Skip to main content

Setipis kulit ari

Terkadang yang membuat sedih bukan kekecewaan, tetapi penyadaran bahwa ternyata rasa syukur yang dimiliki selama ini setipis kulit ari.

Pagi itu, seperti biasa saya melalui kawasan industri di dekat rumah. Sudah beberapa minggu saya tidak naik kereta karena kepadatannya yang luar biasa. Maka saya menggunakan ojek aplikasi yang sedang naik daun beberapa bulan belakangan. Berangkat dengan motor artinya saya melalui jalur-jalur pemukiman di sekitar rumah dan kawasan pabrik. Pemandangan baru, jelas!

Barisan rumah-rumah bedeng dari papan atau seng, kali yang hitam, jembatan yang hanya muat satu motor dan dilalui secara bergantian, got-got yang menguapkan bau, dan anak-anak sekolah yang berjibaku di jalanan sambil mengayuh sepeda. Kepulan asap knalpot dan debu-debu sudah jadi sahabat paru-paru. Namun mata saya tertumbuk pada seorang bapak tua yang mengangkut keranjang-keranjangnya.

Bapak itu berjalan kaki di trotoar kawasan industri. Pemandangan kontras dengan latar belakang truk-truk, corong-corong asap, dan kendaraan yang lalu lalang. Kulitnya hitam terbakar matahari, kemejanya kuning, celananya pendek kusam dan lapuk termakan usia. Ia berjalan sedikit tertatih-tatih. Semua "mesin modern" acuh dan mungkin tidak sadar atas kehadirannya di pinggir jalan. Memacu langkah agar cepat sampai rumah. Tidak terkecuali saya, di atas motor yang juga ingin cepat sampai, saya pun hanya sampai memandang dan tidak berbuat apa-apa meskipun beragam skenario berputar di kepala.

Sore harinya, saya pergi mengambil barang yang sudah lama saya nantikan di toko. Lucunya, barang yang diperlihatkan pada saya sebelum transaksi, dan yang saya terima, ternyata berbeda. Barang ini ternyata edisi tahun sebelumnya. Kecewa? Iya. Tanpa berdebat, saya tuntaskan transaksi dan membawa barangnya pulang.

Saya berpikir keras, kenapa bisa terjadi kesalahan seperti ini. Padahal berbagai riset pendahuluan sudah saya lakukan, diskusi, dan sebagainya. Saya tidak terburu-buru memutuskan, dan sebagainya. Tetapi tetap saja ada kesalahan. :(

Sometimes, I doubt my ability to make a decision. I was consumed about these thoughts during my trip to home. Until I recalled what I saw earlier in the morning. 

Bapak tua dan keranjangnya, anak-anak sekolah yang mendorong-dorong sepeda di atas jembatan, rumah-rumah bedeng yang dikontrakkan, bapak-bapak yang sedang menimbang kardus bekas untuk dijual. Apakah sebanding apa yang terjadi sore ini dengan pemandangan tadi pagii? Seakan ada pelajaran yang harus saya pahami di dua hari ini, Sabtu pagi, KH Said Aqil Siradj membahas soal syukur di acaranya, Risalah Net TV. Yakin-seyakinyakinnya ini bukan kebetulan.

Despite all the efforts that I had committed before making any decision, irrational choice is still inevitable. Probably, irrationality is vital. It reinforces God existence over our life. Gratitude become a skill that we need to practice over time. I think, my journey remains far. :'(

Comments

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan...

Gimana nih gayanya??

Properti yg paling menarik untuk dipakai sampai jadi rebutan. Sebenarnya sih mungkin karena cuaca begitu panas, dan benda ini begitu berguna. Rabu, 18 Juni 2008. Pkl 6:52 WIB Sms masuk ke telepon genggam saya, F Yasmin, “Tiek, lo di bdg blm? Ntar bs ngarahin gaya?” . Hmm.. ber pikir sejenak dan tersentak, ah saya benar2 salah paham, saya pikir perubahan jadwal hari selasa ke jumat berdampak pada tidak ada sesi foto hari kamis dan rabu! Saya reply sms itu, dan baru tahu beberapa jam saat perjalanan ke Bandung, kalau sms itu failed. Kamis, 19 Juni 2008. Pkl 9.00 WIB Kesiangan! Terburu-buru saya mandi dan bersiap, dan menuju kampus dengan tergesa-gesa. Ternyata rombongan foto sudah sampai di depan Tokema, oh giliran Ik a si wartawati. Cium tan gan Yasmin dulu lah, minta maaf sudah meninggalkannya kemarin. Seru nih, semuanya tampak bersemangat dan cuaca pun bersahabat yang artinya awan-awan sejuk dan tidak terlalu terik. “Tiek, pikirin gayanya dong, si Nana, karakternya mengh...

memandang ibu dan balita dari sudut pandang yang lain

Saya kenal seorang wanita, dan ia sekarang memang sudah menjadi ibu seorang balita yang lincah dan pintar. sepengetahuan saya selama ini, sejak hamil sampai melahirkan, ia adalah ibu yang baik. Selalu menjaga jasmani dan rohaninya. Memakan segala vitamin, zam-zam, kurma, dan madu tidak pernah ketinggalan setiap hari. Ba'da maghrib, ia selalu mengaji, itu setiap hari. Saya tahu ia dan suaminya sangat menjaga kandungannya. Mereka belajar menjadi orang tua yang baik, mereka sangat bekerja keras untuk itu. Wanita yang kukenal ini adalah figur ibu yang sangat baik. Ia memasak makanan bergizi setiap hari, ia meninggalkan keinginannya bekerja untuk anaknya, ia adalah ibu dengan ASI eksklusif untuk anaknya, dan ia telah menjadi istri dan ibu yang baik, saya yakin itu. Namun bukan hidup jika tanpa ujian. Semakin bertambah umurnya, semakin pintar ia bicara, semakin pintar ia berkelit, dan menghindar. Ia mulai mengerti apa yang disukainya, ia mulai meninggalkan apa yang tidak ia sukai. Sayang...