Skip to main content

Pledoi para lajang

Sangat mudah untuk menghakimi perempuan-perempuan lajang yang sudah mencapai (bahkan melewati) usia umum untuk berkeluarga. Mereka yang terlihat asyik dengan hidupnya dan dianggap tidak mau bersuami atau menjadi ibu. Sebagian mungkin memang seperti itu, tetapi beberapa umumnya berkebalikan dengan apa yang dituduhkan.

Seperti hal nya rezeki, ada jodoh yang ditahan ada yang disegerakan. Sebagian perempuan menjalani hidupnya dengan jodoh yang disegerakan, sebagian lainnya masih ditahan. Suka atau tidak itu sistem yang ada di dunia, dan saya rasa Tuhan punya maksud yang baik atas ini. Menerima kondisi tersebut adalah kewajiban bukan hanya bagi perempuan yang menjalaninya, tapi seluruh manusia.

Ada yang bilang perempuan yang ditahan jodohnya ini sebagai orang yang tidak pernah mencari, terlalu pemilih, sudah ‘terlalu’ mandiri, dan berbagai ungkapan kreatif lainnya. Lain dari itu, kalau membeli baju saja dipilih, apalagi suami yang akan jadi ayah dan imam keluarga? Orang yang akan lebih dipatuhi dari orangtua.. Kalau memiliki anak yang shaleh adalah salah satu jalan mendapatkan aliran doa yang bisa menembus alam kubur ketika jasad menunggu di dalam tanah untuk diadili, apakah itu pilihan yang patut diabaikan? Dengan berbagai keistimewaannya, saya yakin sebagian besar perempuan pun akan setuju untuk menjadi ibu.

Keluarga adalah sebuah ‘medan juang’ baru dari kondisi sendiri, maka sembarangan memilih pasangan artinya “trying to win a losing battle”. Mau sampai berdarah sampai hitam akan tetap kalah. Rasanya semakin wajar jika langkah menjadi semakin hati-hati. Tidak cukup naif untuk menganggap bahwa menggenapkan sebagian agama hanya penuh dengan bunga-bunga. Perempuan ini cukup paham bahwa di medan tersebut akan banyak kesulitan tanpa menafikkan banyak pula kebahagiaan. Selain itu, ditambah pemahaman bahwa sikap dan apa yang dilakukan di dalam keluarga akan menjadi tanggung jawab besar pasangannya nanti. Maka menjadi perempuan yang lebih baik adalah opsi yang paling menarik selama masa ‘menunggu’ atau ‘mencari’.

Bagaimana cara untuk menjadi lebih baik? Well, mungkin dengan cara menjalani hidup dengan penuh syukur dan kesabaran yang cukup. Entahlah, masing-masing punya cara yang berbeda dalam bersyukur dan tidak jarang caranya membuat mudah untuk mendapat cap sebagai perempuan yang tidak mau nikah dan sebagainya, seperti terlalu sering melakukan perjalanan, bekerja, berkegiatan masyarakat, sekolah yang ‘terlalu’ tinggi, bahkan ada yang cukup ekstrim dengan menuduh pendidikan tinggi menghambat pria untuk mendekat, dsb. 

Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan tersebut kurang substansial karena hanya menyasar pada atribut. Dimana atribut-atribut ini bisa lenyap kapan saja. Maka substansi yang perlu dicermati adalah bagaimana yang bersangkutan membawa dan menggunakan atribut tersebut, serta ego dari kedua belah pihak. Tentu akan menjadi berbahaya ketika membawanya dengan mendongak dan merendahkan pasangannya atau orang lain, tapi bagaimana jika tidak? bukankah tuduhannya menjadi tidak adil? Lalu bagaimana dengan pria yang tidak mau lebih rendah dari perempuan dalam hal atribut? Apakah itu semacam ego yang perlu ditelaah lebih lanjut? (saya benar tidak mengerti, maka perjelas jika berkenan)

34 kali manusia bersujud dalam sehari, saat itu 7 titik badan termasuk kepala sejajar dengan kaki. Saya, kami, kita berusaha keras menundukkan ego sendiri. 

Para lajang hanya berusaha bersyukur lewat amalan. Bersyukur dengan mengamalkan dan memanfaatkan kesempatan yang ada, karena setiap kesempatan bukan kebetulan. Kesempatan merupakan batu-batu yang disiapkan Tuhan agar manusia dapat naik/turun sesuai pilihannya. Dan Iqra’ (bacalah) adalah perintahNya, maka menyalahkan pendidikan saya rasa sebuah pernyataan yang kurang bijak. Sebaliknya, perempuan yang terdidik (bukan sekedar dinilai dari sekolah tinggi) akan memberikan pengaruh baik bagi keluarganya, terutama anak-anaknya.

Apa yang sedikit berbeda dengan mayoritas orang, bukan berarti salah. Bukan jumlah/norma keumuman yang membuat suatu hal baik/salah, hal ini telah dipahami secara umum. Menjalani hidup dengan sebaik-baiknya hingga kesempatan untuk berkeluarga itu datang atau dapat diraih, mungkin adalah salah satu pilihan yang lebih menarik daripada sibuk mengejar hal-hal yang tidak dapat/perlu dikejar atau hal-hal yang hanya membuat kita jauh dari Al-Waduud. Kegelisahan dan usaha yang telah dan sedang dilakukan bukanlah hal yang senang mereka umbar kepada sembarang orang.

Setiap hal baik akan datang tepat waktu, tidak pernah ada kata terlalu cepat atau terlambat. Laa hawla wala quwwata illa biLlah. Tiada daya dan upaya melainkan atas kehendak Allah SWT.
Maka bersabarlah sama seperti "para tertuduh" bersabar menerima dan menjalani takdirnya

dan sabar bukan berarti diam.

ditulis ketika menikmati jeda dalam ritme hidup
Jakarta, 2 September 2013

seandainya ada "sotoy jar" dimana setiap gw sotoy mesti bayar dimasukin ke toples, rasanya toples gw udah penuh..

update: An enlightening talk gives a clear stepping stones about marriage and overcoming challenges in the institution from the perspective of Islam. Am telling you this is a zillion times worth watching, listening, and understanding! May light comes to our heart.
Dr. Umar Faruq Abdullah - "Marriage as a Cosmic Ideal and Social Reality"





Comments

Nadya Saib said…
HAHAHAHAHAHA.
Tombol LIKE mana tombol LIKE???
Unknown said…
Bagusss banget Atiek!! GUE JUGA NYARI TOMBOL LIKE!! =P
atiek said…
HAHAHAHAHAAHAHAHH

jadi merasa terwakili gak nih? :D

nih gw kasih jempol guehhh
eve said…
Wuiii nampak dari hati sekali ini Tik, hihi.. Like this lahhh
eve said…
Wuiii nampak dari hati sekali ini Tik, hihi.. Like this ahhh
atiek said…
@eva: huaduhh emangnya tampak seperti curhat apaah?

yah kalau sepaham, mungkin isi protes kita sama va.. huahahauhauhau gaya euy ke amerikah sekarang..
linuxgembel said…
ini dalem banget sih tiek

gue promote ke temen tmeen gue yang masih jomblo deh lo

hahaha
linuxgembel said…
dalem banget sih ini tiek
atiek said…
woooii kiki gak cukup sekali yee komentarnya.. :D

tapi ini sih bukan suara gw doang bro, lo liat pendukung gw di atas.. hahahahhaha

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be