Skip to main content

Jamila dan Sang Presiden

Sebuah film terbaru oleh Ibu Ratna Sarumpaet, yang bicara tentang wanita dan perdagangan manusia. Pemainnya sekaliber Christine Hakim (aduh ibu ini anggun sekali sih,,), Atiqah Hasiholan (main bagus di Berbagi Suami), Surya Saputra (main bagus di Arisan), Eva Celia Latjuba (cantik euy), Ria Irawan (spesialis tante girang), Fauzi Baadila (si mata liar), dan sederet aktor-aktris terbaik Indonesia.


Dengan semangat saya menanti hari ini, pemutaran Jamila dan Sang Presiden. Saya terburu-buru menuju BIP dari kos setelah shalat maghrib, dan setengah berlari menuju bioskop. Rasanya saya terlambat 10 menit, namun saya tetap bisa mengikuti ceritanya.

Film ini seperti orasi bertema perdagangan wanita. Mendeskripsikan secara gamblang tentang dilema Jamila, perempuan yang dijual ayahnya ke mucikari di umurnya yang belia. Atiqah bagus bermain sebagai Jamila yang memiliki pengalaman traumatis, dijual ayahnya sendiri, dibawa kabur ibunya dari mucikari untuk dititipkan di keluarga terhormat namun diraba-raba 2 pria di keluarga tersebut, diperdagangkan, menjadi PSK, dan terakhir membunuh seorang menteri. Film ini diangkat dari pementasan teater (seperti yang saya baca di berita-berita), namun setelah menonton filmnya saya malahan ingin menonton pementasan teaternya. Kesan yang ditinggalkan film ini tidak terlalu mendalam, entah kenapa di benak saya hanya tertinggal "wah perdagangan manusia itu beneran ada ya",kurang greget. Nasib adik Jamila, Fatima, juga tidak jelas. Kurang jelas juga hubungan seperti apa antara Jamila dan Fatima yang membuat Jamila begitu mengkhawatirkan Fatima. Lalu adegan presiden hanya di "30 menit sebelum eksekusi mati", padahal dia ada di judul lho. Tampaknya presiden hanya berakting di mulut orang-orang yang memaksa Jamila memohon grasi dari presiden.

Film ini memperlihatkan ketidakberpihakan semua kalangan terhadap korban perdagangan manusia. Hal yang dilihat dari masalah ini hanya bahwa para korban itu adalah PSK yang nista, bukan dipandang sebagai korban perdagangan manusia. Fakta bahwa mereka adalah korban dari jeratan kemiskinan yang akut,diabaikan. Fakta bahwa anak-anak perempuan yang terjerat jaring kemiskinan tidak memiliki pelindung, bahkan dari keluarganya sendiri.

Indonesia itu adalah peringkat ketiga sebagai negara yang masih bermasalah dalam pemberantasan human trafficking. Indonesia juga menjadi negara transit dan tujuan dari kejahatan perdagangan manusia.


Seperti film-film Indonesia bertema 'berat'lainnya, film ini bercerita dengan rumit. Menurut saya, film ini tidak mudah dipahami semua kalangan. Jika ingin menyebarkan informasi mengenai perdagangan manusia di Indonesia yang sangat menyeramkan ini, bagus sekali jika diceritakan secara sederhana agar semua kalangan dapat menikmatinya. *Namun tetap tanpa terbawa arus film-film komersil lainnya*. Saya tertarik sekali dengan tema film ini dan semoga Bu Ratna dapat lebih menyemarakkan perfilman Indonesia dengan tema-tema yang menampar nurani.

PS:
Hiburan yang menarik dari film ini adalah Jailani, karakter transeksual yang ndeso dan diperankan dengan baiiiik sekali.

Comments

Mona said…
1. gw lebih suka template yg ini ternyata.. lucu tapi juga rapi.. horeee..

2. akhirnya lo nonton sendiri juga tiek? berani? hehe..
atiek said…
iya kaann..
berani dong mona, gw berusaha menghilangkan burdens in my mind.. hahaha.. belajar belajar

eh2 begadang nih kita.. hahahahaha
Dian Amelina said…
"Ria Irawan (spesialis tante girang"...huahahahaha..si atiek emg paling bisa deh ngasih julukan ke orang...*LOL*

Btw,ternyata ada film ini yah di bioskop?abis kemaren2 gw liat iklannya isinya yang setan pocong lah,anak setan lah..jadi males..huhuehe ;p
atiek said…
hahah.. tapi emang di setiap film yg gw tonton emang dia jadi begitu mulu..hahaha bohay..

iya dian, bagaikan oase di bioskop
kunderemp said…
Ada hal-hal yang terasa wajar kalau di teater tetapi ganjil bila di film. Filmnya memang kurang dipoles. Jadi gak bisa disalahkan kalau kurang berkesan walaupun topiknya menarik.

Popular posts from this blog

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan