Skip to main content

Uwak batal berhaji, ia pergi abadi

".. manusia tidak akan meninggal sampai dicukupkan seluruh rizkinya.."

Saya pernah mendengar kalimat itu dari sebuah pengajian di radio/tv. Hari ini Ia memberikan contoh riilnya pada saya. Di hari ini, telah berpulang kakak ipar ayah saya, yang berarti uwak/pakde saya. Meninggal memang bukan perkara istimewa, toh pada
akhirnya kita semua memang akan pergi ke kehidupan abadi itu.

Namun, Uwak akan pergi haji tahun ini. Beliau dan istrinya dijadwalkan berangkat hari Senin kemarin. Namun, uwak tidak diijinkan berangkat dan perlu dirawat inap. Kekurangan garam katanya. Pergilah uwak perempuan saya sendiri mengikuti rangkaian haji.

Hari Senin, uwak lelaki saya yang sedang dirawat inap meminta untuk pulang. Ketiga anak perempuannya menuruti karena memang kondisinya sudah agak membaik, lagipula salah satu anak perempuannya seorang perawat. Di rumahnya, hari Selasa pukul 11.30, beliau berpulang ke Rahmatullah. Belum sempat menunaikan haji untuk menyempurnakan Rukun Islamnya.

Apa rencana Allah SWT padanya?
Kenapa tidak sempatkan uwak untuk berhaji? Sebuah perjalanan yang sudah dirindukannya sejak lama, yang sudah direncanakannya sejak lama?
Perjalanan yang butuh konsistensi puluhan tahun untuk menyiapkan dana dan niat.. Kenapa?

Percuma saja saya bertanya. Mencoba pun saya tak sanggup membaca rencanaNya. Mencoba mengira-ngira apa rizki uwak saya yang telah dicukupkan. Tentu kasaaar sekali saya menerkanya :
Uwak memiliki 3 anak perempuan dan semuanya telah berkeluarga. Sudah memiliki cucu. Kasarnya tanggung jawab sebagai ayah sudah sebagian diserahkan pada para menantunya. Dicukupkan rizkinya atas keluarga, pekerjaan, dan dicukupkan tabungannya untuk pergi haji meskipun tanpa harus ke Tanah Suci.
Memang telah cukuplah rizki uwak saya. Alhamdulillah berniat Haji dimasukan ke dalam salah satu rizkinya.

Meskipun sampai sekarang saya khawatir dengan keadaan uwak perempuan saya yang sedang menunggu waktu haji di Arafah. Hal yang membuat saya tenang hanyalah bahwa kedua uwak saya berada di tempat yang paling dekat denganNya, meskipun berbeda dunia.

Comments

Beni Suryadi said…
kalimat terakhirnya.
dalam banget, tiek.

satu dari sedikit quote yang paling menggetarkan buat Saya.
atiek said…
iya. terimakasih.
huhuhuhu semoga kedua uwak gw bahagia..
Beni Suryadi said…
they are.

Ibuku juga lagi di Mekah. And I know how the feeling very much. The only thing that we can do is pray.
wks said…
bener tik, dalem banget kalimat terkahirnya

semoga kita semua selalu berada dalam lindungan Allah SWT. aminn :D
atiek said…
@beni : hmm.. jadi inget waktu mimi (ibu) gw pergi haji, gw membuat pantekan di tembok bertuliskan "mimi kangen" hehehe

@mala : iya mal,, amiiinn..

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be