Skip to main content

Laskar Pelangi 3x

Mengapa saya begitu menyukai Laskar Pelangi?

1. Imajinasi yang menyenangkan. Saya bukan orang yang mengalami kesulitan dalam menempuh pendidikan. Sekolah dasar saya seperti SD PN Timah, dengan segala keangkuhan dan seragamnya yang bermacam-macam. Masa kecil saya di Jakarta tifak pernah mengalami apa yang laskar pelangi lakukan, bermain sepeda? sangat kadang-kadang. Bertengger di atas pohon? tidak. Berjualan di pasar? justru saya mengekor ibu saya belanja. Sekolah tanpa seragam? tidak mungkin. Bermain pelepah di lapangan terbuka? dimanakah di jakarta ini bisa bermain segitu lepas dengan alang2 dan bukit kecilnya.
Laskar pelangi adalah impian masa kecil yang tak pernah saya alami, dengan membaca, menonton filmnya, dan bahkan meihat video klipnya saja mampu membawa saya ke dunia lain yang saya inginkan. Tak heran masa kecil saya ini selalu jadi bahan ejekan teman saya, terlalu serius bisa dibilang begitu.

2. Saya suka sekali dengan karakternya, begitu asli dan tidak pernah saya temui, atau mungkin saya tidak pernah punya sahabat masa kecil sedekat itu. Teman bermain-main saya hanya kakak dan tetangga saya, itupun saya selalu jadi anak bawang atau dijauhi karena sifat saya yang cengeng dan pengadu. (oh masa kecil yang sedih). ejak kecil saya sulit bergaul, butuh waktu lama untuk beradaptasi kata ibu saya. Teman bermain saya adalah teman sekolah, bertemu tiap hari dari jam 7 sampai jam 2 siang, apalagi teman jemputan.

3. Saya termotivasi untuk mewujudkan mimpi, menonton dan membacanya berulang kali membuat saya ingat kembali bahwa perlu untuk jalani hidup dengan mimpi dan semangat untuk mewujudkannya.

4. Saya suka dengan senyum ikal, senyum Andrea Hirata maupun senyum Zulfani, ramah dan tulus. Senyum seperti itu harus diperbanyak karena dapat menentramkan hati dan mampu membuat orang yang melihatnya merasa berharga.

5. Dari ketiga kesempatan saya menonton film itu, banyak yang bisa saya nikmati. Reaksi penonton saat film, dan sesudahnya mampu membuat saya senang. Kesempatan pertama dengan anak-anak asuhan wisma putra, kedua dengan teman SMA, dan ketiga dengan anak-anak yatim binaan masjid dekat rumah,mampu memberikan kesan yang berbeda. kesamaannya hanya satu, semua terisak saat jagoannya harus menjalani hidup yang bertentangan dengan kemampuannya. Anak-anak itu punya dua jagoan utama, Lintang, dan Mahar. Hanya saya yang membela ikal, karena kelembutan senyum dan hatinya.

Baru 5 hal yang saya paparkan, hanya sedikit dari banyak alasan saya sangat menyukai novel dan film ini. Tetapi mampu membuat saya mengatakan "YA" pada setiap ajakan menonton kembali film itu, atau terpaku di depan televisi melihat video klip Nidji.

"mimpi adalah kunci, untuk kita, menaklukan dunia, berlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnya .."

Comments

Uqi said…
atiek!! gw juga pengen nonton lagiii!!!
anda memiliki empatik yang kuat, sebuah syarat yang tak selalu dimiliki orang kebanyakan, untuk menjalani kehidupan ini dengan lebih arif...
salam silaturahim...^_^

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang