Skip to main content

Udar Rasa

Ada sebuah kolom di koran Kompas bernama Udar Rasa. Minggu ini teman saya, ika, mencuplik kalimat dari sana, dan saya penasaran. Minggu ini ditulis oleh Bre Redana. Berikut paragraf dari kolom tersebut yang saya suka:

"Belajarlah pada alam. Sebagaimana sungai-sungai makin dangkal karena morat maritnya hutan-hutan dan gunung-gunung, hidup kita juga semakin dangkal. Seiring proses pendangkalan, masyarakat bertransformasi dari pengertian komunitas menjadi penggembira, pemandu sorak. 

Begitu pun individu. Identitas individu sebagai entitas darah, daging, akal-budi, spirit, roh, bertransformasi menjadi identitas digital. Dalam identitas digital individu bisa menyaru sebagai lelaki, perempuan, kelompok, benda, pokoknya apa saja. Ini mengingatkan pada raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja. Gema suara mereka tak terukur. 

Seperti sungai dangkal berbuih-buih, pemandu sorak dalam identitas digital ini memang berisik luar biasa. Mereka berceloteh mengenai apa saja, mengomentari apa saja-kecuali hal penting. Hal-hal yang diasumsikan penting, berat, mereka ogah. Produk kebudayaan yang mereka hasilkan mengenal syarat: harus enteng, tidak boleh kelewat serius, tidak boleh berat. 

Contohnya? Lihat saja media kita, buku-buku laris kita, sebagian besar film kita, acara-acara televisi kita, kualitas pemimpin kita, dan lain-lain. Eh, khusus yang terakhir itu coba kita bandingkan. Bapak bangsa seperti Tan Malaka menghasilkan Madilog. Bung Karno menorehkan Nasakom (meski ia runtuh bersama konsepsi tersebut). Sementara pemimpin kita sekarang? Album lagu pop. 

Dibarengi proses kapitalisme global yang memakai ukuran laku-tidak laku, laris-tidak laris, seberapa banyak menghasilkan penggembira, makin termanjakanlah semangat asal enteng, gampangan dan instan. Di situlah kemudian religi disederhanakan menjadi kursus motivasi; filsafat dipreteli menjadi kutipan-kutipan untuk dijual eceran; politik jadi praktik dagang sapi; dan kepemimpinan jadi sekadar seremoni dan pamer penampilan. 

...

Sesuatu yang spontan, sanggup menjadi dirinya sendiri, dibutuhkan, terlebih di tengah zaman dimana apa-apa hendak direkayasa oleh industri. Sampai sekarang, kita tetap memerlukan sesrawungan dalam dimensi manusia ber-roh-darah-daging, bukan manusia dalam identitas digital. Entah nanti, kalau di batu nisan manusia, yang tertera cuma nomor PIN. "

Comments

"..raksasa-raksasi dalam pewayangan, yang sanggup muncul dan menghilang, berubah-ubah bentuk menjadi apa saja."

Btw Batari itu salah satu tokoh wayang, yang kalau marah jadi raksasa.

*penting
atiek said…
muwahahahaha dari sekian panjang paragraf cuma itu yang digarisbawahi..
bumii gonjang ganjing... :))

Popular posts from this blog

Kembali ke Kelas Inspirasi

  Apa yang pertama terlintas ketika mendengar Indonesia Mengajar? Anak SD, pendidikan, masyarakat yang mengajar. Begitu pula yang saya pikirkan ketika itu, berbagai orang bersedia mengajar untuk meningkatkan kondisi pendidikan di Indonesia.   Desember 2011 itu, kami sepakat untuk merangkul para ‘kelas menengah’ di kota besar untuk ikut andil dalam pembangunan pendidikan. Salut untuk ide Safira Ganis, Ika, dan teman-teman pengajar muda yang baru kembali dari tempat penugasan. Keceriaan itu disebut, Professional Volunteer Program (PVP). Untuk menyederhanakan narasi “membangun gerakan pendidikan masyarakat”, kita mengusung ide kegiatan relawan untuk menjadi gaya hidup “Loe gak keren kalau belum jadi relawan.”   Hasil pertemuan itu melahirkan  Kelas Inspirasi  sebagai wahana/alat/kendaraannya. Idenya sederhana, para kelas menengah pekerja ditantang untuk cuti sehari, berorganisasi dalam kelompok, mempersiapkan materi pengajaran sendiri, lalu mengajar tentang profesi

Idola Cilik, sudahkah adil?

Sore ini selepas pergi bersama teman untuk menonton pertandingan tenis, saya menemukan para penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan idola cilik. Saya merasa kangen nonton acara ini, karena dulu saat belum masuk babak 14 besar,saya sering sekali menonton acara ini.  Sebuah ajang bagus untuk pengembangan minat dan bakat anak-anak, sekaligus memberikan inspirasi bagi ribuan pemirsa kecil lainnya yang terlalu bingung dijejali sinetron-monolog-yang-mengumbar-gambar-orang-melotot. Lucu dan menyenangkan sekali pada awalnya, hingga pada sore ini pandangan saya terusik pada sistem eliminasi idola cilik. Menit demi menit saya mencoba menikmati rangkaian babak hasil "result show", tapi yang berputar di kepala saya hanya "kenapa begini? kenapa begitu?" Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari teman-teman kos yang mendukung Cakka dan Obiet, serta satu orang yang mendukung Irsyad. Saya coba buatkan rangkaiannya. Para kontestan cilik diberi kesempatan