Skip to main content

cengeng

menangis,
akrab sekali dengan saya sejak lahir. Si cengeng adalah nama tengah saya. Tidak ada yang salah dengan menangis, menurut buku "Tuesday with Morrie" yang saya baca di tengah penantian saya saat merancang fasilitas pabrik (PLO),

kita harus belajar mematikan rasa, caranya dengan larut sedalam-dalamnya dengan emosi sehingga kita tahu bagaimana perasaan itu secara lengkap, dan dapat mengontrol perasaan itu nantinya. Itulah tahapan sebelum kita mematikan rasa.

Seperti tombol ON/OFF di hati dan pikiran. Tanpa sadar saya pernah melakukannya, tetapi lebih sering dengan rasa takut, untuk emosi lainnya saya belum berhasil. Morrie benar-benar membantu saya merumuskan pikiran-pikiran saya selama ini yang ternyata tidak jauh berbeda.

Kadang saya berpikir, sebenarnya pada akhirnya, semakin jauh manusia berjalan dan mencari, muaranya akan sama. Semua pikiran dari pengalaman-pengalaman di dunia yang berbeda-beda akan sampai pada kesimpulan yang sama dengan bahasa dan cara penyampaian yang berbeda. Dunia ini memang datar, jauh sebelum outsourcing beralih ke India.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Menangis, adalah juga bentuk larut dalam emosi, setelahnya kita akan merasa puas, dan akan mampu mengendalikannya dengan lebih baik.

Saya sendiri bisa menangis kapan saja saat saya tak mampu menahannya. Saat kuliah, saat mengerjakan tugas yang sulit (dead-lock), saat kesal, saat sedih, saat di angkot, saat menyanyi kecil di lagu tertentu, saat menonton film, saat tertawa, saat.......
ouwch ternyata saya memang benar-benar cengeng!!

Comments

tiek, selain rasa takut, lo juga udah berhasil mematikan rasa yang lain kok. rasa malu. hahaha...
bercanda tik!

kok jadi mirip sama yang pernah diomongin surya ya? tentang remote emosi itu lho..
gue juga kadang suka berusaha mematikan emosi kok. biasanya sih rasa panik kalo deadline. haha.
atiek said…
lo blom tau resolusi terakhir gw tahun baru ini. gw bikin kuota eracau " bahwa gw hanya boleh meracau 3 kali sehari". meracau = ngomong gak jelas dan gak penting.

hehehehehehe.. ini juga mau dikontrol lagi nih kelakuan aneh gw. hahahah
Mirza Harun said…
being different is not a dumb lho tik. Being different is to create ur own signature. Hehhehe. Being different is to show who you really are and an expression of something that you hav been thru. Hoke? *hoke-hoke bento

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

untuk mahasiswa ITB dari Rendra

saya rasa kita semua yang mengaku orang muda, berpendidikan, punya berjuta teori yang mau dibenturkan dengan dunia nyata, punya berbagai idealisme yang belum diwujudkan, yang masih diam sampai sekarang (seperti saya), yang mau berubah, yang mau bergerak untuk siapapun, bangsa, umat, atau diri sendiri.. harus baca puisi dari sastrawan Rendra ini, tanda bahwa 30 tahun mahasiswa masih menghadapi masalah dan dilema yang sama. . sampai kapan mau diam dibalik menara gading ini?? menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak - kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada baya