Skip to main content

tawuran..oiiiii!!

Pendidikan indonesia tidak boleh berhenti berbenah. Pembelajar memang tak pernah berhenti belajar, tetapi jika masalahnya sama saja dari hari ke hari bukankah sama saja seperti keledai?

yah, kenakalan remaja, juvenile vandals, sudah sejak lama ada. Perbedaannya hanya pada bentuk, intensitas dan tingkat kriminalitasnya saja. Oke, remaja jaman apa sih yang gak pernah "mantek", saya pernah, meski dibuatkan teman di warung belakang sekolah *halo, bapuk!* Tulisannya hanya nama saya. Tapi toh masalah pantek-pantekan ini, akhirnya menjadi karya seni tersendiri untuk grafiti. Ternyata setelah bertahun-tahun ada, baru diketahui kebutuhan dasarnya adalah ruang terbuka kreatif. Tapi selama ini solution dependant nya *meminjam istilah dalam product development* ya tembok-tembok publik yang kosong. Sejak tahun 80-an tren itu jadi karya seni yang keren kan?

Kekerasan remaja, hm, saya kategorikan dalam kenakalan remaja atau kriminalitas? Saya tidak tahu pasti. Tetapi kekerasan ini tentu tidak bisa dibiarkan terus. Meskipun kekerasan pada remaja tidak hanya berbentuk tawuran. Perploncoan, bullying (gencet-gencetan), sudah ada dari jaman saya sekolah *masih tahun 2000-an* hehe.. kalau tawuran itu sudah ada sejak tahun 80-an kali ya, atau saat zaman cutbray memang sudah ada.

Tahun 90-an, tawuran adalah ekstrakurikuler bagi STM, setiap Sabtu polisi sudah berjaga pada jam 12 siang - 3 sore (jam bubar sekolah). Titik-titik tawurannya Buaran, Senen, Coca Cola, Pemuda, itu daerah yang saya tahu, meski masih banyak lagi hotspot tawuran di Jakarta. Namun menjelang tahun 2000-an, tawuran sudah mulai jadi kenangan. Kenapa? banyak hal yang dilakukan departemen pendidikan, salah satunya memecah segitiga SMU 6-70-11, titik terpanas tawuran. SMU 11 sekarang lokasinya jauh dari pusat kota, meminggir ke daerah perbatasan bekasi, haha..welcome.. Beberapa tahun, tawuran mulai menjadi wacana BASI untuk pelajar Jakarta. Akhirnya hari Sabtu banyak orang menjadi lebih indah. Meskipun ternyata akhir-akhir ini 6-70 mulai tawuran lagi, dan tidak mau di-shoot oleh TV alasannya "gak enak, om". But, hey!, merekam kegiatan bodoh kalian ini untuk mendidik kalian!

Tren itu bergeser ke daerah, seperti Purwakarta, Temanggung, Tangerang. Waw, setelah sekian lama, perbuatan anarki ini seperti sabun ya. Semakin digenggam di Jakarta, tetapi dia melebar ke daerah. Bagaimana mungkin para "mas-mas" yang terlihat santun, lembut dengan logat Jawa-nya itu, terpancing untuk anarki. Lebih lucu lagi yang di daerah Tangerang/ Bekasi gitu.. Para pelajar yang bergejolak ini, melempar petasan segede kaleng ke angkot penuh penumpang, sewaktu macet. Mungkin ini Jackass versi Jabodetabek ya, atau malahan meniru aksi teroris, atau sedang uji coba penyerangan ala film-film Jean-Claude van Damme. Mungkin mas Advent Bangun berduet dengan Barry Prima bisa mendidik mereka, bagaimana berkelahi yang benar..

Lucu, mungkin, Konyol, ya, bisa, tapi saya rasa kata yang paling tepat adalah DUMB BODOH! Bodoh karena apa hubungannya penumpang angkot dengan mereka?
Oke, tawuran yang saya tahu, jika ada 2 anak sekolah yang berbeda berseteru, tentu mereka akan curhat ke temannya dan berakhir dengan kata sepakat untuk menyerang sekolah lawan. Dendam itu akan terbawa selama beberapa minggu atau tahun, kebencian sampai pada generasi yang tidak tahu apa-apa dan menjadi "tradisi". Akibatnya, setiap anak dari sekolah lawan yang sendirian atau bergerombol terlihat di metromini/mikrolet, langsung diserbu, dan si lawan yang tanpa persiapan ini akan lari tunggang langgang ke rumah penduduk. Atau skenario lain adalah dia habis di hajar dan kembali mengadu ke temannya. Atas nama solidaritas yang tidak didefinisikan dengan baik. Sampai pada skenario itu saya mengerti penyerangan bisa dilakukan, meski supir-supir ini sebaliknya tidak kalah galak atau malahan tidak mau tahu dnegan mengusir pelajar yang terjebak ini. Maka tidak heran, pelajar pria akan bertukar kemeja dengan kaus biasa saat pulang dengan angkutan umum, ini tandanya dia gak mau cari masalah, atau gak mau ketahuan guru, hiyaaaa cemen. Nah kata "cemen" ini sumbernya keterlibatan banyak pelajar dalam tawuran. Saya yakin tidak semua yang terlibat tahu permasalahan awalnya, dengan banyak bumbu cerita, semakin sip untuk diramu menjadi penggerak tawuran.

Tapi melempar petasan ke angkot penuh penumpang, tanpa ada masalah dengan mereka? Sangat tidak PRIA. Apa yang sebaiknya dilakukan? Membuat tawuran menjadi wacana yang Basi, Kampungan, Norak, dan sebagainya.. Sesuai teori maslow, penuhi kebutuhan akan keamanan bagi para pelajar, perlu kerjasama dari pihak sekolah dengan sekolah lawan.. MOU gitu.. Jika selama ini tawuran menjadi ajang aktualisasi diri, jadikanlah itu ajang menjatuhkan diri sendiri. Bersiap untuk berkomplot merampok harga diri dari tawuran!

Comments

gue selalu berpikir kalau orang yang menggencet orang lain, atau memanfaatkan senioritas untuk menindasa yang muda, sebenernya dia hanya berusaha menutupi kekurangan dirinya. Atau dia nggak pede sama dirinya sendiri.

gue sebel, sekaligus juga kasihan.

btw, orang2 yang nglempar petasan itu super konyol.

Popular posts from this blog

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan