Akhir pekan ini saya disibukkan dengan berbagai urusan keluarga sampai hati meninggalkan tugas-tugas di kantor demi alasan darurat.
Ya, Jumat kemaren cukup emosional untuk saya.
Urusan telpon menelpon sering menjerat saya dalam masalah. Saya ini orang yang mengutamakan kualitas bicara dengan tatapan mata, jadi saat menelpon saya kurang berminat begitu kalau tidak melihat mata dan gerakan yang menyertainya. Buat saya itu keasyikan tersendiri.
Nah, seharusnya saya tidak terlalu idealis dengan konsep komunikasi seperti itu. Buat anak perantauan meski cuma 100-an kilometer tapi jarang pulang, telpon menjadi satu-satunya cara untuk menghubungi ibu dan keluarga di rumah. Celakanya, saya masih saja jarang telepon. Meskipun sudah ada syair lagu mendayu-dayu
Jumat ini ibu (alias mimi) ngambek alias marah alias kecewa sama anak bungsunya yang bandel dan jarang telepon. Reaksi mimi itu selalu dengan air mata dan ditularkannya lah ke anaknya (maksudnya saya), di kantor pula. Malam itu juga saya meluncur ke Jakarta.
Seperti biasa masalah selesai dengan jurus pamungkas : Sampai di rumah, berikan senyum lebar, cengangas cengenges, cium tangan, ceritacerita dengan gerakan heboh, dan mujarablah jurus pengobat rindu saya itu. HEHE. Lalu, berakhirlah perseteruan saya dan mimi.
Namun malam itu saya dikejutkan dengan pernyataan aduhai dari teteh :
Wajarlah si teteh bilang begitu akibat kelakuan si bungsu yang terlampau terlalu.
Hmm.. Tapi gimana caranya biar inget buat telepon rumah ya?
I'm thinking.. i'm thinking.. i'm thinkiingg..
Ya, Jumat kemaren cukup emosional untuk saya.
Urusan telpon menelpon sering menjerat saya dalam masalah. Saya ini orang yang mengutamakan kualitas bicara dengan tatapan mata, jadi saat menelpon saya kurang berminat begitu kalau tidak melihat mata dan gerakan yang menyertainya. Buat saya itu keasyikan tersendiri.
Nah, seharusnya saya tidak terlalu idealis dengan konsep komunikasi seperti itu. Buat anak perantauan meski cuma 100-an kilometer tapi jarang pulang, telpon menjadi satu-satunya cara untuk menghubungi ibu dan keluarga di rumah. Celakanya, saya masih saja jarang telepon. Meskipun sudah ada syair lagu mendayu-dayu
"Telpon telpon rumah paling hemaatt,, huwoo huwoo..".
Tetap saja perhitungan urusan pulsa.Jumat ini ibu (alias mimi) ngambek alias marah alias kecewa sama anak bungsunya yang bandel dan jarang telepon. Reaksi mimi itu selalu dengan air mata dan ditularkannya lah ke anaknya (maksudnya saya), di kantor pula. Malam itu juga saya meluncur ke Jakarta.
Seperti biasa masalah selesai dengan jurus pamungkas : Sampai di rumah, berikan senyum lebar, cengangas cengenges, cium tangan, ceritacerita dengan gerakan heboh, dan mujarablah jurus pengobat rindu saya itu. HEHE. Lalu, berakhirlah perseteruan saya dan mimi.
Namun malam itu saya dikejutkan dengan pernyataan aduhai dari teteh :
"de, gw kan mau nikah dan pindah dari rumah, kalo lo begini terus, mendingan lo gak usah di Bandung lagi!gi..giii..gii..*echo*"
-Ini bukan berarti saya disuruh pindah ke Sulawesi atau Pulau Komodo, ini artinya saya harus mota *kalo mudik kan ke udik alias m-udik, ini saya ke kota*, balik ke Jakarta-Wajarlah si teteh bilang begitu akibat kelakuan si bungsu yang terlampau terlalu.
Hmm.. Tapi gimana caranya biar inget buat telepon rumah ya?
I'm thinking.. i'm thinking.. i'm thinkiingg..
Comments
setiap jumat lo telepon..
1/2 jam minimal (gak pake perhitungan pulsa, atau masukin budget bulanan)
walau gak bisa ngegantiin quality time lo dan mimi, paling tidak bisa jadi obat kangen selama sminggu..
plus, rutin pulang, sebulan sekali misalnya.. atau dua bulan sekali..
hehehe..
still keep thinking?
mm..terus, gw sih dulu tiap kepikiran sesuatu atau butuh tmn ngobrol, gw lsg telpon aja nyokap atau bokap. dan biasanya ngobrolnya ga lama, cuma 5 menitan.
biar lw hemat pulsa juga
ehe..