Jakarta, Ibu Kota Negara Kesatuan Republk Indonesia
Tempat dimana semua harapan berlabuh, tapi apakah Jakarta sudah mampu menjawabnya.
Sisa-sisa sentralisasi ekonomi masih berbekas dalam meski otonomi daerah mulai mengambil alih kuasa.
Tapi Jakarta bukanlah kemakmuran semata, tak perlu menelisik gang-gang kecil untuk melihat kesenjangan, cukuplah melakukan aktivitas biasa, kesenjangan itu mencolok ke depan mata.
7 Desember 2008
Pertemuan dengan kawan-kawan kuliah, yang merupakan sahabat-sahabat terbaik. Tentu sebagai warga Jakarta yang berasal dari berbagai penjuru, kami memilih tempat yang strategis : Senayan. Ditentukanlah pertemuan di Senayan City (Senci), sebuah mall terbaru yang paling HIP diantara mall-mall yg sudah mengambil semua lahan terbuka di Jakarta. Hanya duduk mengobrol bermain Timezone, lalu berkeliling tanpa tujuan dan pulang. Malamnya saya menemani teman kembali ke Senci untuk mencoba Midnight Sale yang memang jadi pembicaraan itu. Barang-barang bermerk internasional diskon besar-besaran. Saya yang terbiasa belanja di pasar grosiran tidak terlalu tertarik, toh masih akan jauh saja dari kapasitas kantong saya. Demi rasa keingintahuan, melenggang saya ke sana (lagi). Jalanan senayan sunyi, selain suporter Indonesia yang sedang bertanding di Gelora Bung Karno, namun sampai pada sekitaran Senci, mobil berderet rapi terparkir. Kostum para pengunjung pun bermacam-macam, ada yang masih gaya pun ada yg sudah siap untuk tidur.
1. Balita berbaju tidur yang berkeliaran di Ground Floor Senci
Masuk ke dalam saya terheran-heran, beberapa baby sitter dan balita sekitar 1 tahun berkeliaran di Ground Floor, diantara mobil-mobil Honda yang sedang dipamerkan. Ini pukul 21.30 (sudah pasti malam) terlalu larut bagi balita untuk tidur. Keanehan ini membuat saya mengurut dada, begitu pentingnya kah kegiatan diskon diskon akhir tahun ini untuk kedua orangtuanya, hingga jam tidur balita di korbankan? Pikiran saya mengawang ke pertigaan-pertigaan jalan, dimana bayi-bayi digendong di tengah dinginnya malam. Kejadian balita berkeliaran di mall ini tak ubahnya nasib balita pinggir jalan, dipaksa untuk memenuhi keinginan orang dewasa terdekatnya.
2. Panasnya ruangan ber-AC
Masuk ke sebuah toko retail terkemuka, suasana sudah panas. Wanita dan pria berkerumun di depan tumpukan-tumpukan barang yang sedang dijual. Di atasnya tergantung tulisan-tulisan "Buy 1 Get 1" " Sale up to 50%" dan tulisan-tulisan menggiurkan lainnya. Semuanya berkerumun dan mencari barang yang bisa dibeli, setiap satu orang memegang barang, mencermati, lalu meletakkannya kembali ke tempatnya, seketika itu pula barang tersebut disambar tangan lainnya. Jalanan di antara tumpukan barang penuh sesak. Saat saya menuju bagian perempuan, kepadatan itu bertambah densitasnya. Dimana ada kasir, disanalah antrian panjang orang-orang yang membawa kantong belanja. Besar-besar bahkan saya sempat mengira mereka semua membeli bantal, karena memang sebesar itu ukurannya. Pandangannya kosong, menunggu dan berjalan selangkah demi selangkah. Lower ground tak kalah ramai, dan disanalah pula saya menemukan balita dan anak-anak yang mulai tertidur. Saat saya mencoba melihat mata orang-orang yang sedang berjalan, kantung mata sudah terbentuk, di mata beberapa dari mereka sudah terlihat gurat kantuk yang akut. Saya pun sudah tidak tahan dengan kepadatan mal besar ini, tak ubahnya pusat perbelanjaan yang bernama depan ITC. Saya pun pulang setelah membeli 1 buku diskonan 20% di TGA.
8 Desember 2008
Esok paginya, televisi di rumah menayangkan antrian panjang dan kericuhan. Bukan tentang persoalan diskon besar-besaran di mal, tetapi pembagian hewan kurban di Probolinggo, Mabes Polri, Pengadilan Tinggi, dan beberapa tempat di Indonesia. Antrian panjaang ini mengingatkan saya pada penjelajahan saya malam sebelumnya dan menimbulkan banyak pertanyaan di benak saya.
Akankah uang yang berputar saat antrian Midnight Sale di Senci tadi malam sampai pada bagian rakyat Indonesia yang ini?
Kapan saya bisa mengalami antrian panjang untuk memberi, bukan untuk memperebutkan sumbangan?
Lalu melamunlah saya membayangkan antrian panjang para dermawan, yang tidak sabar untuk memberi sumbangan karena empatinya yang begitu dalam, dan dibawahnya tidak ada antrian untuk menerima karena para penerima terlalu sibuk bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya, sampai-sampai sumbangan yang berlimpah itu harus diantarkan ke rumah para mustahik (penerima zakat).
Kesenjangan yang terjadi saat ini terlalu nyata. Mencolok-colok hati dan mata saya, seperti orang patah hati. Sejak sekolah dasar, saya sering bermimpi buruk tentang kesenjangan ini. Entah siapa yang mengatakan pada saya bahwa jika kesenjangan sosial terus berlanjut, maka rumah orang-orang kaya akan diserbu oleh orang-orang miskin. Mimpi saya waktu itu, pagar rumah digelayuti orang-orang miskin dan dijebol dengan mata yang nanar, dan di dalam saya ketakutan setengah mati. Mimpi itu tidak satu kali tapi terus berulang. Mimpi buruk yang masih saya ingat sampai sekarang dan pedihnya saat ini sering saya saksikan di televisi.
Tidakkah mimpi buruk saya menjadi begitu nyata? Pagar-pagar pemberi sumbangan diserbu, berdesak-desak, ketakutan menguasai, dan ketidaksabaran seolah menjadi salah satu jalan untuk memaksa.
Tidakkah mimpi buruk saya menjadi sebuah keniscayaan yang pahit?
Akankah kesenjangan ini akan dibiarkan berlanjut, hingga tiada pagar yang bisa ditembus dan tidak ada orang lagi yang akan menembusnya?
Tempat dimana semua harapan berlabuh, tapi apakah Jakarta sudah mampu menjawabnya.
Sisa-sisa sentralisasi ekonomi masih berbekas dalam meski otonomi daerah mulai mengambil alih kuasa.
Tapi Jakarta bukanlah kemakmuran semata, tak perlu menelisik gang-gang kecil untuk melihat kesenjangan, cukuplah melakukan aktivitas biasa, kesenjangan itu mencolok ke depan mata.
7 Desember 2008
Pertemuan dengan kawan-kawan kuliah, yang merupakan sahabat-sahabat terbaik. Tentu sebagai warga Jakarta yang berasal dari berbagai penjuru, kami memilih tempat yang strategis : Senayan. Ditentukanlah pertemuan di Senayan City (Senci), sebuah mall terbaru yang paling HIP diantara mall-mall yg sudah mengambil semua lahan terbuka di Jakarta. Hanya duduk mengobrol bermain Timezone, lalu berkeliling tanpa tujuan dan pulang. Malamnya saya menemani teman kembali ke Senci untuk mencoba Midnight Sale yang memang jadi pembicaraan itu. Barang-barang bermerk internasional diskon besar-besaran. Saya yang terbiasa belanja di pasar grosiran tidak terlalu tertarik, toh masih akan jauh saja dari kapasitas kantong saya. Demi rasa keingintahuan, melenggang saya ke sana (lagi). Jalanan senayan sunyi, selain suporter Indonesia yang sedang bertanding di Gelora Bung Karno, namun sampai pada sekitaran Senci, mobil berderet rapi terparkir. Kostum para pengunjung pun bermacam-macam, ada yang masih gaya pun ada yg sudah siap untuk tidur.
1. Balita berbaju tidur yang berkeliaran di Ground Floor Senci
Masuk ke dalam saya terheran-heran, beberapa baby sitter dan balita sekitar 1 tahun berkeliaran di Ground Floor, diantara mobil-mobil Honda yang sedang dipamerkan. Ini pukul 21.30 (sudah pasti malam) terlalu larut bagi balita untuk tidur. Keanehan ini membuat saya mengurut dada, begitu pentingnya kah kegiatan diskon diskon akhir tahun ini untuk kedua orangtuanya, hingga jam tidur balita di korbankan? Pikiran saya mengawang ke pertigaan-pertigaan jalan, dimana bayi-bayi digendong di tengah dinginnya malam. Kejadian balita berkeliaran di mall ini tak ubahnya nasib balita pinggir jalan, dipaksa untuk memenuhi keinginan orang dewasa terdekatnya.
2. Panasnya ruangan ber-AC
Masuk ke sebuah toko retail terkemuka, suasana sudah panas. Wanita dan pria berkerumun di depan tumpukan-tumpukan barang yang sedang dijual. Di atasnya tergantung tulisan-tulisan "Buy 1 Get 1" " Sale up to 50%" dan tulisan-tulisan menggiurkan lainnya. Semuanya berkerumun dan mencari barang yang bisa dibeli, setiap satu orang memegang barang, mencermati, lalu meletakkannya kembali ke tempatnya, seketika itu pula barang tersebut disambar tangan lainnya. Jalanan di antara tumpukan barang penuh sesak. Saat saya menuju bagian perempuan, kepadatan itu bertambah densitasnya. Dimana ada kasir, disanalah antrian panjang orang-orang yang membawa kantong belanja. Besar-besar bahkan saya sempat mengira mereka semua membeli bantal, karena memang sebesar itu ukurannya. Pandangannya kosong, menunggu dan berjalan selangkah demi selangkah. Lower ground tak kalah ramai, dan disanalah pula saya menemukan balita dan anak-anak yang mulai tertidur. Saat saya mencoba melihat mata orang-orang yang sedang berjalan, kantung mata sudah terbentuk, di mata beberapa dari mereka sudah terlihat gurat kantuk yang akut. Saya pun sudah tidak tahan dengan kepadatan mal besar ini, tak ubahnya pusat perbelanjaan yang bernama depan ITC. Saya pun pulang setelah membeli 1 buku diskonan 20% di TGA.
8 Desember 2008
Esok paginya, televisi di rumah menayangkan antrian panjang dan kericuhan. Bukan tentang persoalan diskon besar-besaran di mal, tetapi pembagian hewan kurban di Probolinggo, Mabes Polri, Pengadilan Tinggi, dan beberapa tempat di Indonesia. Antrian panjaang ini mengingatkan saya pada penjelajahan saya malam sebelumnya dan menimbulkan banyak pertanyaan di benak saya.
Akankah uang yang berputar saat antrian Midnight Sale di Senci tadi malam sampai pada bagian rakyat Indonesia yang ini?
Kapan saya bisa mengalami antrian panjang untuk memberi, bukan untuk memperebutkan sumbangan?
Lalu melamunlah saya membayangkan antrian panjang para dermawan, yang tidak sabar untuk memberi sumbangan karena empatinya yang begitu dalam, dan dibawahnya tidak ada antrian untuk menerima karena para penerima terlalu sibuk bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya, sampai-sampai sumbangan yang berlimpah itu harus diantarkan ke rumah para mustahik (penerima zakat).
Kesenjangan yang terjadi saat ini terlalu nyata. Mencolok-colok hati dan mata saya, seperti orang patah hati. Sejak sekolah dasar, saya sering bermimpi buruk tentang kesenjangan ini. Entah siapa yang mengatakan pada saya bahwa jika kesenjangan sosial terus berlanjut, maka rumah orang-orang kaya akan diserbu oleh orang-orang miskin. Mimpi saya waktu itu, pagar rumah digelayuti orang-orang miskin dan dijebol dengan mata yang nanar, dan di dalam saya ketakutan setengah mati. Mimpi itu tidak satu kali tapi terus berulang. Mimpi buruk yang masih saya ingat sampai sekarang dan pedihnya saat ini sering saya saksikan di televisi.
Tidakkah mimpi buruk saya menjadi begitu nyata? Pagar-pagar pemberi sumbangan diserbu, berdesak-desak, ketakutan menguasai, dan ketidaksabaran seolah menjadi salah satu jalan untuk memaksa.
Tidakkah mimpi buruk saya menjadi sebuah keniscayaan yang pahit?
Akankah kesenjangan ini akan dibiarkan berlanjut, hingga tiada pagar yang bisa ditembus dan tidak ada orang lagi yang akan menembusnya?
Comments
tapi klo obat, ditelan bikin sembuh
jakarta sebaliknya, bikin makin sakit
ckckckckck
kenapa orang2 masih aja mau datang dan berdomisili d sana
gue bukan orang miskin, biarpun nggak kaya juga. tapi dari kacamata seorang gue yang hidup sudah berkecukupan pun gue masih amaze sama gaya hidup KAYA (dengan 1000xA) di jakarta.
yang beli tas atau sepatu seharga 10 juta. almost like we're not living in the same city.
gimana dari sudut pandang orang2 yang lebih berkekurangan dari gue ya?