mahasiswa (P3M) : eh pinjem BB lo dong! -sambil menengadahkan tangannya ke teman itu-
Teman habis belajar (THB) : eh, apa?
P3M : Pinjem BB lo! pinjem BB lo!
THB : BB gw gak ada pulsa
P3M : ya gpp cuma buat kirim -tangannya masih menengadah-
THB : BB gw gak ada pulsa, gak bisa buat BBM-an!
P3M : Aaaaahhh!
THB : Maaf ya..
P3M : Gak dimaafin! *sambil berlalu pergi mencari mangsa lain*
THB : *speechless sambil melihat dengan sinis*

Hey, they didn't teach you to be arrogant rite?

Sebelum si P3M ini meminta pinjam BB THB, THB sedang sibuk menghafal pelajaran, mungkin mau UAS. Kok saya bisa tahu? Karena BB duduk di depan saya dan terlihat menerawang sambil menghafal. Semua dialog ini dilakukan P3M dengan suara keras dan THB bersuara rendah menahan marah.

Oh adik THB sabar ya. Mudah-mudahan nilaimu bagus.

Comments

wks said…
This comment has been removed by the author.
wks said…
hahaha :D

makasih tik, hiburan pagi2 nih
saya doain juga deh suapaya THB nilainya bagus...
-ay- said…
buahahahaha..
cuma ada satu sekolah bisnis yang gw tau yang mahasiswanya kyk begini
ahahaha.. di ITB kurang pelajaran toleransi kali ya..

anw, gue menebak2 siapakah tutornyaa..
atiek said…
yudo anggoro anak TI.. ngek ngek..

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be