Dari pintu ATM, aku memandang dari kejauhan
Seorang lelaki paruh baya berbaju takwa
putih dan peci haji memasuki lobi rumah sakit dengan tongkatnya
Tatapannya jauh. Iya, Itu bapakku
Sore itu, aku tiba-tiba menelan ludah
melihat pemandangan tersebut. Bapak menua dalam sunyi. Hanya sesekali beliau
sampaikan untuk belikan obat-obat tertentu sepulang saya atau kakak dari kerja
“Titip obat maag kalau sempat”
“Titip obat sendi”
“Titip pereda rasa sakit”
“Titip antibiotic”
“Mau diurut”
Ayah menua tanpa banyak kata.
------------
Kali itu giliran aku mengantarnya ke
dokter. Hari minggu sebelumnya beliau jatuh ketika sedang bersepeda. Beliau
sedang memberi petunjuk pada sekelompok pesepeda yang mencari jalan ke Marunda.
Malang, dan mungkin sudah takdirnya, ada kayu balok melintang di jalan khusus
sepeda itu. Manusia memang kadang diuji oleh hal-hal paling sederhana. Kun
Fayakun, siapa yang bisa menghindar dari kehendakNya? Pagi itu, kami menerima
telepon. Suara seseorang mengabarkan Bapak jatuh, dan mengerang kesakitan. Mimi
sudah menangis terus sejak kami berangkat, kekhawatirannya mampu membuat
berbagai skenario yang tidak ingin saya dengar. Padahal, selama Bapak masih
sadar, kupikir tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Lututnya harus selalu lurus, Bapak pun
digotong ke dalam mobil dengan erangan yang tidak pernah berhenti. Di kondisi
sulit, kita harus selalu membagi tugas. Siapa yang sudah terlanjur terbawa
emosi, tidak perlu diikuti oleh anggota keluarga lainnya. Sambil berusaha
tenang, aku menyetir mobil, sementara abang menjaga Bapak di belakang. Sia-sia
bujukanku untuk membawanya ke dokter. “Bawa saja ke tukang urut”, ujarnya.
Bukan saatnya berdebat, dan aku arahkan mobil sesuai kehendaknya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku
berhasil memintanya untuk foto rontgen. Setidaknya untuk mengobati, kita harus
tahu apa masalah sebenarnya. Lututnya retak. Sudah beberapa hari ini beliau
hanya shalat sambil duduk dan berbaring. Sore itu, aku bertanya lagi
“Bapak kalau tidak bisa duduk tasyahud
lagi, berarti gak bisa naik sepeda ya?”
“Bisa dong, kita modifikasi sepedanya”
Setahun lebih sudah berlalu. Atas izin
Allah SWT, dengan kesabarannya, dan kesabaran mimi (ibu), lututnya sudah
berfungsi dengan baik. Beberapa bulan kemarin, Bapak bersedia mengantar anak
perempuannya umrah. Aku berserah waktu itu, sambil berharap Bapak mau menemani
agar kami berangkat dengan mahram yang benar, bukan mahram administratif. Dan satu
hal yang paling kami syukuri, Bapak sudah bisa duduk tasyahud dan sudah mampu
berjalan normal. Selama berbulan-bulan sebelumnya,
beliau harus berjalan dengan tongkat dan membawa kursi lipat ketika berjamaah di
masjid.
Aku ingat ketika kami, Bapak dan saya,
duduk berhadapan dengan dokter orthopedi. Ia angkat tangan melihat hasil
rontgen yang kami bawa, sambil menyayangkan keputusan kami untuk menjadikan
tukang urut sebagai pertolongan pertama. Saat itu Bapak hanya menggali
sebanyak-banyaknya informasi dari dokter. Sebenarnya aku sedikit gemas dengan sikap dokternya. Aku berharap ia bisa sedikit menenangkan Bapak. Ia bilang, kaki Bapak tidak akan kembali seperti semula. Aku menelan ludah. Kami pun keluar dari ruangan, Bapak cuma
bilang, “Allah SWT yang akan menyembuhkan, ikhtiar dari mana saja” .
Fabi’ayyi ‘ala irobbikuma tukadzibaaan.
Selalu
mustahil sebelum semua kesulitan berlalu.
Di masa yang berjalan tanpa sempat aku
berpikir dan merencanakan apapun. Semoga setiap kesulitan dan kesakitan menjadi kafarat, penggugur dosa bagi siapapun yang mengalaminya.
Comments