Skip to main content

SerSan - Serius Santai Naik Air Asia


Sebuah pesan masuk di laman surat elektronik saya, "ada konferensi nih di Jerman! Ikut yuk!" Tanpa berpikir ulang, saya menyetujui dan memulai petualangan membuat makalah dan hal lain namun penting, sponsor untuk keberangkatan kami kesana. Karena saya harus kerja dan kuliah di siang hari, maka kami membuat makalah dan berdiskusi di malam hari. Berpiring-piring pisang goreng dan gelas-gelas teh manis menemani kami agar dapat menyelesaikan makalah tepat waktu.

Setelah makalah didaftarkan, dan mendapat kepastian untuk dipresentasikan di konferensi mahasiswa Indonesia di Jerman, kami mulai berburu sponsor. Berbekal surat pengantar dari kampus dan proposal yang kami buat, kami "ngamen" ke beberapa institusi untuk pendanaan. Puluhan proposal disebar, visa pun telah diurus, namun hingga batas waktu keberangkatan, tidak ada dana bantuan yang masuk. Dengan berat hati kami merelakan konferensi pertama ini dan tidak berangkat karena keterbatasan dana. Namun kami tetap berharap makalah kami dapat masuk ke jurnal atau konferensi lain.

"International Conference on Renewable Energy in Chennai, India" 
Sebuah surat elektronik masuk dengan judul tersebut. Teman saya menemukan konferensi lain di India yang sesuai dengan makalah yang kami buat, tentang portofolio energy terbarukan. Sumringah wajah saya rasanya ketika membaca surat elektronik tersebut. Kami pun bergegas mengubah dan menyesuaikan proposal pendanaan sesuai dengan konferensi ini. Setelah beberapa institusi dan alumni yang kami coba tawarkan, akhirnya kampus kami bersedia menanggung sebagian kecil dari dana yang kami ajukan. Tapi tidak apa, sesuai perhitungan anggaran yang kami buat dengan penerbangan Air Asia, dengan biaya yang kecil pun kami tetap bisa berangkat.

Saat itu saya masih kuliah namun sudah keluar dari pekerjaan dan belum mendapatkan pemasukan sama sekali. Ringannya biaya penerbangan membuat saya bisa bernafas lega, untuk penginapan kami bisa menyiasati dengan tinggal di guesthouse dan biaya hidup di India tergolong rendah.

Kami pun berangkat. Saya berangkat dari Jakarta, menemui teman konferensi saya yang sedang tinggal di Kuala Lumpur. Kami akan berangkat bersama dari Kuala Lumpur langsung ke Chennai. Kami tidak tahu sama sekali tentang India, apalagi Chennai. Untungnya India menerapkan Visa on Arrival sehingga dalam waktu sempit kami mampu mempersiapkan diri. 

Hari yang ditunggu pun tiba, kami berangkat ke Chennai!


Tiba di Chennai, kami terkejut dengan bandara-nya yang bersih dan baru. Kami tidak tahu sama sekali harus naik apa selain taksi. Ketika kami keluar dari Bandara untuk mencari taksi, kami melihat mobil legendaris dari India, mobil TATA klasik dengan cat kuning-hijau tua. Tanpa perlu dikomando kami sepakat memilih taksi tersebut dan kegirangan sepanjang perjalanan. Kaca mobil tersebut tidak bisa ditutup, dan ketika pertama kali membuka pintu mobil tersebut, nyamuk-nyamuk pun beterbangan keluar. UNIK! Sangat!
India dan jumlah penduduknya yang luar biasa membuat kami tercengang. 



 Obsesi maskulinitas dengan pria berotot, kumis tebal dan motor besar pun bisa kami lihat dengan kasat mata. Kami tiba malam hari di penginapan. Kamar mandinya terdiri dari keran, ember, gayung, dan kursi jongkok. Tidak jauh berbeda dengan orang Indonesia di beberapa wilayah yang masih mandi sambil berjongkok.



Pantai menyerupai gurun
Hari berikutnya kami gunakan untuk hadir di konferensi dan berputar-putar ke pantai yang sangat luas, hingga terlihat seperti gurun. Berkunjung ke patung Mahatma Gandhi, berjalan di gang-gang pemukiman padat dengan lukisan dinding Jawaharlal Nehru, hingga harus menghindar dari kejaran supir bajaj bernama Shakti yang selalu bisa menemukan kami. Suatu malam kami berjalan ke Chennai Central, stasiun kereta api besar di kota tersebut. Ketika kami membalikan badan ke arah jembatan, kami terperangah dengan lautan manusia yang baru saja turun dari bus dan berjalan menuju stasiun tersebut. Seluruh jembatan yang lebarnya cukup untuk 4 bis berjajar, penuh dengan manusia. Kami tidak punya pilihan selain mengikuti arus. Di dalam stasiun kami melihat manusia dimana-mana, di kursi, di lantai, berdiri, di dalam kereta, semua padat hingga kami pun kesulitan berjalan.

Terperangah di Chennai City Central

Di suatu siang ketika kami sedang berputar-putar tak tentu arah, kami dihampiri oleh seorang supir bajaj dan menawarkan wisata kemiskinan ke daerah yang terkena dampak tsunami. Tsunami yang sama dengan Aceh di penghujung tahun 2004. Potret kemiskinan, budaya yang kaya dan sarat sejarah, serta kota yang sedang menggeliat. Terlebih lagi, Chennai adalah kota industri bagi India, itulah mengapa pemerintah India mulai memperbaiki berbagai infrastruktur, salah satunya bandara. Faktanya, Chennai merupakan kota penting bagi India.
Potret sehari-hari

Chennai itu tidak terlupakan, saya tidak bisa menyebut India karena saya merasa belum melihat India secara keseluruhan. Sejak perjuangan dalam persiapan, hingga berputar-putar di kotanya, semua sangat mengubah cara pandang saya terhadap hidup. Teman perjalanan pun punya peran penting, Kiki dan Agung, dua teman yang punya cara pandang yang cocok terhadap petualangan. 

Grup Chennai!


Beruntung pula saya hidup di era Tony Fernandez dan terobosannya yang telah membuka kesempatan bagi lebih banyak orang untuk terbang untuk mewujudkan mimpi dan membuktikan kemampuannya. Beri kami kesempatan untuk menjelajah lebih banyak, Air Asia!


*foto milik Kiki Ahmadi

Comments

eve said…
Boleh gak postingan ini (khususnya paragraf terakhir) dipake untuk protes kebijakan penghapusan low-cost airline? Hehe.

Popular posts from this blog

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan