Malam tadi seperti tahun-tahun sebelumnya saya tarawih di mushalla dekat rumah, baru beberapa tahun jadi masjid sejak banyak bapak-bapak yang pensiun. Hari pertama saya shalat di jalanan karena penuh, hari selanjutnya bisa selonjoran di lantai atas.
Perkaranya bukan selonjoran tapi jamaah wanita yang sering lalai soal kerapatan barisan shaf. Ya dulu juga saya tidak perhatian-perhatian amat, tapi sejak beberapa tahun lalu sering main ke masjid salman (karena kantornya satu gedung ahahaha) yang disiplin banget maka jadi terbawa-bawa sampai sekarang. Shaf laki-laki sih jelas ya rapat-rapat, kalau kosong diisi dan sebagainya. Tapi ibu-ibu, nenek-nenek, dan anak-anak ini banyak sekali permintaannya. Paling sering adalah tidak mau tepat di bawah kipas angin, atau ingin memojok dekat tembok. Kasihan juga karena para sepuh ini ya tidak dipungkiri untuk bangun, duduk, dan aktivitas lainnya penuh perjuangan. *okay face* Kalau yang tidak mau dekat kipas angin, ya memang mereka mudah masuk angin. Di lingkungan saya kalau sewa bis atau naik mobil pasti tidak mau pakai AC. Kalau anak-anak lain ceritanya, mereka ingin mengintip ke lantai bawah, mengintip siapa imamnya dan siapa yang bicara kalau ada pengumuman atau ceramah (ada-ada saja).
Kemarin saya bingung sekali karena shaf shalat sudah seperti papan catur. Ada yang paling depan (anak-anak yang mau mengintip), ada yang mojok kiri, ada yang mojok kanan, ada yang mojok belakang, tempat yang kosong bisa ditebak adalah di bawah kipas angin. :D
Perlu waktu beberapa menit untuk memutuskan dimana akan menggelar sajadah karena dimanapun tidak akan mengisi bolong-bolong di shaf itu. Setelah mengambil tempat di bawah kipas angin, tempat yang paling tidak disukai, saya coba ajak ibu-ibu kiri kanan. Jawabannya terduga bahwa mereka tidak kuat kipas angin, kecewa, saya kan habis mandi loh wangi :p. Spekulasi, saya colek anak kecil yang cukup pintar karena saat shalat mau dimulai dia mundur ke barisan shaf yang ada. Saya bilang "kalau shalat jamaah tidak berpencar seperti ini, coba bilangin teman-temannya mundur", mungkin anak ini rajin mengaji juga ya, tersenyum malu-malu sebentar terus mengajak temannya. Satu persatu mereka mundur karena melihat temannya merapat ke barisan dan faktor keduanya karena lokasinya adeemmmm.. :D
Puas juga sih meski anak-anak ini teriak-teriak sambil menghafal juz amma mungkin, ya gak apa-apa dulu lah ya, satu-satu dibilanginnya.
Cuma saya jadi berpikir memang lebih mudah menyampaikan sesuatu yang "berbeda" kepada anak-anak. Tidak baru, dan semua orang tahu, tapi berbeda dengan apa yang sedang terjadi sekarang. Mengusik kenyamanan yang ada sekarang untuk menjadi lebih baik. Suatu kali saya lihat video iklan anti rokok di Thailand ini, kurang lebih sama hikmahnya.
Saya rasa memang tidak perlu kehilangan jiwa anak-anak saat kita beranjak dewasa dan tua. Kalau senior saya bilang "I highly value my innocence". untuk dapat terus membuka diri akan hal-hal yang tidak hanya baru, tetapi benar dan sudah terlupakan di laci terbawah akal kita. Bagaimanapun hati pasti tahu, mana yang baik dan perlu. :)
Comments