Skip to main content

Memberi kesempatan

Pagi-pagi sekali selepas shubuh, mimi (ibu saya) sudah mengangkat telepon menghubungi para tetangga satu per satu. Minggu ini masjid di dekat rumah ingin mengadakan pembukaan pengajian setelah diliburkan ketika bulan Ramadhan. Biasanya memang seperti itu sehingga kegiatan majelis taklim ibu-ibu akan terpusat dengan program dari pengurus masjid umum.

Saya hendak meluruskan badan lagi, tapi memutuskan mengamati kesibukan mimi hari itu. Satu per satu beberapa ibu-ibu tetangga diajak menyumbang konsumsi karena peserta pengajian lebih banyak dari kalangan kurang mampu, nenek-nenek dan janda tua. Sedekah disebar. Mimi pernah bilang, mungkin lebih mudah kalau mimi saja yang sediakan semua atau minta sumbangan sama anak-anaknya. Tapi bukan tersedianya makanan yang jadi tujuan utama tapi membuka peluang sebesar-besarnya bagi siapa saja untuk turut serta bersedekah.

Kadang ada yang mengeluh karena ajakan mimi, tampaknya tiap saat ada saja yang diminta. Di lain pihak ada juga yang marah pada mimi karena tidak diajak menyumbang. Tapi yah memang manusia itu perangainya beragam, dan mimi tidak bosan melakukannya sejak saya belum lahir. Dari mengumpulkan sumbangan anak yatim, sampai renovasi masjid.

Memberi kesempatan orang untuk ikut bersedekah, entah itu uang, tenaga, pikiran, apa saja yang bisa dilakukan adalah hal yang sudah lumrah sejak jaman nenek neneknya moyang kita dulu, meletakan masalah di depan dan masing-masing ambil bagian untuk menyelesaikan sesuai kemampuannya. Kali ini saya tahu bahwa kerja bakti bukan omong kosong, dan gotong royong bukan wacana basi. Masih banyak orang melakukannya dan memilih untuk tidak terjebak pada penamaan dan sekat orde pemerintahan. Yah karena gotong royong terdengar terlalu orba.

Melihat mimi dari dulu, saya turut ambil bagian dengan cara ini. Menjawab panggilan teman-teman yang sudah jungkir balik ambil bagian dalam pendidikan nasional, semampunya, sebisanya. Lebih baik sekarang, dari pada tidak sama sekali. Fastabiqul khairaat (Al Maidah:48). Bersegera dalam kebaikan.
Beruntung hidup di Indonesia, kita sedang mengejar ketinggalan dan ladang amal terhampar luas di depan. Kita menitipkan masa depan dengan aksi nyata.

Ambil bagianmu sekarang, kita kerja!  #kerjabakti
Ada teman bilang tidak mau ikut @kelasinspirasi karena tidak bisa mengajar, sekarang kita butuh tenaga untuk membuat alat bantu pengajaran anak-anak di pelosok nusantara.
Kalo kamu pilih untuk mengambil bagian disini, pelajari dan daftar di http://festival.indonesiamengajar.org

Dan kamu tahu? Alat pengajaran yang akan kita buat dan kirimkan adalah hasil karya anak-anak berprestasi dari pelosok negeri.
Kita tidak pantas kehilangan harapan
Salam berbuat!


Comments

Popular posts from this blog

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika , mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka: "Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak.  Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur.  Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang

pernikahan saat malam dan pagi menjelang

Pernikahan 26-27 Januari di kedua hari tersebut saya belajar tentang arti pernikahan. saya melihat betapa kontrasnya kehidupan yang akan dijalani dalam pernikahan. hari pertama 26 Januari pernikahan teman saya, yang dihadiri hampir seluruh alumni 2004 siswa sma 8 jakarta. apa yang saya pelajari? kebahagiaan sebuah permulaan, yang mana diliputi pelangi kebahagiaan baik pasangan maupun keluarga dan kerabat. Pernikahan membutuhkan keberanian untuk memulainya. Berani untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain, berani untuk mengambil keputusan yang tidak individualis, berani untuk berjalan dan dilihat oleh beratus atau ribuan pasang mata yang melihat tanpa ragu terhadap dandanan, gerakan, saya jamin pasti gugup!, berani untuk berdiri di panggung sambil tersenyum dan menyalami orang-orang yang mungkin kenal mungkin tidak, saya membayangkan betapa pegalnya, pegal, pegal. Untuk wanita, berani untuk menghadapi penata rias yang kadang-kadnag galak.. hehehe. Lalu apa yang saya temui di hari be