Skip to main content

Kini ku tahu : Inspirasi kebahagiaan anak

Sekian lama saya mencari, siapakah pembuat odong-odong -mainan yang menjadi trend di abad 21 ini-. Saya kagum sekali padanya, jeli melihat peluang. Di tengah kesepiannya dunia anak-anak, saya rasa ia datang membawa angin segar beserta padang rumputnya. Berbagai jenis odong-odong saya kagumi, dan betapa anak-anak tergila-gila pada mainan ini membuat popularitas mainan rakyat ini meningkat tajam. Perhatikan anak-anak saat para penarik odong-odong ini lewat. Mata berbinar, mulut menganga, jantung berdegup kencang, dan secepat kilat mereka akan menarik lengan ibunya menuju kesana.

Odong-odong adalah fenomena perkotaan yang muncul di tengah maraknya mal sebagai tempat bermain anak-anak. Berbagai jenis odong-odong ditawarkan, ada yg seperti main carousel, ada yg mandi bola, ada yg seperti bianglala dan saya yakin masih banyak jenis lainnya. Kreativitas memang nadi orang Indonesia, sebutlah itu hasil "the power of kepepet", itu pun tak apa. Maka tak heran Ibu Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, mencanangkan 2009:Tahun Industri Kreatif, karena memang itulah competitive advantage kita.

* kembali ke odong-odong *
Hari ini saya akhirnya tahu siapa pengusaha odong-odong itu. Profil yang ditampilkan di acara tivi itu ada 2 orang, di Rawasari dan Karang Tengah, keduanya di Jakarta.

Pengusaha pertama -rawasari- membuat odong-odong sampai di kirim keluar daerah. Ide nya muncul saat melihat mainan anak-anak yang harus menggunakan koin untuk menjalankannya -biasanya ada di depan mini market 1 koin = Rp 2000-. Lalu ia berpikir untuk membuatnya secara manual *brilliant!* -biasanya tarif Rp1000 untuk 15 menit-. Dari ceritanya terlihat bahwa ia sudah memetik hasil dari kerja kerasnya.

Pengusaha kedua, Pak Azis berkedudukan di Karang Tengah. Ia memiliki bengkel las yang melayani apa saja yang tentunya berhubungan dengan las. Lalu ia tergerak untuk membuat odong-odong. Tidak berhenti sampai disana, ia juga menyewakan odong-odong untuk 9 penarik odong-odong. Para penarik odong-odong berasal dari berbagai daerah, bahkan sampai Sulawesi dan untuk memfasilitasi mereka, ia menyediakan kamar untuk mereka tinggal.

Melihat tayangan tadi saya menitikkan air mata, entah kenapa. Tapi saya hanya ingin menulis apa yang ada di otak -mungkin hati juga berperan saat itu-.
Mereka tidak pernah tahu apa itu motivasi, apa itu entrepreneur -terlebih social entrepreneur yang menjadi tujuan saya-, mereka hanya melakukan apa yang perlu dilakukan untuk bertahan. Mereka hanya tahu dapur rumah harus mengepul dan anak-anak perlu sekolah, dan untuk itu kepala-jadi-kaki-kaki-jadi-kepala. Bicaranya lugu, namun semangatnya memancar. Wajahnya letih tapi kebahagiaan yang mereka miliki begitu nyata. Begitulah hidup sebagian besar orang Indonesia, tidak perlu memperhatikan banyak kata yang diucapkannya, tapi lihat bagaimana mereka mengatakannya.

Dan untuk para pengusaha odong-odong, kalian adalah inspirasi kebahagiaan anak-anak Indonesia.

Comments

haha, setengah baca posting ini gue masih ga nyambung odong2 itu apa sih?
oalah, ternyata mainan itu toh...
haha.

di deket rumah gue ga ada yang begituan.
atiek said…
yaaa.. gak seru rumah lo minn..
biasanya adanya di perkampungan sihh..
gimana beijing?

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

untuk mahasiswa ITB dari Rendra

saya rasa kita semua yang mengaku orang muda, berpendidikan, punya berjuta teori yang mau dibenturkan dengan dunia nyata, punya berbagai idealisme yang belum diwujudkan, yang masih diam sampai sekarang (seperti saya), yang mau berubah, yang mau bergerak untuk siapapun, bangsa, umat, atau diri sendiri.. harus baca puisi dari sastrawan Rendra ini, tanda bahwa 30 tahun mahasiswa masih menghadapi masalah dan dilema yang sama. . sampai kapan mau diam dibalik menara gading ini?? menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak - kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada baya