Anak itu sedang menekuri soal Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru saat istirahat siang. Tahun ini universitas negeri atau tidak sama sekali. Tekad itu sudah ditekankan olehnya sendiri, dan diamini Bapak. Berangkat sekolah jam 6 pagi dan pulang pukul 10 malam. Begitu terus sepanjang hari dalam bulan-bulan persiapan ujian. Ia terkesiap ketika seorang teman sekelasnya yang laki-laki bertanya: "kalau perempuan sekolah tinggi terus menikah gimana? lo mesti ngurus keluarga kan? buat apa sekolah tinggi-tinggi?"
Ia mengangkat kepalanya, lalu tersenyum simpul
"kalau berkeluarga, di rumah pun tidak apa. kalau perempuan sekolah ya salah satunya buat mendidik anak dan keluarganya...gak ada halangan buat sekolah tinggi dan ilmunya tetap bermanfaat kan. apa ruginya?"
"oh ya??"
Lalu kami pun kembali membahas soal. Ah anak bau matahari ini, apalah yang dia tau soal hidup?
Ini salah satu percakapan kecil yang entah kenapa mampu diingat sangat terperinci.
Lain waktu, setahun kemudian, di sebuah lapangan di kota Bandung, seorang perempuan kecil ditarik ke belakang dari barisannya. Barisan ini sedang disibukkan oleh tidak adanya peserta yang mau maju atas perintah komandan lapangan. Senior perempuannya masuk ke barisan dan bertanya 10 cm di depan wajahnya dengan sangar,
"kenapa kamu tidak mau maju?!" | "saya kasih kesempatan laki-laki dulu untuk maju kak, setelah itu saya" | "kenapa kamu berpikir begitu?!" | "karena itu yang saya yakini kak" | menit-menit selanjutnya diisi dengan nasihat panjangxlebarxtinggi dengan jumlah senior yang membesar dan diakhiri dengan tugas membuat essay. Essay itu lalu dipajang di papan himpunan. Perempuan kecil dekil yang keras kepala. Beberapa minggu menjadi topik hangat, namun perempuan dekil itu malas membahas lebih lanjut.
10 tahun kemudian, saya berkumpul dengan beberapa wanita sebaya. Mereka punya ambisi atau keinginan yang kuat dan tergambar sekali dari gerak-gerik dan diskusinya. Perempuan-perempuan yang dianggap terlalu serius dengan pembahasan berkisar politik, ekonomi, atau berita dunia terkini. Perempuan yang tidak nyambung saat sebagian yang lain membahas gosip atau orang lain, lalu lebih nyaman berdiskusi dengan topik warung kopi ala bapak-bapak. Melihat mereka saya tergelitik. Teringat kembali dengan dua kejadian di atas. Sebagian perempuan seperti ini dianggap terlalu ambisius, mengerikan, dan membosankan bagi sebagian orang lain di kutub yang berbeda.
Tapi apakah benar hanya ambisi yang menggerakkan mereka, seperti yang dipersepsikan banyak orang? Bagaimana kalau ternyata hal lain yang menjadi motivasinya? Namun sebagian orang tidak mau ambil risiko untuk bertanya lebih dalam pada perempuan berbaju besi ini.
ambisius/am·bi·si·us/ a berkeinginan keras mencapai sesuatu (harapan, cita-cita); penuh ambisi: ia sangat ~ untuk menduduki jabatan itu
ambisi/am·bi·si/ n keinginan (hasrat, nafsu) yg besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (spt pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu: ia mempunyai -- untuk menjadi duta besar; pengabdiannya penuh dedikasi, tanpa -- pribadi;
Mungkin bagi sebagian orang, ambisi itu begitu menakutkan. Apakah ambisi selalu terkait dengan menghalalkan segala cara? atau selalu terkait dengan ingin menguasai orang lain? Apakah persepsi ini yang membuat sebagian orang melihat ambisi sebagai hal yang menakutkan, apalagi jika itu ada di perempuan?
Apakah ambisius tidak dekat dengan sikap tawakkal (bagi Muslim)? atau jauh dari Qana'ah?
Dari penjelasan di atas, yang saya nukil dari kbbi, tidak ada makna yang tersurat maupun tersirat soal dugaan tersebut.
Lalu, bagaimana jika orang yang terlihat ambisius ternyata hanyalah orang yang ingin mengisi waktunya dengan lebih manfaat. Tidak serta-merta ingin berada di posisi tertentu, hanya ingin menjadi seseorang yang mampu tersenyum ketika melihat ke masa lalu, bahwa ia tidak menyia-nyiakan banyak kesempatan yang datang. Bagaimana kalau orang "ambisius" ini ternyata hanyalah orang yang mengingat bahwa tiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan apa yang diberikanNya kepadanya.
Orang miskin tidak akan dihisab atas hartanya, namun orang kaya yang akan dihisab kemana hartanya dibelanjakan
Orang buta tidak dihisab atas penglihatannya, namun orang yang mampu melihat dihisab atas apa yang dilihatnya
Orang yang tidak pernah tahu soal internet tidak akan dihisab atas situs-situs yang diaksesnya, tapi orang-orang yang tahu akan dihisab atas perbuatannya
Orang-orang yang tidak punya kesempatan sekolah tidak akan dihisab atas ilmunya, tapi orang-orang berpendidikan akan dihisab kemana ilmunya digunakan sewaktu hidupnya
Orang yang sakit sepanjang hidupnya tidak akan dihisab atas sehatnya, tapi orang yang sehat akan dihisab bagaimana waktu sehatnya dimanfaatkan
Terkadang, motif seseorang lebih sederhana dari apa yang kita duga.
Masihkah perempuan yang terlihat "ambisius" dianggap orang yang terlalu serius menjalani hidup
Bahkan saya menulis ini pun mungkin bisa dianggap terlalu serius
Bagaimana kalau sebenarnya mereka hanya ingin tersenyum ketika menutup usia, dan orang lain merasakan manfaat atas kehadirannya?
Comments